Waktu itu, malam tahun baru. Usai sholat maghrib, kami mengadakan pengajian singkat menyambut tahun baru . Saya menyarankan agar masing-masing merenungkan makna tahun baru bagi dirinya. Jamaah diam.
Pengajian tampak seperti upacara mengheningkan cipta. Kami tesentak ketika wak Haji, yang tertua diantara kami, memecahkan kesunyian, “Saya kira tidak layak menyambut tahu baru dengan pesta. Bukankah tahun baru adalah berita duka ? Bukankah setiap tahun baru mengantarkan kita lebih dekat ke kuburan ? Pada tahun-tahun yang lalu, maut telah mengambil kawan-kawan atau keluarga kita. Lalu, siapa yang akan dijemput maut tahun ini ?”
Wak Haji sudah berusia 89 tahun, walaupun tampak sehat dan kuat. Ia taat beribadah, selalu sholat berjama’ah. Ia datang ke Mesjid sejam sebelum adzan subuh. Walaupun hidup dalam usai senja, ia senang bercanda. Karena itu agak mengherankan bila tahun ini ia kedengaran pesimis. Mungkinkan itu pertanda bahwa boleh jadi tahun ini ia meninggalkan kami ?
“Apakah orang sholeh takut menghadapi kematian ?” tanya seseorang yang mengarahkan pertanyaanya kepada saya. “Saya selalu dihantu rasa takut mati. Mungkin karena saya tidak sholeh. Wak Haji benar. Tahun baru adalah berita duka. Seperti napi yang akan dihukum gantung, saya melihat, setiap dentang jam membawa saya lebih dekat ke tiang gantungan. Adakah kiat untuk mengobati takut mati ?”
Saya jawab bahwa orang sholehpun takut mati. Salah seorang cucu Rasulullah dikenal sebagai Wali Allah. Ia banyak beribadah, sehingga diberi gelar Zayn al-’Abidin. Tapi dengarkan doanya, “Kepada-MU aku berlindung dari habisnya usia sebelum siap sedia”.
Jadi orang sholehpun takut mati. Yang membedakan kita dengan orang sholeh adalah alasan yang menyebabkan takut mati Kita takut mati karena keterikatan dengan dunia. Kalau saya mati, siapa yang akan menjaga kepentingan anak-anak saya, siapa yang akan mengurus perusahaan saya, siapa yang mengamankan kekayaan saya. Orang sholeh takut mati karena ia merasa belum cukup bekal. Ia khawatir akan “habisnya usia sebelum siap sedia”.
Dalam doa yang lain, Zayn al-’Abidin berkata, ” Siapa gerangan yang keadaannya lebih jelek dari diriku, jika dipindahkan dalam keadaanku sepeti ini, aku dipindahkan ke kuburanku. Aku belum menyiapkan pembaringanku. Aku belum menghamparkan amal sholeh untuk tikarku.
Bagaimana aku tidak menangis, padahal aku tidak tahu akhir perjalananku. Kulihat nafsu menipuku dan hari-hari melengahkanku. Padahal maut telah mengepak-ngepakan sayapnya di atas kepalaku. Bagaimana aku tidak menangis, kalau kukenang saat aku menghembuskan nafas yang terakhir. Aku menangis karena kegelapan kubur, aku menangis karena kesempitan lahadku, aku menangis karena aku akan keluar dari kuburku dalam keadaan telanjang, hina, sambil memikul dosa di atas punggungku.
Walhasil, kalau takut mati karena belum cukup bekal, peliharalah rasa takut itu. Tidak perlu kita menghilangkannya. Ingat kepada kematian mendorong manusia berbuat baik. Ia akan menjadikan amal sholeh sebagai bekal untuk kehidupan sesudah kematian. Sadar akan kematian berarti sadar akan ketiaadaan Ego dan “nonbeing”.
Bila kita harus mengakhiri semuanya dengan kematian, masih absahkah kebiasaan kita untuk terus-menerus mengorbankan orang lain buat kepentingan kita? Bukankah hidup kita menjadi lebih bermakna bila kita “memberikan diri” kita buat kebahagiaan orang lain? Dengan menghancurkan Ego, kita memasukkan orang lain (the otherness) ke dalam eksistensi kita.
Joel Kovel mengamati dengan cermat dunia modern yang disebutnya sebagai “dunia tanpa ruh”. Dalam “History and Spirit: An Inquiry into the Spirit of Liberation”, Kovel menawarkan pembebasan manusia dari Egonya dengan memasukkan spiritulitas ke dalam kehidupan.
Salah satu caranya ialah menyadarkan manusia akan kematian. “Termasuk ke dalam spiritualitas adalah kesediaan untuk mati. Hidup yang bermakna adalah kehidupan yang telah menerima orang lain dan mempersiapkan dirinya untuk mati. Ini tidak berarti bahwa dia adalah wujud yang ingin mati. Sebaliknya, jiwa sempurna memandang hidup ini lebih indah dan lebih intens. Sungguh, kesadaran akan adanya kematian, visi tentang bayangan maut, tidak lain daripada menjadikan kehidupan sebagai titik pandang utama”.
Tuhan mendampingkan kematian dan kehidupan pada ayat yang sama, tetapi Dia menyebut kematian lebih dahulu daripada kehidupan. Dia menegaskan bahwa kehidupan hanya bermakna dengan latar belakang kematian. Keduanya didampingkan sebagai ujian untuk mendorong manusia beramal sholeh.
“Dia yang menjadikan kematian dan kehidupan supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya” (QS 67:2)
Rasulullah saw mendampingkan maut dengan Alqur’an. Rasulullah bersabda, “Aku tinggalkan bagi kalian dua pemberi peringatan. Yang pertama memberikan peringatan dengan pembicaraannya. Yang kedua memberikan peringatan dengan kebisuannya. Yang pertama, Alqur’an dan yang kedua adalah kematian”.
Ternyata Wak Haji yang tampak sehat dalam usianya yang hampir seabad adalah orang yang mendengarkan peringatan Alquran tentang kematian. Ketika permulaan tahun baru mengingatkan banyak orang akan rencana hidupnya, Wak Haji mengingatkan kita akan rencana kematian kita.
Di
dekat Baitullah, saya melihat seorang mantan pejabat tinggi berdoa
dengan khusyuk. Air mata tergenang di dipelupuknya. Ia menyadari, ia
berada pada hari-hari akhir hidupnya. Ia pulang ke tanah air. Di hadapan
anak-anaknya, ia berkata, “Hidup kita akan lebih bermakna bila kita
bermanfa’at bagi orang lain”. Seperti Wak Haji, Alquran dan kematian
telah memberikan kepadanya kehidupan yang lebih manis dan lebih
mendalam. ***
Sumber: buku REFORMASI SUFISTIK karya Jalaluddin Rakhmat (Pustaka Hidayah, Bandung)