17/03/23

al-Balaa al-Mubiin [by Muhammad Bhagas]

 Di antara perkataan Nabi Isma‘il as yang terekam dalam al-Qur‘an, bagian ayat 102 surah ash-Shaffat:

يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ


Yaa abati if‘al maa tu‘mar (Wahai ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu).

Kata tu‘mar (diperintahkan) adalah fi‘il mudhari’ majhul (kata kerja sekarang pasif). Hal ini mengisyaratkan bahwa jawaban Nabi Isma‘il as menjadi bukti kuat bahwa dirinya siap melaksanakan perintah Allah Ta‘ala, dan bahwa hendaknya sang ayah (Nabi Ibrahim as) juga melaksanakan perintahNya yang sedang maupun yang akan diterimanya.


Perkataan Nabi Isma‘il as “if‘al maa tu'mar” (laksanakan apa yang diperintahkan kepadamu), bukan berkata “sembelihlah aku”, mengisyaratkan penyebab kepatuhan anak yaitu karena hal tersebut adalah perintah Allah Ta‘ala.


Masih dalam ayat 102 surah ash-Shaffat:


سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ


Satajidunii insyaa Allaah min al-shaabiriin (engkau akan mendapatiku insya Allah termasuk para penyabar).


Hal yang menarik pada klausa itu adalah dikaitkan antara kehendakNya dengan kesabaran sang anak. Allah Ta‘ala terlebih dulu menyebut “insyaa Allaah” sebelum menyebut al-shaabiriin, sebagai isyarat betapa tinggi akhlak sang anak kepada Allah Ta‘ala.


Kata shabr (sabar) tersusun dari huruf ص (shad), ب (ba), dan ر (ra). Ia adalah bentuk mashdar dari fi‘il madhi (kata kerja bentuk lampau) yaitu shabara. Makna asal kata tersebut adalah menahan. Dari makna menahan, lahir makna konsisten atau bertahan, karena yang bersabar bertahan dari satu sikap.

Selain itu, ada yang menyebut dua makna lain dari kata shabr, yaitu: A‘laa al-syaii (ketinggian sesuatu) dan Jins min al-hijaarah (sejenis batu).


Dari makna pertama, lahir kata shubr yang berarti “puncak sesuatu”. Sedang dari makna kedua, lahir kata al-shubrah yang berarti “batu yang kukuh lagi kasar” atau “potongan besi”.


Sabar merupakan kemampuan mengendalikan diri dipandang sebagai sikap yang memiliki nilai tinggi ibarat ketinggian sesuatu, dan mencerminkan kekokohan jiwa orang yang memilikinya ibarat batu yang kukuh.


Begitulah kesabaran yang dicontohkan oleh para Nabi as di antaranya Nabi Isma‘il as. Sikap dan ucapan Nabi Isma‘il as merupakan buah pendidikan Nabi Ibrahim as yang telah ditanamkan jauh sebelum peristiwa itu.


Kemudian dalam ayat 106 surah ash-Shaffat, Allah Ta‘ala berfirman:


إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاء الْمُبِينُ


Inna hadzaa lahuwa al-balaa’ al-mubiin (Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata).

Dalam ayat itu, menggunakan dua huruf taukid, yakni inna (sungguh) dan huruf lam pada lafazh lahuwa. Oleh karena itu, dipahami bahwa perintah penyembelihan tersebut benar-benar suatu ujian yang berat. Lafal huwa adalah amir munfasil yang berkedudukan sebagai mubtada (pokok kalimat), yang khabarnya adalah al-balaa’ al-mubiin (ujian yang nyata).


Perintah tersebut dinamai al-balaa’ al-mubiin karena betapa sukar keadaan Nabi Ibrahim as ketika itu. Anak yang telah ia nanti-nantikan bertahun-tahun lamanya kini harus dikorbankan. Anak itu di samping buah hati dan harapannya, ia pun dilukiskan sebagai balagha ma‘ahu al-sa‘ya (telah sampai usia sanggup berusaha bersama dengannya).


Kata al-balaa’ terambil dari akar kata: بلا، يبلو، بلوا، بلاء yang berarti ujian atau cobaan. Kata ini digunakan untuk beberapa makna, antara lain: mengetahui, membongkar, dan menguji. Ketiga makna ini dapat bertemu jika kita menyadari bahwa ujian adalah membongkar sikap atau apa yang dikandung oleh seseorang, guna mengetahui kualitas yang dibongkar itu. []


(Tulisan ditulis oleh Muhammad Bhagas, seorang peminat kajian Al-Quran)