21/01/22

Belajar Tasawuf: Tafakkur [by Dr Khalid Al Walid]

Allah Swt berfirman, "Dan kami turunkan padamu al-Qur'an untuk memberikan penjelasan pada manusia apa-apa yang sebelumnya telah diturunkan untuk mereka agar mereka berfikir" (QS 16:44). 

Ketahuilah bahwa sesungguhnya tafakkur adalah sentuhan mata bathin untuk memahami hakikat. Ada tiga manzilah (tahapan) pada tafakkur ini. 

Manzilah pertama adalah berfikir dalam hakikat Tauhid. Yang dimaksud adalah tenggelam dalam lautan kesungguhan dengan mengerahkan akal dari ketidaktahuan menuju ma'rifat dengan menyandarkan diri pada bangunan berfikir yang logis dan berdasarkan argumentasi logika. Upaya ini adalah upaya awal untuk melepaskan hijab. Namun tidak akan tercapai hakikat kebenaran kecuali dengan berpegang pada cahaya penyajian ruhaniah, yaitu berpegang pada petunjuk yang Allah berikan hingga sampai kepada-Nya melalui cahaya-Nya. 

“Kami berikan kepadanya Rahmat dari sisi Kami dan kami ajarkan kepadanya pengetahuan yang ada pada Kami” (QS 18: 65). Dan berpegang pada ilmu zhahir, yaitu bersandar pada pembuktian dan ma'rifat ketuhanan berdasarkan pembuktian argumentasi logika tentang ketunggalan Tuhan. “Sekiranya ada Tuhan selain Allah maka telah terjadi kehancuran” (QS 21: 22) dan “Dan Tuhan Kamu adalah Tuhan yang satu tiada Tuhan kecuali Dia” (QS 2: 163). 

Manzilah kedua adalah berfikir tentang kehalusan dan rahasia dari ciptaan. Hal ini merupakan mata air yang menyirami kebun hikmah. Yang dimaksud adalah berfikir bahwa segala sesuatu adalah Tajalli Ilahi yang setiap apa pun yang ada dan terjadi merupakan gambaran hakikat diri-Nya. Kesadaran akan hal ini akan membawa salik (orang menempuh tasawuf—ed) untuk memahami hikmah atas setiap hal yang ada. Hikmah merupakan ilmu terhadap hakikat dan sifat dari realitas. 

Untuk sampai pada tingkat ini, seorang salik harus menyadari: keterbatasan akal sehingga tidak berhenti pada hasil yang dicapai melalui proses logis akal dan berpegang pada tali keagungan Ilahi. Berpegang pada tali keagungan Ilahi adalah menyadari hakikat kemutlakan dan ketidak terbatasan Ilahi.

Untuk dapat merasakan kehalusan hakikat ciptaan dan realitas melalui tiga hal. (1) Berprasangka baik terhadap sumber pemberian; bahwa Dialah yang menciptakan dari ketiadaan sebelumnya. Menciptakan bentuk rupa, pendengaran, penglihatan dan sebagainya. Bahwa semuanya semata pemberian karena kebaikan-Nya. Dan melihat betapa luar biasanya setiap bentuk ciptaan-Nya; (2) Menjawab setiap panggilan isyarat bahwa keindahan dan keluarbiasaan ciptaan-Nya serta semata kebaikan-Nya pada segala hal merupakan isyarat keharusan untuk bersyukur kepada-Nya. Menyembahnya dengan ketulusan syukur kepada-Nya, mukhlisan lahuddiin; (3) Melepaskan diri dari belenggu syahwat dengan ketulusan diri menyembah-Nya akan terlepas dari ikatan belenggu syahwat yang menjernihkan kembali telaga hatinya setelah sebelumnya dikotori oleh keruh-keruh dosa dan keburukan serta kegelapan. Sehingga dengan itu, Allah akan meletakkan dalam hatinya cahaya yang akan menuntunnya memisahkan antara haq dan bathil serta mampu menatap keindahan Ilahi pada setiap ciptaan-Nya. “Sekiranya kamu bertakwa maka Kami jadikan padamu pembeda” (QS 8: 29). 

Manzilah ketiga adalah berfikir tentang makna dari setiap perbuatan (al-'amal) dan keadaan (al-ahwal). Makna dari perbuatan (al-'amal) yang dimaksud bahwa setiap tindakan dan perbuatan yang terjadi haruslah berkesesuaian dengan keinginan dan kehendak Allah bukan berasal dari dorongan dirinya sehingga menjadi hijab untuk menyaksikan-Nya. Perbuatan yang muncul haruslah berdasarkan keinginan Allah atas dirinya. Makna keadaan (al-ahwal) adalah seluruh hakikat yang tercurah dan pancaran Ilahi yang menerangi hati. Seperti cinta, kerinduan dan perjumpaan. 

Berfikir tentang makna-makna perbuatan dan ahwal akan memudahkan jalan bagi para salik melakukan perjalanan menuju hakikat. Karena, baik itu makna perbuatan maupun makna keadaan, hakikatnya merupakan curahan rahmat Ilahi atas diri salik. 

Proses berfikir terhadap makna perbuatan dan makna keadaan ini bergantung pada tiga hal. (1) Mendasarkan pada ilmu bahwa perbuatan haruslah bersandarkan pada ilmu. “Seluruh manusia celaka kecuali yang berilmu dan seluruh yang berilmu celaka kecuali yang berilmu...” Ilmu baik terhadap Syariat, Thariqat maupun Ma'rifat dan seluruh sebab Tajalli yang terjadi; (2) Merendahkan kebiasaan (al-marsumat): bahwa hukum yang diikuti adalah hukum Bathin (Ahwal) bukan lagi hukum Zhahir. Hal-hal yang selama ini dilakukan berdasarkan Zhahir merupakan satu keburukan dan Salik sudah harus mengikuti hukum-hukum bathini. Pedang Ilmu pada wilayah ini menjadi tumpul karena Tajalli cahaya Tauhid. “Hal-hal yang baik bagi orang yang baik adalah keburukan bagi Muqarabbin” (al-Hadis); (3) Ma'rifat realitas mempesona: realitas yang menghilangkan kesadaran salik karena pesona keindahan yang paling dahsyat sehingga menimbulkan rasa cinta yang menggelora. Dan Salik fana' dalam pesona ini yang sesungguhnya bukanlah Diri-Nya. Salik harus melepaskan diri dari jeratan pesona syuhudi ini. 

“Maka ia berkata: Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan. Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku. Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu” (QS 38:32 & 33). 

“Dan Kami meneguhkan hati mereka diwaktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata: Tuhan kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran” (QS 18:14). ***

Dr Khalid Al Walid adalah narasumber Belajar Tasawuf pada YouTube MISYKAT TV, setiap minggu jam 19.45-21.00 WIBB.