Tanah Fadak adalah harta Rasulullah saw yang didapatkan setelah perang Khaibar. Orang-orang yang berada di Fadak menyerah kepada Rasulullah saw tanpa perlawanan sehingga harta mereka milik Sang Nabi. Ketika wafat Nabi, tanah tersebut tidak diberikan oleh Abu Bakar yang berkuasa kepada Sayidah Fathimah malah dikuasai.
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, tanah tersebut diambil oleh pemerintah yang berkuasa: Abu Bakar. Sayyidah Fathimah pun menggugatnya. Sayyidah Fathimah membawa saksi-saksi, tetapi tetap disita dengan alasan para Nabi tidak memiliki warisan. Alasan pemerintah yang berkuasa menyita tanah Fadak yang disandarkan pada ucapan Nabi Muhammad saw belum saya temukan dalam hadis atau riwayat-riwayat. Hadis ini mungkin termasuk ahad sehingga kedudukannya kurang kuat untuk dijadikan dasar atau argumen. Alasan tersebut dibantah oleh Sayyidah Fathimah dibantah dengan dalil-dalil yang kuat.
Sejarawan O.Hashem memuat dialognya yang berlangsung di sebuah majelis yang dihadiri kaum Muslim, sebagai berikut:
“Dan tatkala sampai kepada Fâthimah bahwa Abû Bakar menolak haknya atas Fadak, maka Fâthimah lalu memakai jilbabnya dan datanglah ia mengahadap Abû Bakar, disertai para pembantu dan kaum wanita Banû Hâsyim yang mengikutinya dari belakang. Fâthimah berjalan dengan jejak langkah seperti jejak langkah Rasûl. Ia lalu memasuki majelis yang dihadiri Abû Bakar dan penuh dengan kaum Muhâjirîn dan Anshâr. Fâthimah membentangkan tirai antara dia dan kaum wanita yang menemaninya di satu sisi, dan majelis yang terdiri dari kaum pria pada sisi lain. Ia masuk sambil menangis tersedu, dan seluruh hadirin turut menangis. Maka gemparlah pertemuan itu.
Setelah suasana makin tenang, Fâthimah pun bicara: “Saya mulai dengan memuji Allâh Yang Patut Dipuji. Segala Puji bagi Allâh atas segala nikmat-Nya, dan terhadap apa yang diberikan-Nya. Apabila Anda mati, wahai Abû Bakar, siapakah yang akan menerima warisan Anda?”
Abû Bakar: “Anakku dan keluargaku.”
Fâthimah: “Mengapa maka Anda mengambil warisan Rasûl yang menjadi hak anak dan keluarga beliau?”
Abû Bakar: “Saya tidak berbuat begitu, wahai putri Rasûl.”
Fâthimah: “Tetapi Anda mengambil Fadak, hak Rasûl Allâh yang telah beliau berikan kepada saya semasa beliau masih hidup. Apakah Anda dengan sengaja meninggalkan Kitâb Allâh dan membelakanginya, serta mengabaikan firman Allâh yang mengatakan, ‘Sulaimân menerima warisan dari Dâwud’ (QS An-Naml: 16) dan ketika Allâh mengisahkan tentang Zakaria (QS Maryam: 4-6) serta firman Allâh, Dan keluarga sedarah lebih berhak waris mewarisi menurut Kitâb Allâh’ (QS Al-Ahzab: 6). Dan Allâh berwasiat, ‘Bahwa anak laki-lakimu mendapat warisan seperti dua anak perempuan’(QS An-Nisa: 11). Dan firman Allâh, ‘Diwajibkan atas kamu apabila salah seorang dari kamu akan mati, jika ia meninggalkan harta, bahwa ia membuat wasiat bagi kedua orang tua dan keluarganya dengan cara yang baik, itu adalah kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa’ (QS Al-Baqarah: 80).
Apakah Allâh mengkhususkan ayat-ayat tersebut kepada Anda dan mengecualikan ayah saya daripadanya? Apakah Anda lebih mengetahui ayat-ayat yang khusus dan umum lebih dari ayah saya dan anak pamannya? Apakah Anda menganggap bahwa ayah saya berlainan agama dengan saya, dan oleh karena itu maka saya tidak berhak menerima warisan?” (O.Hashem, Saqîfah: Awal Perselisihan Umat (Lampung: YAPI, 1983) Bab 11 Abu Bakar dan Fathimah)
Meskipun sudah dibantah, Abu Bakar tetap tidak menyerahkan Tanah Fadak. Akibatnya, Sayyidah Fathimah binti Muhammad saw marah dan tidak mau bertemu dengan Abu Bakar. Mendengar kabar putri Nabi saw marah maka gusar hati sangpenguasa. Abu Bakar meminta Ali untuk dapat berdialog lagi dengan putri Nabi saw. Sesampainya di rumah, Sayyidah Fathimah tidak meniyakan tamunya. Atas desakan suaminya, penguasa tersebut masuk dan terjadilah percakapan terakhir berkaitan dengan masalah Tanah Fadak.
Abu Bakar didampingi Umar bin Khaththab berkata lagi tentang alasan tidak menyerahkan Fadak. Sayyidah Fathimah menjawab dengan mengajukan pertanyaan, “Jika aku mengutip kata-kata Rasulullah kepada kalian berdua, maukah kalian mengakuinya sebagai perkataan beliau dan mengikutinya?”
Keduanya menjawab, “Ya.”
Sayyidah Fathimah berkata, “Aku memegang baiat di hadapan Allah. Tidakkah engkau mendengar Nabi berkata: kepuasan Fathimah adalah kepuasanku dan kemarahan Fathimah adalah kemarahanku. Apa yang disukai Fathimah, aku sukai. Apa yang membuat Fathimah puas, memuaskanku. Apa yang membuat Fathimah marah, membuatku marah.”
“Ya… kami mendengar kata-kata tersebut dari Rasulullah,” jawab keduanya serempak.
“Maka, aku memiliki kewenangan dari Allah dan para malaikat untuk mengatakan kepada kalian bahwa kalian berdua telah membuatku marah dan kalian berdua tidak memberiku kepuasan. (Kelak) ketika aku berjumpa Rasulullah, aku akan mengadukan kepadanya tentang kalian. Aku akan mengeluhkan tentang kalian kepadanya” (Ali Syariati, Fatimah: The Greatest Woman in Islamic History (Jakarta: Tahira, 2008)halaman 287-288).
Setelah dialog itu keduanya keluar dan Tanah Fadak tetap tidak dikembalikansampai Sang Putri wafat. Bahkan, dari peralihan penguasa demi penguasa tetap disita. Peristiwa ini jarang disebutkan para sejarawan. Padahal, dari segi data banyak dan tidak terbantahkan. ***
(Ikhwan Mustafa)