14/11/20

Membedah Buku: Mengapa Saya Keluar dari Syiah? [9]

 Tentang Pengharaman Mut’ah Pada Hari Khaibar

Salah satu persoalan fikih antara sunni-syiah adalah masalah hukum mutah. Ulama syiah sepakat akan halalnya nikah mut’ah berdasarkan al-Quran dan sunnah Rasulullah saaw dan ahl al-baitnya. Sedangkan ulama sunni menyatakan bahwa nikah mut’ah pernah dihalalkan, tetapi kemudian diharamkan oleh Rasulullah saaw. Tapi anehnya, Husein al-Musawi al-Kadzab yang mengaku mujtahid ini, membuat fatwa tanpa dasar dan argumentasi yang utuh dengan mengharamkan nikah mut’ah hanya dengan menggunakan satu hadits yang sempat ditemukannya di dalam kitab syiah. Yaitu hadits yang coba dipopulerkan olehnya dan oleh para pengikutnya yang diriwayatkan oleh Imam Ali as, tentang pengharaman nikah mut’ah pada hari Khaibar. Untuk itu, mari kita bahas hadits tersebut sehingga menjadi jelas bagi kita semua keadaannya.

> Pada halaman 50, Husain al-Musawi menulis: “Sesungguhnya mut’ah adalah dibolehkan pada masa jahiliyah. Ketika Islam datang, nikah tersebut dibiarkan beberapa waktu, kmudian diharamkan pada hari khaibar. Tetapi yang termasyhur dikalangan syiah dan dikalangan para ulama mereka bahwa umar bin khattab adalah yang mengharamkannya. Dan inilah yang diriwayatkan oleh sebagian ulama kami."

“Yang benar dalam masalah ini adalah bahwa nikah mut’ah diharamkan pada hari Khaibar. Amirul mukminin berkata, “Pada hari Khaibar Rasulullah saaw mengharamkan keledai peliharaan dan nikah mut’ah.” (Lihat at-Tahzhib, 2/186; Al-Istibshar, 3/142; Wasail asy-Syiah, 14/441).

# Pernyataan Husein al-Musawi al-Kadzab di atas, akan saya urai melalui dua persoalan.  Pertama, benarkah Pengharaman Mut’ah Oleh Umar bin Khattab Hanya Masyhur di Kalangan Syiah? Di atas Husein al-Musawi al-Kadzab menganggap orang-orang syiah menuduh Umar bin Khattab yang mengharamkan mut’ah. Dia berkata: “Tetapi yang termasyhur dikalangan syiah dan dikalangan para ulama mereka bahwa Umar bin Khattab adalah yang mengharamkannya. Dan inilah yang diriwayatkan oleh sebagian ulama kami.” 

 # Saya Jawab: Sesungguhnya para ulama syiah maupun sunni menyebutkan bahwa nikah mut’ah dihalalkan berdasarkan kitab Allah (Q.S. an-Nisa : 24) dan sunnah Rasulullah saaw, dan dipraktekkan oleh para sahabat dalam berbagai kesempatan hingga Rasulullah saaw meninggal dunia. Allah berfriman : “Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban” (Q.S. an-Nisa : 24).

Memang benar bahwa para ulama syiah mengindikasikan bahwa yg pernah mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar bin Khattab. Hal ini disebutkan dalam berbagai hadits-hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh para ulama syiah. Di antaranya adalah celaan Imam Ali as bahwa Umar yang mengharamkan mut’ah: 

ﺎَﻤْﺳِإ ُﻦْﺑ ُﺪﱠﻤَﺤُﻣ ٍﺮَﻔْﻌَﺟ ﺎَﺑَأ ُﺖْﻌِﻤَﺳ َلﺎَﻗ َنﺎَﻤْﻴَﻠُﺳ ِﻦْﺑ ِﻪﱠﻠﻟا ِﺪْﺒَﻋ ْﻦَﻋ َنﺎَﻜْﺴُﻣ ِﻦْﺑا ِﻦَﻋ ﻰَﻴْﺤَﻳ ِﻦْﺑ َناَﻮْﻔَﺻ ْﻦَﻋ َناَذﺎَﺷ ِﻦْﺑ ِﻞْﻀَﻔْﻟا ِﻦَﻋ َﻞﻴِﻋ

عليﻩ السلام )  ﱞﻲِﻠَﻋ َنﺎَآ ُلﻮُﻘَﻳعليﻩ السلام ) ﺎﱠﻄَﺨْﻟا ﻲِﻨَﺑ ِﻪِﺑ ﻲِﻨَﻘَﺒَﺳ ﺎَﻣ ﺎَﻟ ْﻮَﻟ ُلﻮُﻘَﻳﱞﻲِﻘَﺷ ﺎﱠﻟِإ ﻰَﻧَز ﺎَﻣ ِب . 

“Muhammad bin Ismail, dari al-Fadhl bin Sa’dzan, dari Sofwan bin Yahya, dari Ibnu Muskan, dari Abdillah bin Sulaiman berkta, “Aku mendengar Abu Ja’far as berkata: Ali as berkata: “Seandainya mut’ah tidak dilarang oleh Ibnu Khattab, maka tidak akan ada yang berbuat zina kecuali orang yang benar-benar celaka.” (lihat Furu’ al-Kafi juz. 5, bab Mut’ah, hadits no. 2 dan Wasa’il Syiah jilid 21 hal 5 riwayat no 26357).

Tetapi, Husein al-Musawi al-Kadzab jelas keliru jika menisbahkan pengharaman nikah mut’ah kepada Umar adalah tuduhan ulama-ulama syiah. Sebab, ketahuilah, pengharaman Umar bin Khattab atas nikah mut’ah juga populer di dalam riwayat2 ahlussunnah, perhatikan hadits berikut ini:   

حدثني محمد بن رافع حدثنا عبدالرزاق أخبرنا ابن جريج أخبرني أبو الزبير قال سمعت جابر

بن عبداللﻩ يقول كنا نستمتع بالقبضة من التمر والدقيق الأيام على عﻩد رسول اللﻩ صلى

اللﻩ عليﻩ و سلم وأبي بكر حتى نﻩى عنﻩ عمر في شأن عمرو بن حريث

Artinya: “Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Rafi’ yang berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq yang berkata, Ibnu Juraij menceritakan kepada kami, bahwa Abu Zubair telah berkata, ‘Aku mendengar Jabir bin Abdillah berkata, “kami melakukan mut’ah dengan segenggam kurma dan gandum pada masa Rasulullah saaw, dan masa Abu Bakar, sampai Umar melarangnya dalam kasus Amr bin Huraits.” (Lihat Shahih Muslim, jilid 2/ juz 4 Kitab Nikah bab Nikah Mut’ah).  

Dengan demikian maka jelas pengharaman mut’ah dilakukan oleh Umar bin Khattab telah masyhur di dalam kitab sunni maupun syiah. Dan tentu saja ijtihad Umar tersebut tidak menjadi hujjah bagi syiah.  

Kedua, benarkah Mut’ah diharamkan pada Hari Khaibar? Husein al-Musawi selanjutnya berkata:  “Yang benar dalam masalah ini adalah bahwa nikah mut’ah diharamkan pada hari Khaibar. Amirul mukminin berkata, “Pada hari Khaibar Rasulullah saaw mengharamkan keledai peliharaan dan nikah mut’ah.” (Lihat at-Tahzhib, 2/186; Al-Istibshar, 3/142; Wasail asy-Syiah, 14/441).

# Saya Jawab: Semua ulama syiah sepakat bahwa mut’ah adalah halal sampai hari kiamat berdasarkan dalil al-Quran dan hadits-hadits yang mutawatir dalam kitab-kitab standar syiah. Jadi, tidak ada peluang sedikitpun untuk menyatakan bahwa mut’ah telah diharamkan oleh para imam syiah as. Namun, Husain al-Musawi berusaha memaksa diri untuk menunjukkan bahwa mut’ah telah diharamkan oleh imam syiah dengan cara memperkuat argumentasinya dengan mengutip hadits dari imam Ali as tentang pengharaman Nikah mut’ah pada hari khaibar. Hadits tersebut adalah sebagai berikut: 

محمد بن أحمد بن يحيى عن أبي الجوزا عن الحسين بن علوان عن عمرو بن خالد عن زيد بن علي

عن ﺁبائﻩ عن علي (علقالحرم رسول اللﻩ (صلى اللﻩ عليﻩ وﺁلﻩ)لحوم الحمر الاﻩلية ونكاح

المتعة

“Dari Muhammad bin Ahmad bin Yahya dari Abil Jauza’dari Husain bin Alwan dari Amru bin Khalid dari Zaid bin Ali dari Ayahnya dari kakeknya dari Ali as yang berkata “Rasulullah saaw pada hari Khaibar telah mengharamkan daging keledai jinak dan nikah mut’ah”. (Lihat Syaikh Thusi, al-Istibshar juz 3 bab Tahlil al-mut’ah hal. 142 hadits no. 5 dalam bab itu atau no. 511) 

Memang benar bahwa hadits tersebut terdapat dalam kitab al-Istibshar karya Syaikh Thusijuz 3 bab Tahlil al-Mut’ah hal. 142 hadits no. 5 atau no. 511; dan juga dalam Kitab Wasa’il Syiah jilid 21 hal. 12 riwayat no 26387. Sekarang mari kita kaji hadits tersebut untuk menguji kualitasnya.

Perhatikan bagaimana Syeikh Thusi memasukkan hadits tersebut dalam bab "Halalnya Mut'ah", lalu mengapa Husein al-Musawi al-Kadzab memasukkannya sebagai dalil "Haramnya mut'ah"? Itulah sebabnya, maka tidak heran jika para ulama syiah tidak mempedulikan riwayat ini. Itulah sebabnya maka Syaikh Thusi dan juga Al-Hurr al-Amili menuliskan bahwa riwayat ini sebagai taqiyyah dalam periwayatan, karena halalnya nikah mut’ah adalah masalah yang dharuriyah dalam mazhab syiah” (lihat Kitab Wasa’il Syiah jilid 21 hal 12).

Ada pun Sayyid Khu’i mengatakan bahwa riwayat dari Imam Ali as yang menyebutkan tentang pengharaman mut’ah pada hari Khaibar adalah palsu, sebab umat Islam masih terus mengerjakannya setelahnya.

وأما ما روي عن علي (عليﻩ السلامفي تحريم المتعة فﻩو موضوع قطعا

(lihat Kitab al-Bayan fi Tafsir al-Quran karya Sayid Khu’i, hal. 322). 

Begitulah para ulama syiah telah menolak riwayat di atas. Lantas bagaimana sebenarnya kondisi riwayat itu sendiri. Sebelum menguji kualitas hadits di atas nya, perlu kita ketahui dulu bahwa pembagian hadits berdasarkan kualitas perawinya menurut syiah adalah empat jenis, yaitu:

1. Hadits Shahih, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh seorang penganut syi'ah Imamiah yang telah diakui keadilannya dan dengan jalan yang shahih.  

2. Hadits Hasan, yaitu jika rawi yang meriwayatkannya adalah seorang syi'ah Imamiah yang terpuji, tidak ada seorangpun yang jelas mengecamnya atau secara jelas mengakui keadilannya.  

3. Hadits Muwatsaq, yaitu jika rawi yang meriwayatkannya adalah bukan syiah, tetapi diakui sebagai orang yang tsiqat dan terpercaya dalam periwayatan. 

4. Hadits Dha'if, yaitu hadis yang tidak mempunyai kriteria-kriteria tiga kelompok hadis di atas, seperti misalnya sang rawi tidak menyebutkan seluruh rawi yang meriwayatkan hadits kepadanya. 

(catatan: ada juga yang menyebut lima jenis dengan menambahkan satu jenis lagi, yaitu Hadits Qawi atau kuat, yakni hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya). 

Dengan memperhatikan sanad hadits Khaibar di atas, maka kita akan menemukan kualitas hadits tersebut. Hadits ini diriwayatkan dengan sanad sebagai berikut:

- Muhammad bin Ahmad bin Yahya al-Asyari dinyatakan tsiqah oleh para ulama (lihat Rijal an-Najasyi, hal. 348 no. 934; Kitab Rijal al-Hilli juz. 1 hal. 164 no. 1308; Kitab Wasail Syiah, juz 30 hal. 461).

- Abil Jauza’ namanya adalah Munabbih bin Abdullah juga dinyatakan tsiqah, shahih al-hadits (lihat Rijal an-Najasyi, hal. 421 no. 1129 dan hal. 459 no. 1252; Kitab Wasail Syiah juz 30, hal. 517; Naqd al-Rijal karya Sayid Mustafa juz 5, hal. 136 no. 5955).

- Husein bin Alwan tsiqah dan merupakan rijal ammah atau bukan orang syiah imamiyah (lihat Kitab Rijal al-Hilli juz 2, hal. 291 no. 8; Kitab Wasail Syiah, juz 30 hal. 354; Rijal an-Najasyi, hal. 52 no. 116; Naqd al-Rijal karya Sayid Mustafa jilid 2, hal. 103 no. 1481).

- Amru bin Khalid al-Wasithi juga merupakan rijal ammah atau bukan orang syiah imamiyah dan meriwayatkan dari Zaid (lihat Rijal an-Najasyi, hal. 228, no. 771; Kitab Rijal al-Hilli juz 2, hal. 292. no. 25; Kitab Wasail Syiah juz 30 hal. 438; Naqd al-Rijal karya Sayid Mustafa jilid 3, hal. 331 no. 3795).

- Zaid bin Ali merupakan putera Imam Ali zainal Abidin dan pemimpin Zaidiyah.

Dengan melihat sanad di atas, maka jelaslah bahwa hadits di atas bukanlah hadits shahih, tetapi hadits muwatsaq. Sebab ternyata Husein bin Alwan dan Amru bin Khalid al-Wasithi merupakan rijal ammah atau bukan orang syiah imamiyah. Hadits shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang syiah yang jujur dan dipercaya, sedangkan hadits Muwatsaq adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang bukan syiah, tetapi diakui sebagai orang yang tsiqat dan terpercaya dalam periwayatan. Orang yang bukan syiah imamiyah di dalam ilmu hadits syiah disebut dengan istilah rijal ‘ammah. Pada dasarnya, Hadits muwatsaq ini bisa dijadikan hujjah jika haditsnya tidak bertentangan dengan riwayat-riwayat yang shahih dan telah diakui (Lihat Muhyiddin al-Musawi al-Guhraifi, Qawa'id al-Hadist, hal. 24-30). 

Ternyata hadits ini bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang banyak jumlahnya dan ijma ulama syiah yang menetapkan bahwa kehalalan nikah mut’ah merupakan hal yang dharuriyat di dalam mazhab syiah. Dengan demikian hadits tersebut mengandung cacat dan tidak dapat dijadikan hujjah, terlebih telah dijelaskan sendiri oleh Syeikh Thusi dan al-Hurr al-Amili bahwa hadits tersebut merupakan taqiyah dalam periwayatan. 

Keterangan di atas sudah cukup untuk menjadikan bukti akan kecacatan dan gugurnya hadits tersebut. Apakah Husein al-Musawi al-Kadzab yang mengaku mujtahid tidak mengetahui persoalan ini, atau dia sedang menerapkan jurus kura-kura dalam perahu, alias pura-pura tidak tahu sbg taktik untuk menipu..?? Ambillah pelajaran wahai orang yang berakal…!! Wallahu a’lam. *** (tamat)

[Candiki RepantuCendekiawan Muslim]