27/04/23

SYUBHAT SEPUTAR HADITS TSAQALAIN: KAJIAN SANAD [by Muhammad Bhagas]

Hadits Tsaqalain adalah wasiat dan perintah Rasulullah Muhammad SAW untuk berpegang teguh pada dua pusaka: Kitab Allah dan Ahlul Bait-‘itrahnya as. Hadits ini tercatat di kitab-kitab Sunni dan Syi‘ah dengan beberapa jalur yang kandungannya saling menguatkan. Berikut ini di antara kalimat yang termuat dalam hadits Tsaqalain:

وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض

“Sungguh keduanya tidak akan terpisah hingga menemuiku di haudh.”

Sabda suci Rasulullah Muhammad SAW itu menunjukkan Ahlul Bait as-‘itrahnya as selalu berada dalam kebenaran karena mereka tidak terpisah dengan al-Qur‘an. Namun, ada syubhat yang dilontarkan oleh orang-orang anti Syi‘ah. Menurut mereka, kalimat itu statusnya lemah karena tidak ada satu pun sanad periwayatan yang kuat yang memuat kalimat tersebut. Contohnya, hadits Tsaqalain jalur ‘Athiyyah al-‘Aufi dan jalur Syarik yang memuat kalimat tersebut diklaim dha‘if. Begitu pun jalur Abu Dhuha, diklaim dha‘if karena katanya tidak terbukti pendengarannya dari Zaid bin Arqam.

Jadi yang kuat adalah hadits Tsaqalain yang tanpa memuat kalimat itu. Benarkah demikian?

______________

BANTAHAN 

Sebenarnya, bila kita lebih teliti dan berhati-hati dalam kajian ilmu hadits dan rijal, maka yang tepat adalah hadits Tsaqalain jalur ‘Athiyyah al-‘Aufi dan jalur Syarik itu dha‘if tapi bisa dijadikan i‘tibar. Maksudnya: hadits itu bisa terangkat statusnya jika dikuatkan dengan hadits lain (matan yang sama). Namun tidak bisa jadi hujjah jika mengandalkan jalan sanad itu saja. Perawi dha‘if yang bisa dijadikan i’tibar itu tidak mutlak tertolak seluruh periwayatannya. Yang ditolak darinya adalah pada hal-hal di mana ia menyendiri alias tafarrud dan pada hal-hal yang walaupun ada mutaba‘ah-nya namun tidak memenuhi syarat taqwiyah.

Suatu hadits bisa dijadikan i‘tibar jika dalam sanadnya terdapat kelemahan misalnya satu perawinya lemah pada sisi dhabitnya atau sanadnya mursal. Hadits dha‘if bisa dijadikan i‘tibar itu terkait dengn pembahasan hadits hasan lighairih. Syaikh Mahmud ath-Thahhan dalam kitab Taysir Mushthalah al-Hadits, halaman 52, memaparkan hadits hasan lighairih berikut:

هو الضعيف إذا تعددت طرقه، ولم يكن سبب ضعفه فسق الراوي أو كذبه

“Hadis dha‘if jika jalur periwayatnnya berbilang dan sebab kelemahannya bukan karena kefasiqan perawinya atau kedustaan perawinya.”

Nah, hadits Tsaqalain jalur ‘Athiyyah dan jalur Syarik itu bisa saling menguatkan sehingga terangkat jadi hasan. Apalagi dapat dikuatkan dengan hadits Tsaqalain jalur Abu Dhuha yang—insya Allah akan dibuktikan setelah ini—sanadnya shahih.
______________

PEMBUKTIAN HADITS TSAQALAIN SANAD ABU DHUHA: SHAHIH

Dalam kitab al-Mu‘jam al-Kabir, juz 5 halaman 169-170, ath-Thabrani meriwayatkan hadits no. 4980 berikut:

حدثنا علي بن عبد العزيز ، ثنا عمرو بن عون الواسطي ، ثنا خالد بن عبد الله ، عن الحسن بن عبيد الله ، عن أبي الضحى ، عن زيد بن أرقم ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إني تارك فيكم الثقلين كتاب الله وعترتي أهل بيتي ، وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض

Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz; menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Aun al-Wasithi; telah menceritakan kepada kami Khalid bin ‘Abdullah; dari Hasan bin ‘Ubaydillah; dari Abu Dhuha; dari Zaid bin Arqam yang berkata Rasulullah Saw bersabda:

“Sungguh aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka yaitu Kitab Allah dan 'itrahku Ahlul Baitku. Sungguh keduanya tidak akan berpisah hingga menemuiku di haudh (telaga surgawi)”
______________

Berikut kajian mengenai kredibilitas para perawi hadits Tsaqalain tersebut:

PERAWI PERTAMA:
‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz

Dia adalah guru ath-Thabrani. Dalam kitab Siyar A‘lam an-Nubala’, juz 13 halaman 348, no. 164, disebutkan:

وحدث عنه أيضا :... أبو القاسم الطبراني

“Yang meriwayatkan darinya (diantaranya) ialah Abul Qasim ath-Thabrani”

Sebelum itu, adz-Dzahabi menyebutnya sebagai:

الإمام، الحافظ، الصدوق

“Seorang imam, hafizh, dan shaduq (jujur)”

Ibnu Hajar al-‘Asqalani menilainya dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib, jilid 4 halaman 633, no. 5592 begini:

أحد الحافظ المكثرين مع علو الإسناد

“Dia salah satu hafizh yang banyak periwayatannya bersama ketinggian isnadnya”

Dalam kitab Sualat as-Sulami lil Daraquthni, halaman 209, no. 214, ad-Daraquthni menjawab pertanyaan mengenai ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz:

ثقة، مأمون

“Dia tsiqah ma‘mun”

Tautsiq (pengukuhan) itu juga tercatat dalam kitab Sualat Hamzah lil Daraquthni, halaman 267, no. 389.

Dalam kitab Majma’ az-Zawaid, juz 6 halaman 106, tercatat penilaian Nuruddin ‘Ali bin Abi Bakr al-Haitsami:

وعن علي بن عبد العزيز البغوي وهو ثقة

“Dan dari ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz al-Baghawi, dia perawi tsiqah” 

Silahkan cek kitab Irsyad al-Qashi wa ad-Dani ila Tarajim Syuyukh ath-Thabrani, halaman 435-436, no. 685 di mana setelah mengutip penilaian para ahli hadits, si penulis Abu Thayyib Nayf bin Shalah bin ‘Ali al-Manshuri berkesimpulan tentang guru ath-Thabrani itu: 

ثقة حافظ
“Tsiqah hafizh”
______________

PERAWI KEDUA:
‘Amru bin ‘Aun al-Wasithi

Dia adalah guru ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz. Dalam kitab Siyar A‘lam an-Nubala’, juz 10 halaman 450, no. 148 disebutkan: 

حدث عنه:... علي بن عبد العزيز

“Yang meriwayatkan darinya (di antaranya) ialah ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz”

Masih di kitab yang sama adz-Dzahabi berkata:
وثقه جماعة 

“Dan dia ditsiqahkan oleh sekelompok (ahli rijal dam hadits)”

Lanjut Adz-Dzahabi di juz 10 halaman 451, menilai bahwa ‘Amru bin ‘Aun perawi yang ‘alim.

Dalam kitab Tasmiyah Syuyukh Abi Dawud, halaman 122, no. 310,  Husain bin Muhammad al-Jiyani al-Ghassani menilainya:

ثقة حجة يحفظ حديثه

“Tsiqah, hujjah (maksudnya: dapat dijadikan pegangan), terjaga haditsnya”

Ibnu Syahin memasukkannya dalam Tarikh Asma’ ats-Tsiqat, halaman 154, no. 862. Hal itu menunjukkan ‘Amru bin ‘Aun berstatus tsiqah di sisi Ibnu Syahin.

Ibnu Hajar al-‘Asqalani di kitab Tahdzib at-Tahdzib, jilid 5 halaman 76, no. 5989 menukil penilaian para ulama hadits berikut ini:

قال العجلي: ثقة، رجلا صالحا

Al-‘Ijli berkata: “Dia tsiqah, orang yang shalih”

قال الدوري: سمعت يزيد بن هارون يقول: عمرو بن عون ممن يزداد كل يوم خيرا

Ad-Duri berkata: Aku mendengar Yazid bin Harun berkata: “‘Amru bin ‘Aun termasuk orang yang setiap hari bertambah kebaikannya”

قال أبو زرعة: قل من رأيت أثبت منه

Abu Zur‘ah berkata: “Sedikit orang yang kulihat yang lebih kokoh (dalam hal periwayatan) dibanding dirinya”

قال أبو حاتم: ثقة حجة، وكان يحفظ حديثه

Abu Hatim berkata: “Dia tsiqah, hujjah, terjaga haditsnya”

Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi menukil juga penilaian para ulama hadits dan rijal di kitab Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, jilid 22 halaman 179, no. 4423.

Dalam kitab Sualat Ibnu Junaid li Abi Zakariyya Yahya bin Ma‘in, halaman 324, no. 207 Ibnu Ma‘in berkata:

حدثنا عمرو بن عون بن أوس الواسطي وأطنب في الثناء عليه

“Telah menceritakan pada kami ‘Amru bin ‘Aun bin Aus al-Wasithi dan panjang lebar pujian untuknya”

Ibnu Hajar al-‘Asqalani menyimpulkan tentang ‘Amru bin ‘Aun di kitab Taqrib at-Tahdzib, halaman 742, no. 5123: tsiqah tsabit (terpercaya dan kokoh). Kesimpulan Ibnu Hajar tidak dikritik oleh atau berbeda dengan Syaikh Basyar ‘Awwad Ma‘ruf dan Syaikh Syu‘aib al-Arnauth di kitab Tahrir Taqrib at-Tahdzib, juz 3 halaman 103, no. 5088. Ini menujukkan kedua syaikh kontemporer tersebut menyepakati ketsiqahannya. Mereka tidak menemukan kelemahan dalam kesimpulan Ibnu Hajar.
______________

PERAWI KETIGA:
Khalid bin ‘Abdullah al-Wasithi (ath-Thahhan)

Al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh Madinat as-Salam, jilid 9 halaman 229, no. 4350, mengakui ia mendengar dari ابن عون (‘Amru bin ‘Aun).

Dalam Thabaqat al-Kubra, juz 9 halaman 315, no. 4252, Ibnu Sa‘ad berkomentar bahwa Khalid bin ‘Abdullah ath-Thahhan:
كان ثقة

“Orang yang tsiqah”

Dalam kitab Mausu‘ah Aqwal al-Imam Ahmad bin Hanbal fi Rijal al-Hadits wa ’Ilalihi, jilid 1 halaman 330, no. 677 dari ‘Abdullah bin Ahmad yang berkata:

قال أبي: كان خالد الطحان ثقة، رجلا صالح، له في دينه صلاح

“Ayahku (Ahmad bin Hanbal) berkata: Khalid ath-Thahhan tsiqah, orang shalih, baik dalam agamanya”

Masih di jilid dan halaman sama ‘Abdullah bin Ahmad berkata:

سألت أبي، عن خالد الطحان و هشيم. فقال: خالد أحب ألينا

“Aku bertanya pada ayahku tentang Khalid ath-Thahhan dan Husyaim. Beliau menjawab: Khalid lebih kami sukai”

Ibnu Abi Hatim di kitab al-Jarh wa Ta‘dil, jilid 3 halaman 341, no. 1536, mencatat:

سمعت أبي يقول: خالد بن عبد الله الواسطي ثقة صحيح

Aku mendengar ayahku berkata: “Khalid bin ‘Abdullah al-Wasithi tsiqah shahih”

Ini kutipan dari kitab Sualat Abi ‘Ubaid al-Ajuri, jilid 2 halaman 291, no. 1888:

سمعت أبا داود يقول: قال إسحاق الأزرق: ما أدركت أفضل من خالد الطحان

Aku mendengar Abu Dawud berkata: Ishaq al-Azraq berkata: “Tidak aku dapati yang lebih utama dari Khalid ath-Thahhan”

Berikut penilaian ulama hadits lain mengenai Khalid bin ‘Abdullah al-Wasithi yang tercatat di kitab Tahdzib at-Tahdzib, jilid 2 halaman 278:

وقال إبن سعد، وأبو زرعة، والنسائي: ثقة

Ibnu Sa‘ad, Abu Zur‘ah, dan an-Nasa‘i berkata: “Dia tsiqah”

وقال الترمذي: ثقة، حافظ

At-Tirmidzi berkata: “Dia tsiqah, hafizh”

وسئل محمد بن عمار عن جرير وخالد أيهما أثبت؟ فقال: خالد

Muhammad bin ‘Ammar ditanya mengenai Jarir dan Khalid, manakah diantara keduanya yang lebih tsabit? Ia menjawab: “Khalid”

Ibnu Hajar menyimpulkan di kitab Taqrib at-Tahdzib, halaman 287, no. 1657:

ثقة ثبت
“Tsiqah tsabit”
______________

PERAWI KEEMPAT:
Hasan bin ‘Ubaidillah bin ‘Urwah 

Al-Bukhari di kitab Tarikh al-Kabir, jilid 2 halaman 297, no. 2528 mengakui bahwa Hasan bin ‘Ubaidillah mendengar dari Abu Dhuha (Muslim bin Shubaih). 

Di kitab Tarikh ‘Utsman bin Sa‘id ad-Darimi, hal. 94, no. 252 tercatat pertanyaan ad-Darimi:

وسألته عن حسن بن عبيد الله؟ فقال: ليس به بأس

Aku bertanya padanya (Yahya bin Ma‘in) tentang Hasan bin ‘Ubaidillah? Ia menjawab: “Tidak ada masalah padanya”

Adz-Dzahabi di kitabnya yang lain: al-Kasyif fi Ma‘rifat Man Lahu Riwayat fi Kutub as-Sittah, juz 1 halaman 327, no. 1041 menyatakan: 
ثقة

“Tsiqah”

Di kitab Khulashah Tadzhib Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, halaman 79, Shafiyuddin Ahmad bin ‘Abdullah al-Khazraji al-Anshari menukil ulama yang mentautsiq perawi tersebut:

وثقه ابن معين أبو حاتم والنسائي

“Dan ia tsiqahkan oleh Ibnu Ma‘in, Abu Hatim dan an-Nasai”

Ibnu Abi Hatim mecatat di kitab al-Jarh wa Ta‘dil, jilid 3 halaman 23, no. 96 berikut:

عن يحي بن معين أنه، قال: الحسن  بن عبيد الله ثقة

Dari Yahya bin Ma‘in yang berkata: “Hasan bin ‘Ubaydillah tsiqah”

حدثنا عبد الرحمن قال: سألت أبي عن الحسن  بن عبيد الله النجعي، فقال: ثقة

Telah menceritakan kepada ‘Abdurrahman yang berkata: Aku bertanya pada ayahku mengenai Hasan bin ‘Ubaydillah an-Naja‘i. Dijawab: “Tsiqah”

Disebutkan di kitab Sualat al-Hakim, halaman 193, al-Daraquthi ditanya mengenai Hasan bin ‘Amru al-Fuqaimi, halaman 193, lalu ia menjawab begini:

رأيت يحيى القطان، يقدمه على الحسن بن عبيد الله، وليس به بأس

“Aku melihat Yahya al-Qaththan, ia mengutamakan Hasan al-Fuqaimi dibanding Hasan bin ‘Ubaydillah. Ia (Hasan) tidak ada masalah padanya”

Ibnu Hajar al-‘Asqalani menyebutkan ulama lain yang mentautsiq Hasan bin ‘Ubaydillah di kitab Tahdzib at-Tahdzib, jilid 2 halaman 47, no. 1485 berikut:

وقال العجلي، وأبو حاتم، والنسائي: ثقة

Al-‘Ijli, Abu Hatim, dan an-Nasa‘i berkata: “Tsiqah”

Disimpulkan Ibnu Hajar di kitab Taqrib at-Tahdzib, halaman 239, no. 1264: “Tsiqah fadhil”.
______________

PERAWI KELIMA:
Abu Dhuha Muslim bin Shubaih

Muslim bin Shubaih ini seorang ‘alim di zamannya. Adz-Dzahabi di kitab Siyar A‘lam an-Nubala’, juz 5 halaman 71, no. 27 menyebut posisinya:

وكان من أئمة الفقه والتفسير 

“Ia termasuk para imam dalam bidang fiqih dan tafsir”

Lalu adz-Dzahabi menilainya:

ثقة حجة

“Tsiqah hujjah”

Ibnu Sa‘ad dalam kitab Thabaqatnya, juz 8 halaman 405, no. 3157 tentang Abu Dhuha:

وكان ثقة كثير الحديث

“Dia tsiqah, banyak (periwayatan) haditsnya”

Al-‘Ijli dalam kitab Tarikh ats-Tsiqat, halaman 428, no. 1570 menilainya:

كوفي، تابعي، ثقة

“Orang Kufah, tabi‘in, tsiqah”

Muhaqqiq kitab Dr. ‘Abdul Mu‘thi al-Qal‘aji di footnote berkomentar soal Muslim bin Shubaih:

متفق على توثقه، أخرج له جماعة

“Tautsiq untuk dia telah disepakati, kelompok (ahli hadits) meriwayatkan hadits-haditsnya”

Ibnu Hibban memasukkan Abu Dhuha dalam kitab ats-Tsiqat, juz 5 halaman 391. Di kitab Tahdzib at-Tahdzib, jilid 6 halaman 259, no. 7831, Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengutip:

قال إبن معين وأبو ررعة: ثقة

Ibnu Ma‘in dan Abu Zur‘ah berkata: “Tsiqah”

قال النسائي: ثقة

An-Nasai berkata: “Tsiqah”
_______________

SYUBHAT ABU DHUHA TIDAK MENDENGAR ZAID BIN ARQAM

Pernyataan bahwa Abu Dhuha tidak mendengar Zaid bin Arqam sangatlah keliru. Orang-orang yang berkesimpulan demikian bisa dikatakan pseudo ilmiah. Abu Dhuha sebenarnya bertemu dan mendengar beberapa sahabat.

Al-Bukhari dalam kitab Tarikh al-Kabir, jilid 7 halaman 264, no. 1116, mengakui hal itu. Beliau menyebutkan:

سمع أبن عمر وإبن عباس ونعمان بن بشير

“Dia mendengar Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, dan Nu‘man bin Basyir”

Abu Nashr Ahmad bin Muhammmad al-Kalabadzi dalam kitab al-Hidayah wa al-Irsyad fi Ma‘rifat Ahli ats-Tsiqat wa as-Sadad (Rijal Shahih al-Bukhari), juz 2 halaman 706, no. 1165 mengakui Abu Dhuha:

سمع إبن عباس

“Ia mendengar Ibnu ‘Abbas”

Muhammad bin Thahir al-Qaisarani dalam al-Jam‘u Baina Rijal ash-Shahihayn, juz 2 halaman 492, no. 1915 juga mengakui Abu Dhuha mendengar dari beberapa sahabat diantaranya Ibnu ‘Abbas dan Masruq.

Pernyataan tiga ulama itu menunjukkan Abu Dhuha pernah bertemu dan mendengar beberapa sahabat sebelum ia wafat. Tentunya penetapan itu bukan tanpa alasan, melainkan berdasarkan data dan qarinah yang ada di sisi mereka (termasuk melalui metode al-sabr di sisi para ahli hadits). Hal ini sebagai indikator yang dapat menguatkan bahwa Abu Dhuha mendengar dari Zaid bin Arqam, atau minimal sebagai indikator ia selamat pada aspek thabaqatnya. 

Karena kaidah ‘an ‘anah perawi tsiqah bukan mudallis berada dalam satu masa itu dianggap muttashil sampai ada bukti perkataan ulama rijal yang menyatakan mursal atau terdapat data kuat atau qarinah yang bila ditarjih mengarah pada kesimpulan sebaliknya yakni statusnya munqathi’. Sayangnya, dalam konteks ini kita tidak menemukan hal tersebut.

Lalu bagaimana dengan keterangan dari al-‘Alai? Dalam kitab Jami’ al-Tahshil fi Ahkam al-Marasil, hal. 279, no. 760, al-‘Alai menyatakan:

مسلم بن صبيح أبو الضحى قال بن معين لم يسمع من عائشة شيئا... أنه أرسل أيضا عن علي رضي الله عنه ولم يسمع منه

“Muslim bin Shubaih Abu Dhuha. Ibnu Ma‘in berkata ia tidak mendengar sesuatupun dari ‘Aisyah... riwayatnya mursal dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dan ia tidak mendengar darinya”

Pernyataan al-‘Alai itu bahwa Abu Dhuha tidak mendengar dari ‘Aisyah dan Imam ‘Ali as itu tidak bisa digeneralisasi alias tidak bisa dijadikan bahan untuk menyimpulkan: “kalau begitu, Abu Dhuha tidak mendengar juga dari sahabat lain”.  Lantas gugur begitu saja pernyataan tiga ulama sebelumnya yang menunjukkan Abu Dhuha mendengar dari sahabat? Jelas tidak. 

Contoh: saya orang Indonesia hidup di tahun 2017. Berapa ribu orang Indonesia yang juga hidup di tahun 2017 (semasa dengan saya). Jangan hanya karena saya hidup atau (pernah) semasa dengan ribuan orang itu, lantas anda menganggap saya mendengar dari mereka semua. Sebagaimana lazimnya di kehidupan ini, sebagian dari ribuan orang Indonesia itu saya sempat bertemu atau mendengar dari mereka, dan sebagian yang lain saya tidak sempat bertemu atau mendengar dari mereka. Bukankah hal ini wajar dan biasa dalam hidup?

Begitu pula dengan kasus Abu Dhuha. Walaupun dia pernah semasa dengan beberapa sahabat, namun dia juga tidak bertemu atau mendengar beberapa sahabat lain. Artinya: Abu Dhuha mendengar dari Ibnu ‘Abbas, Nu‘man bin Basyir, Ibnu ‘Umar, Zaid bin Arqam, tapi tidak mendengar dari ‘Aisyah dan ‘Ali bin Abi Thalib. Sekali lagi, jangan digeneralisasi. Lagi pula, tidak mendengarnya seorang perawi dari semua orang yang semasa dengan dia merupakan hal yang biasa dalam kajian hadits dan rijal. Yang begini bukan hanya terjadi pada Abu Dhuha, melainkan juga pada perawi-perawi lain. Orang-orang anti Syi‘ah yang melontarkan syubhat tadi—bila memang mereka betul-betul sebagai peneliti hadits dan rijal—, harusnya tidak merasa aneh apalagi menyimpulkan sembarangan bila menemukan kasus yang karakteristiknya seperti yang kasus dibahas ini.

Oh iya, untuk akhir yang indah ada baiknya dikutipkan pengakuan Muslim bin Hajjaj dalam kitab al-Kuna wa al-Asma’, halaman 455, rijal no. 1722 berikut:

أبو الضحى مسلم بن صبيح سمع إبن عباس والنعمان بن بشير وزيد بن أرقم

“Abu Dhuha Muslim bin Shubaih mendengar dari Ibnu ‘Abbas, Nu‘man bin Basyir dan ZAID BIN ARQAM”

Perhatikan nama terakhir dalam kutipan itu. Jadi pernyataan Bukhari, al-Kalabadzi, al-Qaisarani, dan Muslim bin Hajjaj dengan pernyataan al-‘Alai itu tidak saling menafikan.
______________

KESIMPULAN

Kajian yang berbasis data valid, metode dan kaidah ilmu hadits di atas membuktikan bahwa hadits Tsaqalain yang disertai kalimat: وإنهما لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض berstatus shahih karena semua perawinya tsiqah dan sanadnya bersambung. Hadits Tsaqalain jalur ‘Athiyyah dan jalur Syarik yang walaupun dha‘if tapi dapat dijadikan i‘tibar, maka statusnya bisa jadi hasan dengan penguat dari jalur Abu Dhuha yang terbukti shahih sanadnya. Seandainya pun jalur ‘Athiyyah dan Syarik tidak dapat jadi i‘tibar, maka tetap saja hadits Tsaqalain yang memuat kalimat tersebut statusnya shahih dengan jalur Abu Dhuha.

Demikian. Semoga diluaskan berkah dan manfaatnya. Shalawat dan doa kita untuk muslimin muslimat, mu'minin mu'minat, khususnya kedua orang tua dan keluarga kita, para ulama dan guru kita, teman-teman kita, saudara-saudara yang wafat mendahului kita, yang sedang sakit, yang sedang dalam kesulitan, yang membutuhkan bantuan, yang belum menemukan jalan keluar atas persoalan yang dihadapinya dan yang saudara-saudara kita terzhalimi di mana pun berada. Semua yang punya hak atas diri kita.

Shalawat setiap saat...
______________

REFERENSI 

📙Mahmud al-Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadits, hal. 52 (penerbit Maktabah al-Ma‘arif, cet. 9, 1417 H/1996 M)

📙 Abi al-Qasim Sulaiman bin Ahmad al-Thabrani, al-Mu‘jam al-Kabir, juz 5 hal. 169-170, no. 4980, tahqiq: Hamdi ‘Abd al-Majid al-Salafi (penerbit Maktabah Ibn Taymiyyah, t.th.)

📙Syams al-Din Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman al-Dzahabi, Siyar A‘lam al-Nubala’, juz 13, hal. 348, no. 164, tahqiq: Syu‘aib al-Arnauth dan ‘Ali Abu Zayd (penerbit Mu‘assasah al-Risalah, cet. 9, 1413 H/1993 M)

📙Abi al-Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Syihab al-Din al-‘Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, jilid 4 hal. 633, no. 5592, tahqiq: ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Mawjud dan ‘Ali Muhammad Mu‘awwadh (penerbit Wazarah al-Syu‘un al-Islamiyyah wa al-Awfaq wa al-Da‘wah wa al-Irsyad, t.th.)

📙Abi ‘Abd al-Rahman Muhammad bin Husain al-Sulami, Sualat al-Sulami lil Daraquthni, hal. 209, no. 214, tahqiq: kelompok pengkaji (terbitan Riyadh, cet. 1, 1427 H)

📙Sualat Hamzah bin Yusuf al-Sahmi lil Daraquthni, hal. 268, no. 389, tahqiq: Muwaffiq bin ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Qadir (penerbit Maktabah al-Ma‘arif, cet. 1, 1404 H/1984 M)

📙Nur al-Din ‘Ali bin Abi Bakr al-Haitsami, Majma’ al-Zawa‘id wa Manba’ al-Fawa‘id, juz 6 hal. 106 (penerbit Dar al-Kitab al-‘Arabiy, t.th.)

📙Abu Thayyib Nayf bin Shalah bin ‘Ali al-Manshuri, Irsyad al-Qashi wa al-Dani ila Tarajim Syuyukh al-Thabrani, hal. 435-436, no. 685 (penerbit Dar al-Kayan, cet. 1, 1427 H/2006 M)

📙Syams al-Din Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman al-Dzahabi, Siyar A‘lam al-Nubala’, juz 10, hal. 450, no. 148, tahqiq: Syu‘aib al-Arnauth dan Muhammad Nu‘aim al-‘Arqasusi (penerbit Mu‘assasah al-Risalah, cet. 1, 1402 H/1982 M)

📙Abi ‘Ali al-Husain bin Muhammad bin Ahmad al-Jiyani al-Ghassani, Tasmiyah Syuyukh Abi Dawud, hal. 122, no. 310, tahqiq: Abu Hajir Muhammad al-Sa‘id bin Basuni Zaghlul (penerbit Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.)

📙Abi Hafsh ‘Umar bin Syahin, Tarikh Asma’ ats-Tsiqat, hal. 154, no. 862, tahqiq: Shubhi al-Samara‘i (penerbit Dar al-Salafiyyah, cet. 1, 1404 H/1984 M)

📙Abi al-Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Syihab al-Din al-‘Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, jilid 5 hal. 76, no. 5989, tahqiq: ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Mawjud dan ‘Ali Muhammad Mu‘awwadh (penerbit Wazarah al-Syu‘un al-Islamiyyah wa al-Awfaq wa al-Da‘wah wa al-Irsyad, t.th.)

📙Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, jilid 22 hal. 179, no. 4423, tahqiq: Basyar ‘Awwad Ma‘ruf (penerbit Muassasah al-Risalah, cet. 1, 1413 H/1992 M)

📙Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Abd Allah, Sualat Ibn Junaid, hal. 324, no. 207, tahqiq: Ahmad Muhammad Nur Sayf (penerbit Maktabah al-Dar bil Madinah al-Munawwarah, cet. 1, 1408 H/1988 M)

📙Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, hal. 742, no. 5143, tahqiq: Abu al-Asybal Shagir Ahmad Syagif al-Bakistani (penerbit Dar al-‘Ashimah, t.th.)

📙Basyar ‘Awwad Ma‘ruf dan Syu‘aib al-Arnauth, Tahrir Taqrib al-Tahdzib, juz 3 hal. 103, no. 5088 (penerbit Muassasah al-Risalah, cet. 1, 1417 H/1997 M)

📙Abi Bakr Ahmad bin ‘Ali bin Tsabit al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Madinat al-Salam, jilid 9 hal. 229, no. 4350, tahqiq: Basyar ‘Awwad Ma‘ruf (penerbit Dar al-Gharb al-Islami, cet. 1, 1422 H/2001 M)

📙Muhammad bin Sa‘ad bin Mani’ al-Zuhri, Thabaqat al-Kubra, juz 9 hal. 315, no. 4252, tahqiq: ‘Ali Muhammad ‘Umar (penerbit Maktabah al-Khanji, cet. 1, 1421 H/2001 M)

📙Mausu‘ah Aqwal al-Imam Ahmad bin Hanbal fi Rijal al-Hadits wa ’Ilalihi, jilid 1 hal. 330, no. 677, jam‘u wa tartib: Sayyid Abu al-Mu‘athi al-Nuri, Ahmad ‘Abd al-Razzaq ‘Iyd, dan Mahmud Muhammad Khalil (penerbit ‘Alam al-Kutub, cet. 1, 1417 H/1997 M)

📙Abi Muhammad ‘Abd al-Rahman bin Abi Hatim, al-Jarh wa al-Ta‘dil, jilid 3 hal. 341, no. 1536 (penerbit Dairah al-Ma‘arif al-‘Utsmaniyyah, cet. 1, 1372 H/1953 M)

📙Sualat Abi ‘Ubaid al-Ajuri, jilid 2 hal. 291, no. 1888, tahqiq: ‘Abd al-‘Alim ‘Abd al-‘Azhim al-Bastawi (penerbit Dar al-Istiqamah dan Dar al-Rayyan, cet. 1, 1418 H/1997 M

📙Abi al-Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Syihab al-Din al-‘Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, jilid 2 hal. 278, no. 1946, tahqiq: ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Mawjud dan ‘Ali Muhammad Mu‘awwadh (penerbit Wazarah al-Syu‘un al-Islamiyyah wa al-Awfaq wa al-Da‘wah wa al-Irsyad, t.th.)

📙Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, hal. 287, no. 1657, tahqiq: Abu al-Asybal Shagir Ahmad Syagif al-Bakistani (penerbit Dar al-‘Ashimah, t.th.)

📙Abi ‘Abd Allah Isma‘il bin Ibrahim al-Ju‘fi al-Bukhari, Tarikh al-Kabir, jilid 2 hal. 297, no. 2528, tahqiq: Hasyim Nadwi dan yang lain (penerbit Dairah al-Ma‘arif al-‘Utsmaniyyah, t.th.)

📙Tarikh ‘Utsman bin Sa‘id al-Darimi ‘an Abi Zakariyyah Yahya bin Ma‘in, hal. 94, no. 252, tahqiq: Ahmad Muhammad Nur Sayf (penerbit Dar al-Ma‘mun lil Turats, t.th.)

📙Syams al-Din Abi ‘Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, al-Kasyif fi Ma‘rifat Man Lahu Riwayat fi al-Kutub al-Sittah, juz 1 hal. 327, no. 1041, tahqiq: Muhammad ‘Awwamah dan Ahmad Muhammad Nimr al-Khathib (penerbit Dar al-Qiblah al-Tsaqafah al-Islamiyyah dan Muassasah ‘Ulum al-Qur‘an, cet. 1, 1413 H/1992 M)

📙Shafiyuddin Ahmad bin ‘Abdullah al-Khazraji al-Anshari, Khulashah Tadzhib Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, hal. 79 (Mathba‘ah al-Kubra al-Amiriyah, cet. 1, 1301 H)

📙Abi Muhammad ‘Abd al-Rahman bin Abi Hatim, al-Jarh wa al-Ta‘dil, jilid 3 hal. 93, no. 26 (penerbit Dairah al-Ma‘arif al-‘Utsmaniyyah, cet. 1, 1372 H/1953 M)

📙Sualat al-Hakim al-Naisaburi lil Daraquthni fi al-Jarh wa al-Ta‘dil, hal. 193, no. 295, tahqiq: Muwaffiq bin ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Qadir (penerbit Maktabah al-Ma‘arif, cet. 1, 1404 H/1984 M)

📙Abi al-Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Syihab al-Din al-‘Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, jilid 2 hal. 47, no. 1485, tahqiq: ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Mawjud dan ‘Ali Muhammad Mu‘awwadh (penerbit Wazarah al-Syu‘un al-Islamiyyah wa al-Awfaq wa al-Da‘wah wa al-Irsyad, t.th.)

📙Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, hal. 239, no. 1264, tahqiq: Abu al-Asybal Shagir Ahmad Syagif al-Bakistani (penerbit Dar al-‘Ashimah, t.th.)

📙Syams al-Din Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman al-Dzahabi, Siyar A‘lam al-Nubala’, juz 5, hal. 71, no. 27, tahqiq: Syu‘aib al-Arnauth (penerbit Mu‘assasah al-Risalah, cet. 2, 1402 H/1482 M)

📙Muhammad bin Sa‘ad bin Mani’ al-Zuhri, Thabaqat al-Kubra, juz 8 hal. 405, no. 3157, tahqiq: ‘Ali Muhammad ‘Umar (penerbit Maktabah al-Khanji, cet. 1, 1421 H/2001 M)

📙Ahmad bin ‘Abd Allah bin Shalih Abi al-Husain al-‘Ijli, Tarikh al-Tsiqat, hal. 428, no. 1570, tahqiq: ‘Abd al-Mu‘thi al-Qal‘aji (penerbit Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. 1, 1405 H/1984 M)

📙Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abi Hatim al-Tamimi al-Basti, al-Tsiqat, juz 5 hal. 391, tahqiq: Muhammad ‘Abd al-Mu‘id Khan (penerbit Dairah al-Ma‘arif al-‘Utsmaniyyah, cet. 1, 1393 H/1973 M)

📙Abi al-Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Syihab al-Din al-‘Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, jilid 6 hal. 259, no. 7831, tahqiq: ‘Adil Ahmad ‘Abd al-Mawjud dan ‘Ali Muhammad Mu‘awwadh (penerbit Wazarah al-Syu‘un al-Islamiyyah wa al-Awfaq wa al-Da‘wah wa al-Irsyad, t.th.)

📙Abi ‘Abd Allah Isma‘il bin Ibrahim al-Ju‘fi al-Bukhari, Tarikh al-Kabir, jilid 7 hal. 264, no. 1116, tahqiq: Hasyim Nadwi dan yang lain (penerbit Dairah al-Ma‘arif al-‘Utsmaniyyah, t.th.)

📙Abu Nashr Ahmad bin Muhammmad al-Kalabadzi, al-Hidayah wa al-Irsyad fi Ma‘rifat Ahli ats-Tsiqat wa as-Sadad, juz 2 hal. 706, no. 1165, tahqiq: ‘Abd Allah al-Laytsi (penerbit Dar al-Ma‘rifah, cet. 1, 1407 H/1987 M)

📙Muhammad bin Thahir al-Qaisarani, al-Jam‘u Baina Rijal ash-Shahihayn, juz 2 halaman 492, no. 1915 (penerbit Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. 2, 1405 H)

📙Shalah al-Din Abu Sa‘id Khalil bin Kaykaldi bin ‘Abdullah al-‘Alai, Jami’ al-Tahshil fi Ahkam al-Marasil, hal. 279, no. 760, tahqiq: Hamdi ‘Abd al-Majid al-Salafi (penerbit ‘Alam al-Kutub, 1407 H/1986 M)

📙Muslim bin Hajjaj, al-Kuna wa al-Asma’, hal. 455, no. 1722, tahqiq: ‘Abd al-Rahim Muhammad Ahmad al-Qasyqari (al-Jami‘ah al-Islamiyyah, cet. 1, 1404 H/1984 M)