Pluralitas atau keragaman seringkali disamakan dengan pluralisme. Keduanya merujuk pada kenyataan adanya perbedaan. Dalam konteks agama, kita tahu bahwa ada banyak agama di dunia. Dan perbedaan di antara agama itu sangat jelas. Dalam pengertian deskriptif, pluralitas dan pluralisme memang sama. Dua istilah tersebut dapat digunakan untuk menunjukkan adanya keragaman agama atau perbedaan agama. Dalam pengertian ini, maka pluralisme bukanlah sesuatu yang kontroversial, karena semata mengakui kenyataan adanya keragaman agama.
Namun demikian, dalam perbincangan di kalangan sarjana dan teolog, ketika istilah “pluralisme agama” digunakan, maka yang dimaksud bukan pengertian deskriptifnya, melainkan prinsip normatif dan filosofisnya. Yakni, pluralisme agama bukan semata pengakuan terhadap fakta adanya keragaman agama di muka bumi, tapi juga sebuah gagasan yang mengapresiasi keragaman itu sebagai bernilai positif. Artinya, keragaman agama dalam dirinya sendiri merupakan sesuatu yang baik karena merupakan karunia Ilahi.
Dalam pengertian ini, pluralisme bukan istilah netral dan deskriptif tentang kenyataan adanya pluralitas agama. Pluralisme merupakan sebuah gagasan yang mendukung dan memberikan penilaian positif terhadap fenomena perbedaan agama. Pertanyaannya, kenapa perbedaan agama perlu disikapi secara positif? Apa yang dimaksud “penilaian positif”? Seberapa positifkah? Apakah positif dalam pengertian pengakuan akan kebenarannya?
Dalam tulisan ini, saya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Kita mulai dengan pertanyaan pertama: Kenapa perbedaan agama perlu disikapi secara positif? Jawaban singkatnya ialah karena kita tak mungkin berdiam diri dan bersikap cuek terhadap kenyataan di sekitar kita. Kita hidup di zaman di mana keragaman merupakan ciri yang tak terpisahkan dari hidup kita. Jikapun dalam kehidupan keluarga atau bertetangga kita seagama, namun kalau pergi ke pasar atau pusat perbelanjaan atau naik kendaraan umum kita akan berpapasan dan berinteraksi dengan orang yang berbeda latar-belakang agama.
Memang, keragaman dan perbedaan agama bukan fenomena baru. Dari dulu ada banyak agama di atas bumi. Dunia tak pernah monolitik. Namun, saat ini kita mengalami keragaman agama dalam bentuknya yang baru. Keragaman dan perbedaan itu begitu dekat dengan hidup, ada di setiap sudut, sehingga kita tak mungkin mengabaikan atau tidak membicarakannya.
Yang menjadi masalah ialah perbedaan agama seringkali menghadirkan konflik. Baik berupa ketegangan dan permusuhan ataupun pertikaian dan peperangan berdarah. Kita belajar dari sejarah perjumpaan agama-agama dari dahulu hingga sekarang, bahwa relasi agama-agama yang berbeda tak jarang diwarnai rivalitas dan pertentangan.
Nah, gagasan pluralisme agama yang menyikapi pluralitas secara positif merupakan salah satu solusi terhadap ketegangan dan permusuhan yang dipicu oleh kenyataan adanya keragaman agama itu. Secara konseptual, pluralisme adalah suatu upaya teologis untuk menyelesaikan problem keragaman, baik pada level praktis maupun teoretis.
Secara praktis, gagasan pluralisme agama menuntut kaum pluralis (pendukung pluralisme agama) bersikap aktif bergumul dengan agama-agama. Kita tak mungkin bersikap positif jika tak tahu apa-apa tentang agama lain yang hendak disikapi. Berbeda dengan sikap negatif yang, biasanya, muncul tanpa mempelajarinya, alias karena kebodohan. Dalam pepatah Arab disebutkan “al-nas a’da’u ma-jahilu” (manusia adalah musuh dari apa yang tidak diketahuinya). Karenanya, pluralisme lebih dari sekadar toleransi. Sementara toleransi mengasumsikan kita dapat menolerir keberadaan agama lain yang kita tidak suka, pluralisme berbasiskan sikap apresiasi dan menilai perbedaan agama bersifat positif.
Sikap apresiatif terhadap agama yang berbeda diharapkan dapat menumbuhkan relasi yang saling menghargai. Memang, orang masih bisa menghargai orang lain yang berbeda agama kendati menganggapnya “sesat”, “kafir”, “penghuni neraka” dan seterusnya. Namun, relasi yang didasarkan pada penilaian dan sikap positif dipastikan lebih kuat dan genuine, karena fondasinya mendukung.
Secara teoretis, pluralisme agama tidak didasarkan pada premis untuk menyamakan agama. Sudah terang benderang bahwa agama-agama itu berbeda. Jadi, tujuannya bukan untuk mencapai kesepakatan bahwa semua agama adalah sama. Sebaliknya, keragaman itu perlu diselebrasi, dirayakan, dan disyukuri sebagai desain Ilahi. Kalau menggunakan bahasa al-Qur’an (Q 5:48), jika Tuhan menghendaki, tak ada yang sulit bagi-Nya menjadikan seluruh umat manusia menganut satu agama. Tapi bukan itu yang dikehendaki-Nya. Jadi, keragaman agama merupakan kehendak Tuhan sendiri.
Bagi pendukung gagasan pluralisme agama, ke-bhennika-an merupakan dimensi yang melekat pada kehidupan umat manusia dan dibenarkan oleh kekuatan Ilahi. Tentu saja, kaum pluralis punya pandangan dan visi yang berbeda-beda tentang apa yang mereka maksud dengan sikap apresiatif terhadap keragaman, terutama manakala terkait isu kebenaran. Sebagaimana didiskusikan dalam buku ini, kalangan pluralis mengajukan argumen beragam soal keselamatan penganut agama lain (dengan kata lain, apakah mereka bisa masuk surga atau tidak).
Terlepas dari perbedaan argumen itu, mereka bersepakat bahwa realitas keragaman tidak boleh direduksi dan dieliminasi sehingga hanya menjadi kebenaran tunggal. Poin ini akan didiskusikan lebih lanjut dalam tulisan ketiga, yakni respons terhadap keragaman agama. Menafikan keragaman agama berarti tidak menerima kehendak Tuhan dan mengingkari kebutuhan manusia untuk berkembang.
Yang terakhir ini didasarkan pada keyakinan bahwa watak kemanusiaan kita cenderung berkembang bersama-sama dengan yang lain, bukan sendirian. Dan pluralisme agama tidak semata mengakui opsi-opsi keagamaan yang tersedia di dunia. Ia juga sebuah gagasan bahwa keragaman pengalaman hidup manusia merupakan semacam “waduk” yang darinya mengalir curahan air kehidupan yang dapat menumbuh-kembangkan berbagai potensi dan, pada akhirnya, membawa kesejahteraan bagi seluruh jagad raya.
Tingkat penerimaan terhadap yang lain merupakan kunci agar air waduk kehidupan yang beragam itu terus mengalir lancar ke semua arah, dan tidak dimonopli oleh satu kanal atau kelompok saja. Dalam konteks ini, gagasan pluralisme agama jelas berhadap-hadapan dengan paham ortodoksi yang mengklaim kebenaran tunggal. Ortodoksi merupakan gabungan dari dua kata Yunani: “ortos” yang berarti benar dan “doksa” yang berarti pendapat. Jadi, ortodoksi merupakan keyakinan teologis bahwa hanya pendapatnya yang benar.
Ini menjelaskan kenapa institusi-institusi keagamaan yang berpegang pada paham ortodoksi bereaksi keras terhadap gagasan pluralisme agama. Keragaman dan perbedaan agama menghadirkan tantangan bahkan ancaman tersendiri bagi insitusi yang menganut pandangan ortodoks. Mereka kesulitan untuk menjustifikasi keberadaan agama-agama yang berbeda sebagai sesuatu yang absah atau valid. Premis kaum ortodoks ialah bahwa hanya ada satu keyakinan atau pendapat yang benar. Jika ada dua pandangan bertentangan, maka tidak mungkin keduanya benar.
Mereka cenderung mengabaikan perbedaan antara Kebenaran Absolut (kebenaran versi Tuhan) dan pemahaman manusia terhadap Kebenaran Absolut itu. Mereka tak dapat membayangkan bahwa pemahaman manusia yang berbeda merupakan refleksi dari bagian-bagian Kebenaran Absolut. Kebenaran Ilahi diidentikkan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh perenungan manusia. Jikapun hanya ada satu kebenaran, mereka tidak berpikir mendalam soal bagaimana kita tahu mana yang benar.
Sebenarnya di balik kegigihan mereka mempertahankan ortodoksi ialah untuk membenamkan suara-suara yang berbeda dan mengancam otoritasnya. Bukan suatu rahasia bahwa, dalam setiap tradisi keagamaan, institusi-institusi agama cenderung menunggalkan kebenaran. Mereka tampil sebagai pemegang otoritas keagamaan.
Karena itu, tantangan yang dihadap pendukung pluralisme agama memang berat, karena berhadapan dengan paham ortodoksi yang dianut institusi-institusi agama yang dominan. Kendati, dari sudut analisis filosofis, ortodoksi itu jelas tidak koheren karena di satu sisi meyakini keterbatasan akal manusia, tapi di sisi lain justeru menganggap produk akal (baca: pendapat, opini) sebagai satu-satunya kebenaran.
Terlepas dari cengkraman institusi agama yang kuat, saya yakin gagasan pluralisme agama merupakan pilihan berteologi di zaman ini dan mendatang. Ia merupakan salah satu solusi, tentu bukan satu-satunya, bagi problem zaman modern. Yakni, bagaimana kita dapat hidup dalam keragaman dan perbedaan.*** (munim sirry)