Dalam sebuah obrolan di masjid setelah salat magrib, seorang bapak jelang 60 an tahun membuka perbincangan.
"Saya belajar Islam dari guru saya. Saya ikut apa kata guru. Saya tidak tahu apa dalil-dalilnya. Tetapi saya yakin guru saya tidak mengajari saya keburukan apalagi kesesatan. Dengan ilmu yang saya dapatkan dari guru itulah saya mengamalkan Islam: shalat, puasa, bershalawat dan berdzikir, bertutur baik, beramal saleh dan lainnya. Nah, bagaimanakah cara berislam seperti saya ini?"
Siapakah di antara kita yang tidak bertaqlid,
mengikuti orang yang kita anggap tahu sesuatu. Kita semua baru sampai pada
tingkat muqallid, jauh sekali untuk mencapai tingkat mujtahid.
Saat kita berobat ke dokter karena penyakit kita, kita
ikuti nasihat dokter. Kita tidak perlu tahu dalil-dalil dokter mengapa ia
memberi resep ini dan itu. Selain tidak ada waktu (dari kedua pihak), uraian
dokter mungkin tidak akan kita mengerti. Ketika kita sedang berobat, kita tidak
sedang mengkaji dan mempelajari ilmu kedokteran. Karena untuk itu diperlukan
banyak waktu, ketekunan dan kajian khusus untuk memahaminya. Maka, untuk urusan
pengobatan, kita bertaqlid kepada dokter.
Saat kita berbisnis, kesewaktuan, mungkin kita
berkonsultasi dengan konsultan bisnis yang kita anggap mumpuni. Ketika ia
memberi kita nasihat dan tips bisnis, kita pun tidak perlu berdebat dengannya
tentang teori-teori bisnis dan dalilnya mengapa ia menyarankan kita ini dan
itu. Tinggal kita putuskan: mau coba, silakan ikuti (taqlid). Jika tidak,
tinggalkan. Sebab, mungkin kita belum akan paham jika dijelaskan saat itu.
Lalu, jika untuk urusan kesehatan dan usaha bisnis
(yang merupakan bagian kecil dari kehidupan ini) saja kita bertaqlid kepada
orang yang kita anggap ahli, maka apalagi tuk urusan yang lebih besar,
menyangkut urusan duniawi dan ukhrawi.
Untuk urusan keagamaan, kita perlu guru yang kita
anggap tahu. Dan guru kita juga sebelumnya berguru kepada orang yang dianggap
tahu. Kita mendengarnya, mengikuti dan mengamalkan ilmu dari guru tersebut. Dan
ketika guru tidak mengajari kita dalil-dalil, itu karena kita tidak sedang
belajar dalil agama, melainkan sedang belajar cara menjalani tuntunan agama. Di
sini kita bertaqlid kepada guru.
Diperlukan waktu khusus, ilmu-ilmu khusus, kajian
khusus untuk menjadi ahli ilmu agama, seperti halnya juga kedokteran dan
lainnya. Dan sebagaimana kedokteran, hanya sedikit orang yang berkesempatan
mengkaji ilmu keagamaan secara mendalam dan luas.
Karena kita orang awam, maka kita perlu dan seharusnya
bertaklid kepada ahli ilmu. Harap dicatat: kepada ahli ilmu. Dalam sehari-hari
kehidupan, taqlid itu niscaya.
"Tapi, kata orang, kita harus kembali kepada
AlQuran dan Sunnah, bukan kepada guru kita. Guru bisa salah, siapa pun dia.
Sedangkan AlQuran pasti benar, dan Sunnah adalah penjelas AlQuran. Tidak ada
kewajiban untuk ikut guru, tetapi kewajihan ikut AlQuran sudah
jelas."
Pertama, ketika guru kita dulu mengajari kita ilmu, ia
mengajar bukan kosong. Ia berbagi apa yang ia tahu dari gurunya, dari gurunya,
dan seterusnya. Dan ketika ia tidak mengajari kita dalil dan landasan AlQuran
yang menyebutkan hal tersebut, itu bukan berarti ilmunya tidak berdasarkan
AlQuran. Ia sedang mengajarkan produk ilmu (ilmu sebagai produk yang siap
pakai), bukan proses ilmu (yang mencakup alasan, mengapa, bagaimana dan apa).
Artinya, ada dalil Qurani yang melandasi, hanya saja saat itu kita tidak sedang
belajar Islam sebagai proses, tetapi sebagai produk.
Kedua, orang yang suka berkata "kita harus
kembali kepada AlQuran dan Sunnah" itu juga sebenarnya sedang bertaklid
kepada gurunya, atau murabbinya, atau ustadznya, yang menyuruhnya berkata
begitu. Ketika ia berIslam, yang ia praktekkan dan ucapkan juga seperti apa
kata gurunya. Ketika ia menyebutkan dalik Qurani atau hadits, ia juga mengikuti
tafsiran dari murabbinya sesuai pemahaman murabbi tersebut. Murabbinya juga
bertaqlid kepada ustadz sebelumnya yang jg sama-sama menyuruh kembali kepada
AlQuran dan Sunnah tersebut. Bedanya, kalangan ini bisa menyebutkan dalil ayat
atau hadits.
Ketiga, siapa sih yang bisa dan layak memahami apalagi
menafsirkan AlQuran? Bisa berbahasa Arab saja sangat belum cukup, apalagi jika
hanya mengandalkan terjemahan. Apa yang tertera dalam terjemahan itu, jika
dipahami tanpa ilmu bantu-utama, kita bisa salah mengerti.
Misalnya kita tahu bahwa kalau ada perintah dalam
AlQuran berarti harus kita lalukan. Wajib. Namun, dengan ilmu tertentu, kita
akan tahu bahwa redaksi perintah tidak selalu bermakna wajib.
Contoh ekstrem, ayat "jadilah kalian
monyet-monyet yang hina" (kuunuu qiradatan khaasi'iin). Ini redaksi
perintah. Ketika kita membaca ayat ini, kita jangan jadi monyet. Redaksi itu
bermakna "tawbiikh", mencela atau pemburukan. Justru yang dimaksud
adalah "jangan jadi monyet hina". Seperti kita dengar orang berkata,
"makan tuh kotoran" bukan berarti kita disuruh makan kotoran itu.
Ada banyak ayat AlQuran yang jika dibaca secara
tekstual bisa menimbulkan salah paham di kalangan awam. Termasuk dalam
ayat-ayat hukum, baik ibadah maupun muamalah. Maka, diperlukan ahli ilmu untuk
bisa memahami suatu ayat. Ketika ahli ilmu telah selesai memahami, merumuskan
dan menyampaikan kepada orang-orang itulah yang kemudian dipegang oleh sebagian
orang. Mungkin saat ia menyampaikan kepada khlayak ia tidak lagi menyebutkan
ayat, sebagaimana dokter jg tidak menyebutkan teori kedokteran saat mengobati
pasien.
Jadi, jika kita sudah bisa membaca terjemahan AlQuran,
bahkan baru mengerti sedikit satu dua kata bahasa Arab, maka jangan merasa
bahwa kita sudah pasti bisa paham AlQuran. Sehingga, ketika kemudian kita
temukan ada pendapat yang berbeda lantas kita tuduh pendapat itu tidak berdasar
AlQuran.
Apalagi jika kita baru bisa mengelus lima helai
jenggot, atau baru berkerudung rapih, atau baru bisa mengucapkan "ana,
antum, subhanallah dan sejenisnya," lantas kita berani membid'ahkan bahkan
menyesatkan ulama yang sehari-harinya mengkaji Islam sejak puluhan tahun. Itu
terlalu!
Kita semua
taqlid
Kita semua menjalankan taqlid, betapa pun sebagian kita
menolak atau membantahnya. Jika tidak di semua domain hidup, setidaknya di
sebagiannya. Bahkan seorang dokter umum pun harus taqlid kepada Dokter gigi
saat ia mengkonsultasikan giginya atau akan dicabut. Seorang dokter jantung
perempuan harus taqlid kepada dokter kandungan saat ia hendak melahirkan bayi.
Hanya saja, dalam ketaqlidannya, di antara kita ada
yang mencoba belajar, mencaritahu, mengenal lebih jauh tentang sesuatu yang
kita taqlidi. Ketika kita mengerti ttg sesuatu itu, sekalipun kita tetap
taqlid, dalam istilah fuqaha, kita naik tingkat, dari posisi muqallid menjadi
muttabi'. Kita berittiba' (mengikuti) orang yang kita percayai tentang sesuatu,
sambil kita mengerti alasan dan wawasan mengenainya.
Tapi, sejujurnya, ittiba' itu ya taqlid juga. Hanya
sj, plus pemahaman. Ittiba' masih belum memasuki fase ijtihad (mujtahid).
Misalnya, karena dokter jantung itu mengerti wawasan ttg kandungan, ia tidak
lantas menjadi dokter kandungan, apalagi sampai melakukan tindakan medis yang
berkaitan dengan kandungan.
Begitulah juga dalam urusan peribadatan. Kita bertaqlid.
Jika pun kita mengerti alasan dan tahu dalil, itu tidak mengangkat kita jadi
mujtahid yang berwenang memutuskan hukum dalam keagamaan. Kita tetap bertaqlid
dengan nilai plus, memahami atau mengetahui. Dan orang yang mengetahui berbeda
dengan orang yang tidak mengetahui.
Karena itu, taqlid memang niscaya, bagi hampir semua
orang. Namun mereeka harus terus belajar, mencaritahu, agar taqlid kita
memiliki nilai lebih. Lain halnya dalam keimanan, aqidah. Kita harus memiliki
keyakinan sendiri, keimanan sendiri. Kita tidak bisa ikut-ikutan dalam
keimanan. Keimanan harus berdasarkan upaya pencarian diri yang tidak bisa
dipercayakan kepada guru atau yang lainnya. Iman harus diperoleh dengan usaha
sendiri. Para guru membantu kita menjelaskan dan mengarahkan.
Tetapi bagaimana keimanan itu didapatkan dan
dihasilkan, kita sendirilah yang bertanggungjawab. Karena kelak kita menemui
Tuhan pun sendirian...***
Allahma innii as'aluka iimanan shadiqan... Aamiin
22 Syaban 1437
31 Mei 2016
Ashof Murtadha