Di antara perkataan Nabi Isma‘il as yang terekam dalam al-Qur‘an, bagian ayat 102 surah ash-Shaffat:
يَا
أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ
Yaa
abati if‘al maa tu‘mar (Wahai ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu).
Kata tu‘mar (diperintahkan) adalah fi‘il mudhari’ majhul (kata kerja sekarang pasif). Hal ini mengisyaratkan bahwa jawaban Nabi Isma‘il as menjadi bukti kuat bahwa dirinya siap melaksanakan perintah Allah Ta‘ala, dan bahwa hendaknya sang ayah (Nabi Ibrahim as) juga melaksanakan perintahNya yang sedang maupun yang akan diterimanya.
Perkataan
Nabi Isma‘il as “if‘al maa tu'mar” (laksanakan apa yang diperintahkan
kepadamu), bukan berkata “sembelihlah aku”, mengisyaratkan penyebab kepatuhan
anak yaitu karena hal tersebut adalah perintah Allah Ta‘ala.
Masih
dalam ayat 102 surah ash-Shaffat:
سَتَجِدُنِي
إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Satajidunii
insyaa Allaah min al-shaabiriin (engkau akan mendapatiku insya Allah termasuk
para penyabar).
Hal
yang menarik pada klausa itu adalah dikaitkan antara kehendakNya dengan
kesabaran sang anak. Allah Ta‘ala terlebih dulu menyebut “insyaa Allaah”
sebelum menyebut al-shaabiriin, sebagai isyarat betapa tinggi akhlak sang anak
kepada Allah Ta‘ala.
Kata
shabr (sabar) tersusun dari huruf ص (shad), ب (ba), dan ر (ra). Ia adalah
bentuk mashdar dari fi‘il madhi (kata kerja bentuk lampau) yaitu shabara. Makna
asal kata tersebut adalah menahan. Dari makna menahan, lahir makna konsisten
atau bertahan, karena yang bersabar bertahan dari satu sikap.
Selain
itu, ada yang menyebut dua makna lain dari kata shabr, yaitu: A‘laa al-syaii
(ketinggian sesuatu) dan Jins min al-hijaarah (sejenis batu).
Dari
makna pertama, lahir kata shubr yang berarti “puncak sesuatu”. Sedang dari
makna kedua, lahir kata al-shubrah yang berarti “batu yang kukuh lagi kasar”
atau “potongan besi”.
Sabar
merupakan kemampuan mengendalikan diri dipandang sebagai sikap yang memiliki
nilai tinggi ibarat ketinggian sesuatu, dan mencerminkan kekokohan jiwa orang
yang memilikinya ibarat batu yang kukuh.
Begitulah
kesabaran yang dicontohkan oleh para Nabi as di antaranya Nabi Isma‘il as.
Sikap dan ucapan Nabi Isma‘il as merupakan buah pendidikan Nabi Ibrahim as yang
telah ditanamkan jauh sebelum peristiwa itu.
Kemudian
dalam ayat 106 surah ash-Shaffat, Allah Ta‘ala berfirman:
إِنَّ
هَذَا لَهُوَ الْبَلَاء الْمُبِينُ
Inna
hadzaa lahuwa al-balaa’ al-mubiin (Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian
yang nyata).
Dalam
ayat itu, menggunakan dua huruf taukid, yakni inna (sungguh) dan huruf lam pada
lafazh lahuwa. Oleh karena itu, dipahami bahwa perintah penyembelihan tersebut
benar-benar suatu ujian yang berat. Lafal huwa adalah amir munfasil yang
berkedudukan sebagai mubtada (pokok kalimat), yang khabarnya adalah al-balaa’
al-mubiin (ujian yang nyata).
Perintah
tersebut dinamai al-balaa’ al-mubiin karena betapa sukar
keadaan Nabi Ibrahim as ketika itu. Anak yang telah ia nanti-nantikan
bertahun-tahun lamanya kini harus dikorbankan. Anak itu di samping buah hati
dan harapannya, ia pun dilukiskan sebagai balagha ma‘ahu al-sa‘ya (telah sampai
usia sanggup berusaha bersama dengannya).
Kata al-balaa’
terambil dari akar kata: بلا، يبلو، بلوا، بلاء yang berarti ujian atau cobaan.
Kata ini digunakan untuk beberapa makna, antara lain: mengetahui, membongkar,
dan menguji. Ketiga makna ini dapat bertemu jika kita menyadari bahwa ujian
adalah membongkar sikap atau apa yang dikandung oleh seseorang, guna mengetahui
kualitas yang dibongkar itu. []
(Tulisan
ditulis oleh Muhammad Bhagas, seorang peminat kajian Al-Quran)