21/07/21

Kultum di Masjid, Fitnah pada Syiah melanjutkan Tradisi Muawiyah

Di daerah Soekarno Hatta Bandung, pada sebuah masjid ada tradisi kultum. Menjelang shalat dzuhur berjamaah ada kuliah singkat sambil menunggu jamaah. Tampil seorang pemuda menyampaikan kesesatan mazhab Syiah. Orang yang kultum menyampaikan cerita yang sama dengan yang disampaikan kaum takfiri tentang mazhab Syiah dengan penuh fitnah.

Seorang kawan mengabarkan pemuda (orang yang memberi kultum) di masjid itu masih terus saja memberikan kuliah menjelang shalat dzuhur di masjid tersebut. Orang yang kultum itu diketahui pegawai atau marbot masjid tersebut. 

Memang menjadi kesempatan yang efektif karena masjid tersebut masjid perusahaan sehingga banyak jamaah dari perkantoran. Momen itu dimanfaatkan oleh orang-orang yang mengobarkan kebencian. Sayangnya, pemuda itu tidak baca buku-buku tentang Syiah dari ulama Syiah atau konfirmasi dari orang Syiah sendiri.

Seorang Muslim yang beriman harusnya tabayun. Pemuda itu harusnya tabayun dahulu sebelum menyampaikan kultum. Saya kira pemuda itu tidak mengerti dengan khazanah Islam yang beragam. Maklum belajarnya hanya dari orang yang benci dengan Syiah sehingga yang keluar dari mulut penuh fitnah.

Seluruh fitnah terhadap kaum Muslim Syiah hanya daur ulang isu yang terus disebarkan dengan tujuan buruk: mengadu domba umat Islam. Bahkan seluruh fitnah dan penyesatan kaum takfiri terhadap Syiah sudah dijawab dalam buku-buku yang berjudul Polemik Sunni Syiah karya Muhammad Babul Ulum, Buku Putih Mazhab Syiah karya Tim Penulis ABI, dan Syiah Menurut Syiah karya Tim Penulis ABI (dengan pengantar dan sambutan dari Menteri Agama RI Luqman Hakim Saefuddin).  

Tradisi Muawiyah

Perilaku pemuda di atas mengingatkan saya pada zaman Dinasti Umayyah bahwa para khatib yang dibayar oleh Muawiyah dan Yazid menyampaikan cercaan dan cacian terhadap Keluarga Nabi (Ahlulbait). Selama tujuh puluh tahun tradisi mencaci Ahlulbait, khususnya kepada Imam Ali bin Abi Thalib ra, dilaksanakan atas perintah penguasa Umayyah. Bila ada khatib yang tidak melaknat kepada Imam Ali bin Abi Thalib ra maka segera dieksekusi.

Tradisi yang dirintis oleh Muawiyah yang penuh dendam politik ini dihentikan oleh Umar bin Abdul Aziz ketika menjadi penguasa Dinasti Umayyah. Setelah Umar bin Abdul Aziz meninggal dunia, ternyata tradisi Muawiyah kembali lagi dilakukan oleh khalifah penggantinya. Bahkan memburu orang-orang Islam yang dicurigai sebagai Syiah kemudian dibunuhnya.

Perlakuan kejam Dinasti Umayyah ini berakhir ketika Dinasti Abbasiyah memerintah. Orang-orang Umayyah oleh orang-orang dari Dinasti Abbasiyah diburu kemudian dibunuh. Orang-orang Umayyah yang berperilaku kejam kepada Ahlulbait mendapat balasan dari orang-orang Dinasti Abbasiyah. Sayangnya, Dinasti Abbasiyah ini dalam sejarah pun sama buruknya terhadap pengikut Ahlulbait, khususnya kaum Syiah. Para Imam Syiah dipenjarakan, diracun, dan dilecehkan dengan penghinaan oleh para khalifah Abbasiyah.

Begitulah kekuasaan dan politik. Sulit untuk diteladani. Meski memakai simbol Islam, tetap yang buruk akan terlihat buruk. Yang baik meski ditutupi akan terlihat baik. Kebenaran akan senantiasa muncul meski disebut-sebut sesat. Percayalah sejarah akan membuktikannya. 

Sejarah memang berulang. Sayangnya, bukan yang baik dan pantas diteladani yang berulang malah yang sebaliknya. Urusan ikhtilaf mazhab dan perbedaan dalam Islam bukan masalah yang perlu dibesar-besarkan. Seharusnya dikedepankan adalah ukhuwah Islamiyyah, persaudaraan di umat Islam. Bukan menabuh genderang perang dengan menyebutkan sesuatu yang bukan ajaran Islam. Para ulama Indonesia dan dari seluruh dunia dalam Risalah Amman menyatakan Syiah bagian dari Islam. Pak Menteri Agama RI pun dalam sebuah wawancara menyatakan Syiah sebagai Islam. 

Perbedaan dalam Islam, baik Sunni maupun Syiah, saya kira bagian dari khazanah peradaban Islam. Perbedaan pemahaman Islam dan mazhab sebetulnya alternatif bagi seorang Muslim dalam beragama. Setiap orang Islam berhak untuk mengikuti mazhab yang diyakininya dan merujuk ulama yang dianggapnya mumpuni dalam ilmu-ilmu agama. Tidak perlu mengurus urusan mahzab orang lain.

Lihat orang dari kontribusinya: kebaikan dan amal saleh. Bukan pada mazhab dan organisasi. Nilai orang dari perilaku dan ucapannya. Jika memang buruk dan tidak ada kebaikan padanya, jangan menyalahkan mazhab dan organisasi yang diikutinya. Perbuatan seseorang tidak menentukan baik dan buruk sebuah organisasi dan mazhab.

Belajarlah untuk melihat persoalan dengan bijak. Dahulukan kebenaran ilmiah ketimbang fitnah yang didengar dari orang-orang yang benci kepada sesama umat Islam; hanya karena karier yang melejit dan naik status. Gunakan akal sehat dalam menyaring informasi! Jangan langsung percaya, siapa tahu informasi yang datang itu berasal dari orang fasik. Karena itu, lakukan tabayun! *** (AS/Juni 2015)