19/01/22

Mengkritisi Buku Panduan MUI (16): Penyimpangan Syiah, Mengafirkan Umat Islam

 image

Pada bagian ketiga tentang penyimpangan Syiah, MMPSI (Mengenal & Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia) mencoba menggiring pembacanya dengan menuduh syiah mengafirkan umat Islam selain syiah, termasuk ahlussunnah wal jamaah. 

Dalam hal ini, MMPSI menurunkan beberapa kutipan dari buku-buku syiah untuk menegakkan hujjahnya. Namun sayang, Tuduhan ini di dasarkan kepada beberapa riwayat lemah dan pendapat yang keliru dipahami serta diselewengkan maknanya. Berikut ini akan di bahas kutipan MMPSI dari kitab-kitab syiah tersebut. 

Semua Orang Selain Syiah adalah Anak Pelacur

MMPSI dengan mengutip kitab Raudhah min al-Kafi, vol.8 h.227 menyatakan :

“Seorang ulama Syiah, al-Kulaini mengatakan dalam kitabnya bahwa semua umat Islam selain syiah adalah anak pelacur. (hal. 43) 

Tanggapan :

Tentang hadis di atas, MMPSI keliru dalam memahami riwayat dari Syaikh al-Kulaini tersebut dan melakukan penyimpangan terhadap makna ‘pelacur’ dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Kulaini. Kekeliruan itu disebarkan dengan cara memotong-motong hadis tersebut sehingga terkesan buruk. Karena itu, untuk mendapatkan makna sesungguhnya, kita tuliskan teks yang dipotong tersebut. Berikut hadisnya :  

عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْعَبَّاسِ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَاصِمِ بْنِ حُمَيْدٍ عَنْ أَبِي حَمْزَةَ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ( عليه السلام ) قَالَ قُلْتُ لَهُ إِنَّ بَعْضَ أَصْحَابِنَا يَفْتَرُونَ وَ يَقْذِفُونَ مَنْ خَالَفَهُمْ فَقَالَ لِي الْكَفُّ عَنْهُمْ أَجْمَلُ ثُمَّ قَالَ وَ اللَّهِ يَا أَبَا حَمْزَةَ إِنَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ أَوْلَادُ بَغَايَا مَا خَلَا شِيعَتَنَا قُلْتُ كَيْفَ لِي بِالْمَخْرَجِ مِنْ هَذَا فَقَالَ لِي يَا أَبَا حَمْزَةَ كِتَابُ اللَّهِ الْمُنْزَلُ يَدُلُّ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى جَعَلَ لَنَا أَهْلَ الْبَيْتِ سِهَاماً ثَلَاثَةً فِي جَمِيعِ الْفَيْ‏ءِ ثُمَّ قَالَ عَزَّ وَ جَلَّ وَ اعْلَمُوا أَنَّما غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْ‏ءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَ لِلرَّسُولِ وَ لِذِي الْقُرْبى وَ الْيَتامى وَ الْمَساكِينِ وَ ابْنِ السَّبِيلِ فَنَحْنُ أَصْحَابُ الْخُمُسِوَ الْفَيْ‏ءِ وَ قَدْ حَرَّمْنَاهُ عَلَى جَمِيعِ النَّاسِ مَا خَلَا شِيعَتَنَا وَ اللَّهِ يَا أَبَا حَمْزَةَ مَا مِنْ أَرْضٍ تُفْتَحُ وَ لَا خُمُسٍ يُخْمَسُ فَيُضْرَبُ عَلَى شَيْ‏ءٍ مِنْهُ إِلَّا كَانَ حَرَاماً عَلَى مَنْ يُصِيبُهُ فَرْجاً كَانَ أَوْ مَالًا وَ لَوْ قَدْ ظَهَرَ الْحَقُّ لَقَدْ بِيعَ الرَّجُلُ الْكَرِيمَةُ عَلَيْهِ نَفْسُهُ فِيمَنْ لَا يَزِيدُ حَتَّى إِنَّ الرَّجُلَ مِنْهُمْ لَيَفْتَدِي بِجَمِيعِ مَالِهِ وَ يَطْلُبُ النَّجَاةَ لِنَفْسِهِ فَلَا يَصِلُ إِلَى شَيْ‏ءٍ مِنْ ذَلِكَ وَ قَدْ أَخْرَجُونَا وَ شِيعَتَنَا مِنْ حَقِّنَا ذَلِكَ بِلَا عُذْرٍ وَ لَا حَقٍّ وَ لَا حُجَّةٍ 

“Ali bin Muhammad, dari Ali bin ‘Abbas, dari al-Hasan bin Abdurrahman, dari  Ashim bin Humaid, dari Abu Hamzah, dari Abu Ja‘far a.s. (Abu Hamzah) berkata, “Aku berkata kepadanya bahwa sebagian sahabat kami mencela dan menuduh siapa yang menyelisihi mereka”. Maka Imam Ja’far as berkata : “Menahan diri dari mereka itu lebih bagus”.  

Kemudian beliau as berkata : Demi Allah, wahai Abu Hamzah, sesungguhnya manusia semuanya merupakan anak-anak “pelacur” kecuali syiah kami”. Aku berkata: Bagaimana jalan keluar bagiku dari masalah ini? Beliau a.s berkata: “Wahai Abu Hamzah, kitabullah yang diturunkan menunjukkan bahwa Allah menjadikan untuk kami ahlul bait tiga bagian dari semua fai’. Allah Azza wa Jalla berfirman, “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang miskin, dan ibnussabil” (Q.S. al-Anfal : 41).  

Maka kamilah  pemilikkhumus dan fai’. Dan sesungguhnya kami telah mengharamkannya ke atas semua manusia selain daripada syiah kami. Demi Allah, wahai Abu Hamzah, tidak ada tanah yang dibuka, tidak ada khumus yang diambil, lalu digunakan di atas sesuatu daripadanya melainkan ia adalah haram di atas orang yang mengambilnya baik ia merupakan kemenangan atau harta. Seandainya dengan sungguh-sungguh seorang laki-laki memberikan tebusan seluruh hartanya dan menuntut kejayaan untuk dirinya, maka dia tidak akan mencapainya…Sesungguhnya mereka telah mengeluarkan kami dan syiah kami dari hak kami tanpa uzur, tanpa kebenaran dan tanpa hujjah…” (Syaikh al-Kulaini, Raudah al-Kafi jilid 8, hal. 286-287 no 431) 

Hadis ini tidak bisa dijadikan hujjah untuk menuduh syiah, karena di lihat dari sisi kualitasnya, hadis di atas dinilai dhaif (al-Majlisi, Mirat al-Uqul jilid 26, hal. 306). Hal ini disebabkan di dalam sanadnya terdapat Ali bin Abbas al-Kaharadzini/al-Jaradzni yang dituduh berlebihan, tercela, dan sangat dhaif (lihat Rijal An-Najasyiy, hal 255 no 668) dan juga al-Hasan bin Abdurrahman al-Himmani yangmajhul sehingga diabaikan (Sayyid Khu’i, Mu’jam Rijal Al-Hadits 5/364 no 2900; al-Jawahiri, Al-Mufid min Mu’jam Rijal al-Hadis, hal. 143). 

Adapun secara matan, hadis ini juga bermasalah, sebab mustahil semua umat manusia adalah anak-anak pelacur (anak zina), sementara ulama syiah memandang sah pernikahan kaum non syiah bahkan non-muslim sekalipun.

Syaikh Jawad Mughniyah dalam Fikih Imam Ja’far Shadiq (edisi bahasa Indonesia), hal. 315 mengatakan :

Pernikahan-pernikahan yang dilakukan oleh kalangan non-muslim semuanya sah dengan syarat harus berlaku sesuai dengan keyakinan agama mereka.” Kemudian pada hal. 317 saat membahas tentang kafa’ah beliau menulis : “Kafaah (kesetaraan) di anatara suami isteri menurut mazhab imamiyah adalah Islam. Yang demikian itu sudah cukup dan lengkap tanpa ada perbedaan di antara semua mazhab Islam dan seluruh golongannya. Penulis al-Jawahir berkata, ‘Dalam pernikahan, syarat utama adalah Islam, dan bahwa semua golongan, asal tidak terbukti sifat permusuhan mereka terhadap ahlul bait as (nashab/nashibi) dan berlebihan (ghuluw) terhadap mereka, atau sifat-sifat lain, adalah seagama dan bersama-sama dalam pernikahan di antara mereka, dan mereka saling mewarisi, juga hukum-hukum lain.

Syaikh Ali Muhsin, setelah menegaskan kedhaifan hadis di atas kemudian menyatakan bahwa seandainya pun kita menerima hadis tersebut, maka kita bisa memahami dengan cara yang berbeda. Yaitu, yang dimaksud dengan baghaya adalah para budak, bukan anak pezina atau pelacur. Karena kata baghiy juga bermakna amah (budak)baik dia wanita keji maupun tidak.

Ibnu Katsir dalam kitab an-Nihayah fi Gharib al-hadits wa al-Atsar 1/144 mengatakan, “dikatakan baghiy bagiamah (budak) tak berarti cela, walau pada asalnya adalah cela.” Begitu pula dengan Ibnu Manzhur dalam Lisan al-Arab mengatakan, “Abu Ubaid berkata, ‘kata baghaya adalah ima’ (wanita-wanita budak), karena mereka itu berbuat keji. Dikatakan, ‘qamat ‘ala ru’usihin al-baghaya’ yakni para wanita budak. Kata tunggalnya adalah baghiy, jamaknya baghaya…kemudian sering dipakai dalam pembicaraan mereka sampai umumnya mereka menyebut kaum pelaku keji, baik yang merdeka maupun budak.” Jadi, jika hadis itu benar, maka kemungkinan maksudnya adalah kaum yang disifati bahwa ibu-ibu mereka adalah para budak atau kaum pelaku keji (lihat Syaikh Ali Muhsin,Demi Allah Junjunglah Kebenaran, 2010, hal. 473-475). 

Kemudian, dengan memperhatikan keseluruhan teks yang dibawakan oleh Syaikh al-Kulaini di atas, maka kita bisa memahami bahwa makna “pelacur” (baghaya)adalah majazi (kiasan) yang digunakan dalam hubungannya dengan orang yang mengambil khumus dari fa’i tanpa hak, bukan dalam artian pelacur atau hubungan diluar nikah. Artinya, orang yang mengambil khumus tanpa hak dan menggunakannya untuk pernikahan, maka hal itu seperti “pelacur”.  

Karena kalimat menuduh (qadzif) dalam hadis tersebut menurut Al-Majlisi adalah menuduh berzina (Mirat al-Uqul jilid 26, hal. 306). Artinya, sekelompok orang menuduh orang lain—Abu Hamzah—melakukan perzinahan. 

Hal itu diperkuat, dengan membandingkannya terhadap hadis lain, di mana imam menjelaskan mengapa orang dituduh berzina (menghasilkan anak pelacur). Hal ini bisa kita lihat dalam riwayat lain di kitab Ushul al-Kafi jilid 1, hal. 546, Bab al-Fai wa al-Anfal wa Tafsir al-Khumus, hadis no. 16 berikut ini : 

عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ مَحْبُوبٍ عَنْ ضُرَيْسٍ الْكُنَاسِيِّ قَالَ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) مِنْ أَيْنَ دَخَلَ عَلَى النَّاسِ الزِّنَا قُلْتُ لَا أَدْرِي جُعِلْتُ فِدَاكَ قَالَ مِنْ قِبَلِ خُمُسِنَا أَهْلَ الْبَيْتِ إِلَّا شِيعَتَنَا الْأَطْيَبِينَ فَإِنَّهُ مُحَلَّلٌ لَهُمْ لِمِيلَادِهِمْ

“Ali bin Ibrahim, dari ayahnya, dari Ibn Mahbub, dari Dhuraisy al-Kinasi berkata : Abu Abdillah a.s telah berkata: “Tahukah kamu dari mana zina masuk kepada manusia?” Aku berkata: “Aku tidak mengetahuinya, semoga diriku menjadi tebusan anda”. Beliau as berkata : “Dari khumus kami ahlul bait, selain syiah kami yang baik (maksudnya : tidak menerima khumus kami Ahlul Bait melainkan syiah kami yang baik), sesungguhnya khumus dihalalkan untuk mereka dan anak-anak mereka”(Ushul al-Kafi jilid 1, hal. 546, no. 16) 

Riwayat di atas menjelaskan bahwa “zina terjadi melalui khumus” yakni bahwa selain syiah tidak boleh menikahi budak perempuan yang ditawannya tanpa izin dari imam, juga tidak boleh membelinya dan tidak boleh menjadikan mahar wanita dari berbagai macam keuntungan usahanya karena di sana ada hak imam atau paling tidak ada sebagian dari hak imam.  

Sekiranya ia melakukan semua itu maka berarti ia telah merampas hak imam dan hubungannya dengan wanita dianggap “zina”. Anak yang lahir darinya akan terhitung di sisi Allah sebagai “anak zina”. Namun semua itu dibolehkan sebelum mereka mengeluarkan hak imam dan hak para sayid dengan seizin imam, demi kesucian hubungan mereka dan anak-anak mereka. (al-Mazandarani, Syarah Ushul al-Kafi, jilid 7, hal. 411) 

Dalam kitab Jawahir al-Kalam 16/145 menyebutkan beberapa pendapat tentang khumus dan anfal, yang diantaranya adalah bahwa anfal merupakan milik para Nabi saaw dan para imam. Adapun pada masa kegaiban Imam Mahdi afs, maka imam telah mengizinkan syiahnya untuk menggunakan hak-hak mereka yang berhubungan dengan khumus dan selainnya yang mereka butuhkan untuk nikah dan usaha. 

Penjelasannya, menikah bisa dilakukan dengan dua cara yaitu menikah secara umum dan melalui perbudakan (milk al-yamin). Perbudakan itu sendiri diperoleh dengan dua cara, yakni menawan atau membeli. Apabila didapat melaluni penawanan tanpa seizin imam, maka budak tersebut sepenuhnya milik imam. Dan imam tidak akan menghalalkannya kepada selain syiah. Barangsiapa yang menikahinya tanpa seizin imam, maka berarti ia telah “menzinahinya”.  

Adapun apabila milk al-yamin itu diperoleh lewat membelinya, maka perlu diperhatikan, dalam setiap harta dan keuntungan usaha kaum muslimin terdapat hak imam (khumus), maka bisa jadi uang yang diberikannya untuk membeli budak tersebut, sebagiannya adalah milik imam. Hal ini berakibat bahwa si budak tersebut adalah milik bersama antara imam dan si pembeli. Dan karena salah seorang dari mereka tidak boleh menyentuhnya kecuali dengan seizin yang lainnya. Maka imam as tidak mengizinkan kepada selain dari syiahnya, maka itu adalah perbuatan “zina”. 

Adapun jika hubungannya terjadi lewat pernikahan maka harta yang dikeluarkan sebagai maharnya, di dalamnya ada khumusnya, sebab ia berasal dari keuntungan usahanya. Itu berarti ia berbagi dengan imam. Dan imam tidak mengizinkan penggunaannya kepada selain dari syiahnya, maka mahar tersebut harus berhukum maghsub, atau harta yang dirampas. Adapun kepada syiahnya, imam menjelaskan bahwa seorang syiah diizinkan menggunakan hasil usahanya sebagai mahar pernikahan dan membeli budak sekalipun khumusnya belum dikeluarkan. 

Kemudian, nampaknya kalimat “zina” sebagai kiasan saja, sama seperti yang ada dalam sejumlah hadis seperti mata berzina, telinga berzina, lidah berzina dan lain-lain. Dan tak diragukan lagi bahwa mereka bukanlah berarti para pezina yang sesungguhnya, sebab apabila nikah mereka batal, maka hubunganya suami isteri menjadi wath’ syubhah (hubungan yang subhat, bukan zina). Demikian juga, ungkapan hadis tersebut bahwa syiah adalah orang-orang baik, maksudnya adalah bahwa selain mereka juga baik, tetapi syiah lebih baik. (Syaikh Ali Muhsin, Demi Allah Junjunglah Kebenaran, 2010).  *** (Candiki Repantu)