11/11/20

Alasan Kemiripan Nama Putra-putra Baginda Ali dengan Nama Tiga Khalifah

Dengan merujuk kepada bukti-bukti sejarah, kita akan mengetahui bahwa setelah syahadah Sayidah Zahra as, Imam Ali menikah dengan beberapa wanita dan mempunyai anak dari pernikahan itu. Ketiga nama anaknya itu sama dengan nama-nama ketiga khalifah.

Nama-nama mereka adalah Abu Bakar bin Ali bin Abi Thalib yang merupakan anak dari Laila putri Mas’ud Tsaqafi[i], Utsman yang merupakan anak dari Ummu Banin. Kedua putra Imam Ali ini syahid di medan Karbala dalam rangka membela saudaranya, Imam Husain as[ii]. Dan putra ketiga Imam Ali As adalah ‘Umar.[iii]

Dalam mengkaji sebab-sebab kesamaan nama putra-putra (Baginda Ali ini) dengan nama seseorang hal itu dapat ditinjau dari beberapa sisi:

Pertama, pada dasarnya, pemberian nama dan kerabatan dengan nama seseorang hal itu bukan menjadi dalil atas kecintaan, persamaan dalam keyakinan, fikih, ataupun politik sebagaimana tiadanya pemberian nama juga bukan dalil atas adanya pertikaian dan perseteruan. Meski pada sebagian urusan kecintaan dan kebencian dalam memberikan nama (atau tidak memberikan nama) tetap memiliki pengaruh.

Di samping itu, kebudayaan dan kerangka berfikir yang berkembang di tengah masyarakat pada masa itu sedemikian sehingga penamaan nama ini kurang mendapat perhatian juga tidak pula mendapat penekanan. Pada dasarnya dengan mengingat nama-nama ini tidak berasosiasi mengingat khalifah melainkan perjalanan sejarahlah yang membuat ketiga nama ini menonjol. Pada masa itu nama-nama tersebut sangat popular di tengah masyarakat sehingga pemberian nama oleh Imam Ali As atau pun orang lain terhadap nama anak-anak mereka dengan Abu bakar, misalnya, tidak akan mengingatkan seseorang kepada nama Khalifah Pertama.

Harus diperhatikan bahwa nama-nama ketiga khalifah tersebut, tidak terkhusus bagi ketiga orang tersebut, melainkan nama-nama sedemikian telah ada semenjak masa pra kedatangan Islam dan pasca kedatangan Islam yang telah mentradisi dan menyebar di kalangan bangsa Arab.

Pemberian nama ini sedikit pun, bukan dalil atas kecintaan terhadap pemilik nama-nama tersebut. Misalnya di Iran, terdapat seorang syah (raja) bernama Muhammad Reza (Ridha) yang merupakan orang yang berwatak dan perperangai bejat. Namun demikian, nama Muhammad Reza (Ridha) tidak menjadi penghalang untuk menjadi nama yang paling digemari dan paling disukai oleh masyarakat Iran. Di antara sahabat-sahabat pilihan Nabi Saw, ada juga nama-nama pribadi unggul yang memakai nama demikian, seperti Utsman bin Ma’dzun, dan lain sebagainya. Alasan pemberian nama-nama tersebut bukan lantaran kecintaan kepada orang-orang besar tersebut.

Dalam hal ini, Anda dapat merujuk kitab-kitab Rijal seperti Isti’âb yang ditulis oleh Ibnu Abdul Bar atau pun juga Usd al-Ghabah karya Ibnu Atsir. Dalam kitab-kitab Rijal ini  Anda akan jumpai nama-nama sahabat nabi yang bernama Abu Bakar, ‘Umar dan Utsman.

Dalam kesempatan ini, kami  hanya akan mencukupkan dengan satu kitab Usd al-Ghabah fi Ma’rifat al-Sahabah dan menyebutkan nama orang-orang yang bernama ‘Umar:

  1. ‘Umar al-Islami
  2. ‘Umar al-Jam’i
  3. ‘Umar bin al-Hakam
  4. ‘Umar bin Salim al-Khaza’i
  5. ‘Umar bin Suraqah
  6. ‘Umar bin Sa’ad al-Anmari
  7. ‘Umar bin Sa’ad al-Salami
  8. ‘Umar bin Sofyan
  9. ‘Umar bin Abi Salmah
  10. ‘Umar bin Amir al-Silmi
  11. ‘Umar bin ‘Ubaidillah
  12. ‘Umar bin ‘Ikramah
  13. ‘Umar bin Amru al-Laitsi
  14. ‘Umar bin ‘Amir
  15. ‘Umar bin ‘Auf
  16. ‘Umar bin ‘Azimah
  17. ‘Umar bin Lahiq
  18. ‘Umar bin Malik bin ‘Uqbah
  19. ‘Umar bin Malik al-Anshari
  20. ‘Umar bin Mu’awiyah al-Ghadhiri
  21. ‘Umar bin Yazid
  22. ‘Umar bin al-Yamani 

Nama-nama di atas hanya yang disebutkan oleh Ibnu Atsir dalam kitabnya. Kita saksikan bahwa nama-nama tersebut telah berkembang dalam sejarah Islam dan bahkan pada zaman sebelumnya untuk waktu yang lama. Nama-nama tersebut telah pula dipakai oleh kalangan khusus maupun orang awam.

Nama-nama tabi’in yang bernama ‘Umar sangat banyak. Misalnya pada kitab Mu’jam al-Tsiqât lebih dari 60 halaman riwayat yang dinukil oleh perawi yang bernama ‘Umar.

Nama-nama tersebut juga berkembang dan banyak dipakai pada masa para Imam Maksum As. Misalnya Abu Bakar Sa’ad Asy’ari atau Abu Bakar Khadzrami yang merupakan perawi hadis-hadis dari Imam Shadiq As. Demikian juga Utsman bin Sa’id yang merupakan salah satu dari empat deputi (nuwab al-arba’ah) khusus Imam Zaman Ajf pada masa ghaibah sughra. Semua ini menunjukkan bahwa pada dasarnya penggunaan nama-nama seperti Abu Bakar, ‘Umar dan Utsman, tidak akan membawa ingatan dan pikiran kita kepada seseorang tertentu.

Dalam sejarah, nama-nama seperti Ali, Abu Bakar (‘Umar atau Utsman) tidak terbatas pada orang-orang ini saja. Demikian juga nama-nama seperti ‘Umar dan Utsman yang pada kemudian hari Imam Ali As memberi nama anaknya dengan nama yang sama. Nama-nama tersebut telah digunakan secara berulang sepanjang sejarah oleh banyak kalangan dengan berbagai macam kepribadian yang berbeda-beda.

(Benar bahwa apabila pemberian nama dilakukan sesuai dengan instruksi dari Allah Swt maka tentu saja akan memiliki nilai kekudusan tersendiri, seperti nama-nama putra Ali As dan Fathimah As yaitu Hasan As dan Husain As.)[iv]

Oleh karena itu, Anda akan benarkan bahwa nama-nama tersebut dan juga nama-nama lain para khalifah merupakan nama-nama popular yang telah biasa dipakai oleh masyarakat Arab Jahiliyah dan Islami dan dengan mendengar nama tersebut, pikiran seseorang sama sekali tidak akan terasosiasi dengan nama para khalifah.

Karena itu,  hanya dengan satu penamaan, seluruh apa yang berlalu dalam dalam sejarah tidak dapat diingkari.[v]

Kedua, Berdasarkan kemaslahatan dan pertimbangan penuh hikmah, Imam Ali As tidak mengungkapkan pelbagai kesuiltan dan musibah-musibah yang terpendam dalam hatinya. Demi menjaga persatuan Islam, beliau bersikap toleran dan bekerjasama dengan para khalifah, dengan tetap mengindahkan taktik dan strategi sosial demi terjaganya ajaran Islam yang baru saja berkembang. Di samping itu, dalam banyak hal, Imam Ali As tidak segan-segan membantu pemerintahan para khalifah, sedemikian sehingga ‘Umar berulang-kali berkata: “Laula ‘Ali lahalaka ‘Umar” (Seandainya tidak ada Ali, maka binasalah ‘Umar).”[vi]

Sebagian orang memberikan kemungkinan bahwa pemberian nama-nama putra Imam Ali As dengan nama-nama para khalifah adalah contoh nyata bahwa Imam Ali As bertoleransidengan para khalifah. Lantaran langkah seperti ini akan mengurangi pertentangan dan meminimalisir persoalan-persoalan yang ada di tengah masyarakat dan tidak bermakna sokongan atas tindakan mereka dan persahabat dengan orang-orang yang bersangkutan.

Bagaimana pun,  “Apabila suasana mencekam dan menakutkan serta tekanan dan penindasan terhadap para pengikut Syiah, maka kita akan menyaksikan para Imam Maksum As akan mengambil beberapa tindakan (baca: taqiyyah) demi keselamatan yang dibolehkan syariat. Misalnya dengan memberi nama anak-anak mereka seperti nama-nama para khalifah, menjalin hubungan kekerabatan melalui pernikahan dengan para sahabat besar sehingga dapat mengurangi tekanan yang dilontarkan kepada mereka. Hal ini dilakukan mengingat pemerintahan zalim Bani Umayah dan Bani Abas dengan alasan bahwa mereka (para Imam Maksum) menentang ketiga khilafah, kedua pemerintahan ini menyalahgunakan keluguan masyarakat  untuk menekan mereka (para Imam) dan Syiah mereka, membunuh dan menjarah harta orang-orang Syiah.”[vii] 

Perlu diingat bahwa dalam kitab-kitab sejarah (yang menjadi obyek telaah) tidak dijumpai isyarat yang menyatakan bahwa Imam Ali As sendiri yang memilihkan nama-nama tersebut. Karena itu, ada kemungkinan bahwa yang memberi nama-nama tersebut adalah istri-istri Imam Ali As atau kerabat-kerabat beliau. Dan tentu saja Imam Ali, demi menghormati mereka, tidak melarang tindakan tersebut.

Catatan:

[i]. Mu’jam al-Tsiqât, jil. 21, Hal. 66, sesuai dengan pendapat Ibnu Asyub

[ii]. Al-Irsyâd, hal. 484

[iii]. Mu’jam al-Tsiqât, jil. 13, hal. 45

[iv]. Muntaha al-Âmal, jil. 1, hal. 220

[v]. Pâsukh Jawâne Syiah,  Muhammad Thabari, hal. 55-56.

[vi]. Nahj al-Balâghah, Subhi Saleh, Khutbah 3.

فَرَأَيْتُ أَنَّ الصَّبْرَ عَلَى هَاتَا أَحْجَى فَصَبَرْتُ وَ فِي الْعَيْنِ قَذًى وَ فِي الْحَلْقِ شَجًا أَرَى تُرَاثِي نَهْبا

[vii]. Pâsukh Jawâne Syiah,  Muhammad Thabari, hal. 56-57