MMPSI (Mengenal & Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia) menyatakan bahwa Sayid Syarafuddin Al-Musawi di dalam bukunya Dialog Sunnah-Syiah, hal. 357 menyatakan “Aisyah mempropokasi khalayak dengan memerintahkan mereka agar membunuh Usman bin Affan. ‘Bunuhlah Na’tsal karena ia sudah kafir!’.” (hal. 35)
Emilia Renita dalam bukunya 40 Masalah Syiah, hal. 83 menyatakan : “Aisyah, Thalhah, Zubair, dan sahabat-sahabat yang satu aliran dengan mereka memerangi Imam Ali as. Sebelumnya, mereka berkomplot untuk membunuh Usman” (hal-35-36)
Di dalam buku Antologi Islam, tim penulis syiah menyatakan bahwa : “Para pemimpin itu [Aisyah, Thalhah, Zubair, dan lain-lain] tidak menuntut balas atas darah Usman karena mereka sendiri yang ada di balik persekongkolan itu. Mereka berpura-pura melakukan hal itu sebagai cara menjatuhkan kekhalifahan Imam Ali” (hal. 36)
Setelah menuliskan hal-hal tersebut kemudian MMPSI menegaskan bahwa :
“Semua itu adalah tuduhan dusta dan fitnah yang sangat keji kepada sahabat Nabi yang berdasarkan imajinasi dan cerita-cerita bohong, serta bentuk penodaan terhadap agama dan sejarah Islam.” (hal-36)
Tanggapan :
MMPSI menuduh ulama dan penulis syiah melakukan tuduhan dusta serta fitnah yang keji kepada sahabat Nabi saaw. MMPSI juga menganggap cerita di atas sebagai imajinasi dan cerita bohong penulis syiah. Benarkah demikian?
Ketahuilah, para ulama syiah tidak terbiasa untuk menyampaikan sesuatu tanpa bukti dan dalil. Para ulama syiah selalu menjaga nilai ilmiah suatu diskusi dan dialog untuk saling memahami. Para penulis syiah, dalam dialog dengan sunni selalu menampilkan literatur-literatur sunni sebagai hujjah dan etika dialog. Hal itu sangat terlihat, misalnya dalam buku Dialog Sunnah-Syiah karya Sayid Syarafuddin al-Musawi tersebut, begitu juga buku 40 Masalah Syiah karya Emilia Renita, dan Antologi Islam. Yang mana mereka menghiasi setiap komentar dengan rujukan-rujukan yang diakui. Termasuk masalah di atas, tentang Siti Aisyah ummul mukminin dan peristiwa pembunuhan Khalifah Usman bin Affan.
Sayid Syarafuddin misalnya menulis bahwa “Aisyah memerintahkan untuk membunuh Na’tsal yakni Utsman karena ia telah kafir”, hal itu bukanlah imajinasi dan kedustaan yang beliau lakukan, tetapi hal itu bersumber dari kitab-kitab ulama sunni sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam bukunyaDialog Sunnah-Syiah, hal. 357, catatan kaki no. 352 sebagai berikut :
“Propokasi yang dilakukan Aisyah terhadap Utsman, dan protes-protesnya atas banyak di antara tindakan-tindakannya, serta cara ia memperolok-oloknya di depan khalayak, dan juga ucapannya, “Bunuhlah Na’tal (Utsman), sebab kini ia sudah kafir!”. Semua itu banyak disebut-sebut dalam kitab yang menukilkan berita-berita sekitar peristiwa-peristiwa waktu itu. Sebagai contoh, apa yang tersebut di dalam kitab Tarikh Ibnu Jarir dan Ibnu Atsir, sebagian dari syair yang mengecam Aisyah :
Engkau yang memulai, engkau yang merusak
Angin dan hujan (kekacauan) semuanya berasal darimu
Engkau yang memerintahkan, Pembunuhan atas diri sang imam
Engkau yang mengatakan, Kini ia telah kafir
Baca kitab al-Kamil karangan Ibnu Atsir ketika ia menyebutkan mengenai permulaan (prolog) peperangan jamal (jilid III halaman 80). (al-Musawi, Dialog Sunnah-Syiah, hal. 357, catatan kaki no. 352)
Tapi, sayang buku MMPSI yang konon di tulis oleh organisasi ulama papan atas Indonesia menuduh Sayid Syarafuddin sebagai pendusta, dan melupakan ulama Sunni yang menjadi sumber kisahnya.Beranikah para ulama, penulis MMPSI ini menuduhkan hal yang sama yakni : “kedustaan, fitnah yang keji, imajinasi dan pelecehan agama kepada Ibnu Jarir at-Thabari, Ibnu Atsir dan ulama-ulama sunni lainnya yang menceritakan dan menjadi sumber kisah di atas?” Dalam kitab al-Murajaat, hal. 490 terbitan Majma al-Alami Ahl al-Bait, disebutkan sumber-sumber kisah tersebut sebagai berikut :
“Fatwa Aisyah tentang Usman. Aisyah berkata, “Bunuhlah Na’tsal, sungguh ia telah kafir”, yakni Usman. Lihat Tarikh at-Thabari juz 4, hal. 459; al-kamil fi at-Tarikh oleh Ibnu Atsir al-Jaziri as-Syafii juz 3, hal. 206; Tadzkirah al-Khawas oleh as-Sibth Ibnu al-Jauzi al-Hanafi, hal. 61 dan 64; al-Imamah wa as-Siyasah oleh Ibnu Qutaibah juz 1 hal. 49…; Sirah al-Halabiyah oleh Ali Burhanuddin al-Halabi asy-Syafii juz 3, hal. 286…; Tarikh Ibnu A’tsum hal. 155”.(Sayid Syarafuddin al-Musawi al-Murajaat, hal. 490 catatan kaki no. 2 terbitan al-Majma’ al-Alami li Ahl al-Bait, cet. 2, tahun 1426 H)
Untuk itu, agar memahaminya, di sini akan saya bawakan kisah di atas menurut penuturan ulama sunni yang secara jelas dijadikan rujukan oleh Sayid Syarafuddin al-Musawi yakni at-Thabari dan Ibnu Atsir.
At-Thabari dalam Tarikh-nya jilid 3, terbitan Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 1, 1407 H, hal. 11-12; atauTarikh Thabari, jilid 4, Ed. Muhammad Abu al-fadhl Ibrahim, cet. Ke-4, Kairo : Dar al-Maarif, 1382 H/1962 M, hal. 458-459 berikut ini :
أن عائشة رضي الله عنها لما انتهت إلى سرف راجعة في طريقها إلى مكة لقيها عبد بن أم كلاب وهو عبد بن أبي سلمة ينسب إلى أمه فقالت له مهيم قال قتلوا عثمان رضي الله عنه فمكثوا ثمانيا قالت ثم صنعوا ماذا قال أخذها أهل المدينة بالاجتماع فجازت بهم الأمور إلى خير مجاز اجتمعوا على علي بن أبي طالب فقالت والله ليت أن هذه انطبقت على هذه إن تم الأمر لصاحبك ردوني ردوني فانصرفت إل مكة وهي تقول قتل والله عثمان مظلوما والله لأطلبن بدمه فقال لها ابن ام كلاب ولم فوالله إن أول من أمال حرفه لأنت ولقد كنت تقولين اقتلوا نعثلا فقد كفر قالت إنهم استتابوه ثم قتلوه وقد قلت وقالوا وقولي الأخير خير من قولي الأول فقال لها ابن ام كلام
فمنك البداء ومنك الغير
ومنك الرياح ومنك المطر
وأنت أمرت بقتل الإمام … وقلت لنا إنه قد كفر
فهبنا أطعناك في قتله … وقاتله عندنا من أمر
“Aisyah ra. dalam perjalanannya pulang ke Madinah berhenti di Sarf dan kembali ke Mekah, Ia bertemu dengan Abd ibn Ummu Kilab dan dia adalah Abd ibn Abi Salmah, saudara dari pihak ibunya…Ibn Abi Salmah berkata, “Mereka telah membunuh Usman ra dan delapan hari tanpa pemimpin”. Aisyah berkata : “Kemudian apa tindakan mereka?” Abd berkata : “Penduduk Madinah telah sepakat menyerahkan urusan mereka ke jalan yang baik, mereka sepakat memilih Ali bin Abi Thalib”. Aisyah berkata: “Aku ingin yang itu runtuh menutupi yang ini! Sungguh kekuasaan jatuh ke tangan sahabatmu! Kembalikanlah aku, kembalikanlah aku, maka berangkatlah ia ke Mekah. Dan ia berkata : ‘Demi Allah, Utsman telah dibunuh secara dzalim. Demi Allah, kami akan menuntut darahnya!” Berkata kepadanya Ibn Ummu al-Kilab : “Mengapa. Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah orang pertama yang perhatian atas tindakan Utsman, dan engkau telah berkata : “BUNUHLAH SI NA’TSAL, SUNGGUH IA TELAH KAFIR!. Aisyah berkata: “Mereka memintanya bertobat kemudian mereka membunuhnya. Aku berpendapat dan mereka juga berpendapat. Dan pendapatku yang terakhir lebih baik daripada pendapatku yang pertama”. Ibnu Umm al-Kilab kemudian bersyair :
Dari anda bibit disemai, dari anda kekacauan dimulai
Dari anda datangnya badai, dari anda hujan berderai
Anda menyuruh bunuh sang imam. Ia telah kafir, anda yang ucapkan
Jika saja kami patuh, Ia tentu kami bunuh. Bagi kami sang pembunuh adalah sang penyuruh
———-
Senada dengan at-Thabari, adalah sejarawan sunni lainnya Ibnu Atsir dalam al-Kamil fi Tarikh juz 3, hal. 206, atau hal 100 (terbitan Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415 H) berikut ini :
أن عائشة كانت خرجت إليها وعثمان محصور ثم خرجت من مكة تريد المدينة فلما كانت بسرف لقيها رجل من أخوالها من بني ليث يقال له عبيد بن أبي سلمة وهو ابن أم كلاب فقالت له مهيم # قال قتل عثمان وبقوا ثمانيا قالت ثم صنعوا ماذا قال اجتمعوا علي بيعة علي فقالت ليت هذه انطبقت علي هذه إن تم الأمر لصاحبك ردوني ردوني فانصرفت إلي مكة وهي تقول قتل والله عثمان مظلوما والله لأطلبن بدمه فقال لها ولم والله إن أول من أمال حرفه لأنت ولقد كنت تقولين اقتلوا نعثلا فقد كفر قالت إنهم استتابوه ثم قتلوه وقد قلت وقالوا وقولي الأخير خير من قولي الأول فقال لها ابن أم كلاب #
فمنك البداء ومنك الغير
ومنك الرياح ومنك المطر #
وأنت أمرت بقتل الإمام وقلت لنا إنه قد كفر #
فهبنا أطعناك في قتله وقاتله عندنا من أمر #
“Aisyah keluar darinya dan Usman terkepung. Kemudian ia keluar dari Mekah untuk kembali ke Madinah. Dalam perjalanan ia berhenti di Sarf dan bertemu dengan saudaranya dari Bani Laits untuk bertanya kepadanya, yakni Ubaid ibn Umm Abi Salamah dan dia adalah Ibn Umm al-Kilab… Ubaid berkata: “Mereka membunuh Usman, dan tidak ada pemimpn selama delapan hari!” Aisyah bertanya : “Kemudian apa tindakan mereka?” Ubaid berkata: “Mereka sepakat membaiat Ali”. Aisyah berkata: “Aku ingin yang itu runtuh menutupi yang ini! Kekuasaan telah jatuh ke tangan sahabatmu! Kembalikanlah aku, kembalikanlah aku. Maka ia pun berangkat ke Mekah. Dan Aisyah berkata: ‘Demi Allah, Utsman telah dibunuh secara zalim. Demi Allah, kami akan menuntut darahnya!” “Berkata Ibn Ummu al-Kilab kepada Aisyah : “Mengapa. Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah orang pertama yang perhatian atas tindakan Utsman, dan engkau telah berkata : “BUNUHLAH SI NA’TSAL! SUNGGUH IA TELAH KAFIR!. Aisyah berkata: “Mereka memintaya bertobat kemudian membunuhnya. Aku berpendapat dan mereka juga berpendapat. Dan pendapatku yang terakhir lebih baik daripada pendapatku yang pertama”. Ibnu Ummu al-Kilab kemudian bersyair :
Dari anda bibit disemai, dari anda kekacauan dimulai,
Dari anda datangnya badai, dari anda hujan berderai
Anda menyuruh bunuh sang imam. Ia telah kafir, anda yang ucapkan
Jika saja kami patuh, Ia tentu kami bunuh. Bagi kami sang pembunuh adalah sang penyuruh
———–
Setelah mendapatkan sedikit gambaran peristiwa terbunuhnya Khalifah Ustman dan tokoh-tokoh kuncinya, maka kita bisa menyimpulkan poin-poin berkenaan dengan tuduhan MMPSI kepada para penulis syiah berikut ini :
§ Kalau kita mengikuti apa yang dikisahkan di atas, maka pernyataan Sayid Syarafuddini al-Musawi bahwa Aisyah mempropokasi khalayak untuk membunuh Utsman dengan mengatakan, “Bunuhlah Na’tsal karena ia sudah kafir” adalah kisah yang populer di kalangan para ulama sunni dan mereka menuliskannya di kitab-kitab tarikh mereka dari masa klasik hingga saat ini. Kalau MMPSI tidak menerima kisah di atas karena lemah atau lainnya, maka cukuplah menolaknya dan membuktikannya, bukan menuduhkan kedustaan. Karenanya tutudhan MMPSI bahwa kisah ini buatan dan fitnah dari Sayid Syarafuddin al-Musawi tidaklah benar.
§ Begitu pula pernyataan Emilia Renita dalam bukunya 40 Masalah Syiah bahwa : “Aisyah, Thalhah, Zubair, dan sahabat-sahabat yang satu aliran dengan mereka memerangi Imam Ali as. Sebelumnya, mereka berkomplot untuk membunuh Usman” , juga bukanlah tanpa alasan. Pernyataan Ibnu Umm al-Kilab dan syairnya di atas dengan jelas menunjukkan peran Aisyah atas terbunuhnya Utsman : “Berkata Ibn Ummu al-Kilab kepada Aisyah : “Mengapa. Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah orang pertama yang perhatian atas tindakan Utsman, dan engkau telah berkata : “BUNUHLAH SI NA’TSAL! SUNGGUH IA TELAH KAFIR!.Adapun syair Ibnu Umm al-Kilab yang ditujukan kepada Aisyah menyebutkan : “Dari anda bibit disemai, dari anda kekacauan dimulai # Dari anda datangnya badai, dari anda hujan berderai # Anda menyuruh bunuh sang imam. Ia telah kafir, anda yang ucapkan # Jika saja kami patuh, Ia tentu kami bunuh. Bagi kami sang pembunuh adalah sang penyuruh #.
§ Sedangkan pernyataan buku Antologi Islam bahwa “Para pemimpin itu [Aisyah, Thalhah, Zubair, dan lain-lain] tidak menuntut balas atas darah Usman karena mereka sendiri yang ada di balik persekongkolan itu. Mereka berpura-pura melakukan hal itu sebagai cara menjatuhkan kekhalifahan Imam Ali”, bukanlah juga sebuah tuduhan dusta dan fitnah keji kepada sahabat, tetapi fakta yang terjadi di antara mereka. Hal itu dengan jelas dapat dilihat dari kisah yang dituturkan ath-Thabari dan Ibnu Atsir di atas. Di mana Thalhah dan Zubair yang jelas terlibat dalam pengepungan dan pembunuhan Utsman, sedangkan Aisyah menjadi propokatornya, dan kemudian mereka bertiga melakukan pemberontakan kepada Imam Ali as dengan mengatasnamakan menuntut darah Usman. Hal itu kemudian di tolak oleh Ibn Umm al-Kilab.
Menarik juga untuk mengutip ulasan Prof. Mahmoud M. Ayoub, seorang ulama sunni kontemporer dalam bukunya The Crisis of Muslim History yang memfokuskan menganalisis tokoh-tokoh kunci dalam kematian Khalifah Usman dan dilanjutkan pemberontakan kepada Imam Ali tentang peran Siti Aisyah ummul mukminin sebagai berikut :
“Setelah gagal mencapai sasaran mereka dengan jalan damai, Thalhah dan Zubair meminta izin kepada Ali untuk pergi ke Mekah dalam rangka melaksanakan umrah. Sebenarnya mereka merencanakan pemberontakan terhadapnya. Konflik yang terjadi, yang dikenal dengan Perang Jamal, terjadi segera setelah Ali memangku jabatan. Perang ini menunjukkan kemerosotan tajam dalam konsepsi moral dan keagamaan tentang khilafah…” (Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History, Mizan, 2004, hal. 134)
Kemudian tentang Aisyah Prof. Ayoub menyatakan :
“…isteri Nabi yang dimaksudkan di atas adalah Aisyah. Penyelidikan atas riwayat-riwayat keterlibatannya dalam pemberontakan membantu dalam menggambarkan berbagai persoalan yang membahayakan umat Muslim. Terlepas dari maksud kata-kata al-Ahnaf bin Qais, Aisyah bukanlah korban tak berdaya dari kondisi politik. Sebaliknya, ia adalah tokoh utama dalam peristiwa dramatik yang mengarah ke, dan menyertai, kematian Utsman. Pertama, Aisyah menyerukan pembunuhan atas Utsman dengan menuduhnya, seperti telah kita lihat, “telah menghancurkan sunnah Nabi.” Ia kemudian meninggalkan Usman dalam keadaan terkepung di rumahnya, menolak untuk turun tangan atas nama Utsman dalam menghadapi massa yang marah, dan pergi ke Mekkah untuk melaksanakan haji. Akan tetapi, dalam perjalanan pulang, ketika mendengar Ali menaiki jabatan khalifah, ia protes, “Mengapa harus Ali yang berkuasa atas kita? Aku tidak akan masuk Madinah selama Ali memegang jabatan ini.” (Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History, Mizan, 2004, hal. 137).
Dengan demikian, peran Siti Aisyah, Thalhah dan Zubair dalam pembunuhan Khlaifah Utsman dan pemberontakan kepada Imam Ali as diakui oleh ulama sunni dan syiah, yang klasik maupun yang kontemporer. Karenanya, kalau kita mengikuti cara berpikirnya MMPSI, bahwa menceritakan “hal-hal yang kelam” dalam kehidupan sahabat adalah fitnah dan tindakan keji, maka seluruh ulama ahlitarikh dan sejarawan, ahli hadis, serta lainnya baik yang dari sunni maupun dari syiah, yang hidup masa klasik dan masa kini, semuanya adalah para pendusta, tukang fitnah, dan penoda agama. Sungguh tuduhan yang ironis, tragis dan sadis. *** (CANDIKI REPANTU)