Tentang Syiah dan Rafidhah
“Alhamdulillah, hari ini telah hadir ditengah-tengah kita, seorang
narasumber yang sudah tidak asing bagi kita, seorang intelektual muda,
yang cukup valid untuk membincangkan tema seminar kita hari ini. Dan
perlu juga diketahui oleh para audiens, Pak Candiki Repantu ini adalah
seorang tokoh syiah di Medan dan Sumatera Utara.”
Begitulah
kira-kira saat beberapa waktu lalu saya diundang untuk menjadi
narasumber dalam suatu seminar tentang “Teror atas Nama Tuhan”. Ada yang
menarik kali ini, karena dari berbagai seminar yang saya hadiri, baru
kali ini saya diperkenalkan oleh panitia kepada audiens, dengan
menyematkan atau melabelkan sesuatu yang lain.
Jika saya diperkenalkan hanya dengan label intelektual atau
“cendekiawan” muda—(ini perasaan panitia saja, karena terpengaruh nama
saya “Candiki” yang memang diambil dari kata Cendekiawan)—, sekarang
labelnya ditambah lagi karena panitia memperkenalkan saya sebagai “tokoh
syiah di Medan”.
Saya tidak tahu maksud memperkenalkan saya
dengan label tambahan tersebut. Hanya saja, saat itu saya teringat teori
“labeling” atau teori “tanda” (sign) dari Ferdinand de Saussure, yang
menyatakan ada hungungan erat yang tak terpisahkan antara label dan
konsep. “Tanda” yang terdiri dari label dan konsep ini, mempengaruhi
cara orang mempersepsi sekitarnya, karena telah diisi dengan makna yang
bisa dihubungkan dengan tanda lainnya.
Ambillah contohnya,
saya dilabelkan “cendekiawan” yang konsep dan maknanya adalah
kecerdasan, maka orang akan mempersepsi saya sebagai orang cerdas.
Tetapi, bagaimana jika saya disebut “orang syiah”, kira-kira persepsi
apa yang mucul? tergantung konsepnya. Kalau baru saja mendengar berita
“Orang Syiah di sampang diusir” atau membaca buku MMPSI yang kita bedah
ini, maka muncullah dalam persepsinya “narasumber hari ini adalah orang
yang menyimpang, sesat dan menyesatkan, dan layak diusir”—(untung saya
tidak di usir, karena saya dengar di Jakarta seorang Ustadz Syiah diusir
saat mau menghadiri seminar).
Dengan contoh di atas anda bisa
memahami bahwa karena kita punya sejarah, budaya, dan bahasa yang
terkait dengan kelompok tertentu maka masing-masing kita memiliki
identitas, dan identitas ini selalu digunakan untuk memberikan label
pada diri kita. Dan seseorang atau kelompok tertentu bisa punya lebih
dari satu label, dan label ini ada yang digunakan sendiri oleh
orangnya/kelompok tersebut dan ada yang dilekatkan secara semena-mena
pada orang/kelompok tertentu. Dan label itu ada yang berdaya positif,
tetapi ada yang mengandung stereotif negatif (perhatikan kembali kasus
saya di atas).
Misalnya juga, “orang melayu” sekaligus ditandai sebagai “orang
Islam”, sehingga saat keluar dari Islam, maka tidak diakui lagi sebagai
orang melayu (ini tanda dari dalam). Tetapi “orang melayu” disebut
“orang pemalas” bisa jadi ditandai secara negatif oleh kelompok lainnya
(tanda dari orang luar).
Dengan memahami sedikit teori tanda di
atas, mari kita bedah isi buku ini saat membicarakan tentang “Syiah dan
Rafidhah”. Perhatikan rentetan kalimat-kalimat berikut ini yang kita
kutip dari buku panduan tersebut :
“Rafidhah adalah kelompok
syiah yang berdusta mendukung Ahlul Bait, dengan menolak Abu Bakar, Umar
dan sebagian besar sahabat Nabi saw, disertai sikap mengafirkan dan
mencaci mereka (hal.14).…”
Abul Qasim al-Isfahani yang berjuluk
qiwamus sunnah, al-Razi, as-Syahrastani, dan Ibnu Taymiyah menguatkan
asal mula istilah rafidhah untuk syiah imamiyah itsna asyariyah adalah
karena penolakan mereka terhadap Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain
ra yang memuliakan Abu Bakar dan Umar ra….istilah ‘rafidhah’ bagi
kelompok syiah yang menolak Abu Bakar dan Umar dan mencaci keduanya.
Adapun Imam Abul Hasan al-Asy’ari berpendapat syiah imamiyah dinamakan
rafidhah karena penolakan mereka terhadap kepemimpinan Abu Bakar dan
Umar ra.” (hal. 15)
Tanggapan
Dari
ungkapan-ungkapan MMPSI di atas, maka terlihat bagaimana para penulisnya
mencoba memberi tanda dengan stereotif negatif kepada syiah. Untuk
menanamkan visinya, buku ini menggiring pembaca dari istilah syiah ke
istilah rafidhah, tatapi dengan menyimpangkan makna rafidhah dan
mengisinya dengan makna atau konsep yang negatif. Karena rafidhah memang
bermakna “pemberontak/penolak” yang berkesan negatif.
Perlu
diketahui, awalnya, istilah rafidhah ini digunakan untuk orang yang
memberontak apapun mazhabnya, bukan hanya syiah. Ini dibuktikan dengan
merujuk ke Kitab Waqaah as-Shiffin, hal. 34, karya Nasr bin Muzahim (W.
212 H) yang menyebutkan bahwa Muawiyah menulis surat kepada Amr bin ‘Ash
yang sedang berada di Palestina yang isinya mengatakan :
أما بعد فإنه كان من أمر علي وطلحة والزبير ما قد بلغك . وقد سقط إلينا مروان بن الحكم في رافضة أهل البصرة
“Amma’ ba’du, Kamu telah mengetahui perkara tentang Ali, Thalhah dan
Zubair, tetapi (ketahuilah) Marwan bin Hakam telah bergabung bersama
para rafidhah/pemberontak dari penduduk Bashrah.”
Karenanya,
tidak tepat mengatakan istilah rafidhah muncul dari Zaid bin Ali seperti
yang diteorikan oleh Abul Hasan al-Asy’ari, al-Isfahani, Al-Razi,
Syahrastani, dan Ibnu Taymiyah. Sebab, ternyata istiah itu telah ada
sebelum zaman Zaid dan digunakan oleh Muawiyah untuk menyebut kelompok
pemberontak. Dan orang Basrah juga bukanlah syiah, karena mereka tidak
percaya pada kepemimpinan Ali. Tetapi kemudian, makna rafidhah ini
diarahkan kepada syiah, karena syiah selalu menjadi oposisi penguasa,
dan diperlebar pada penolakan terhadap Abu Bakar dan Umar, seperti
diindikasikan Al-Isfahani, al-Razi, Syahrasatani dan Abul Hasan
al-Asy’ari di atas.
Adapun Ibnu Hajar al-Asqalani menyebut
rafidhah sebagai syiah ekstrem yang lebih mengutamakan Ali di atas Abu
Bakar, Umar dan seluruh sahabat, tetapi tidak mencela mereka. Berikut
ungkapan Ibnu Hajar dalam kitabnya Hady as-Sari, 1/459 :
والتشيع محبة على وتقديمه على الصحابة فمن قدمه على أبي بكر وعمر فهو غال في تشيعه ويطلق عليه رافضي وإلا فشيعي
“Tasyayyu adalah mencintai Ali dan mengutamakannya atas semua sahabat
{selain Abu Bakar dan Umar}, dan jika mengutamakannya diatas Abu Bakar
dan Umar maka dia tasyayyu’ ekstrem yang disebut Rafidhah dan jika tidak
maka disebut Syiah.”
Namun, merasa kurang mantap, Tim Penulis MMPSI yang antipati terhadap syiah, mengembangkan lagi maknanya dengan mengatakan :
“Rafidhah adalah kelompok syiah yang berdusta mendukung Ahlul Bait,
menolak Abu Bakar, Umar dan sebagian besar sahabat Nabi saw, disertai
sikap mengafirkan dan mencaci mereka.” (hal.14)
Setelah memberi
muatan negatif, MMPSI ini mengarahkan sasarannya bahwa yang dimaksud
rafidhah adalah syiah imamiyah itsna asyariyah (dan juga syiah
ismailiyah), yang disepakati kesesatannya.
Perhatikan kalimat MMPSI berikut ini :
“Syiah rafidhah yang mengklaim adanya nash/teks wasiat penunjukan Ali
sebagai khalifah dan berlepas diri dari bahkan mencaci dan mengafirkan,
para khalifah sebelum Ali dan mayoritas sahabat Nabi. Kelompok ini
telah meneguhkan dirinya ke dalam sekte Imamiyah itsna asyariyah dan
ismailiyah. Golongan ini disepakati kesesatannya oleh para ulama, tetapi
secara umum tidak mengafirkan mereka.” (hal. 16-17)
Kalau kita
perhatikan teori Saussure di atas, maka kita paham bahwa label dan
konsep rafidhah ini dilabelkan oleh MMPSI ini kepada syiah imamiyah
untuk mendeskreditkan kelompok tersebut dan mengarahkan pada stereotif
negatif. Maka tepatlah apa yang dikatakan Muhsin Amin dalam A’yan
as-Syiah seperti dikutip juga oleh MMPSI itu bahwa istilah “rafidhah
adalah julukan buruk untuk orang yang mendahulukan Ali dalam soal
khilafah dan kebanyakan digunakan untuk mendeskredikan dan membenci
mereka.
Visi MMPSI ini untuk mencipakan kesan negatif dengan mengubah “tanda”, semakin terbukti dengan kalimat mereka berikut ini :
Inilah di antara yang perlu diwasapadai dan penyimpangan tulisan tentang syiah yang dilakukan Buku MMPSI ini. Perhatikan defenisi Ibnu Hajar di atas tentang rafidhah, sangat jauh dari gambaran MMPSI tersebut. Ibnu Hajar hanya mengatakan ““Rafidhah adalah syiah ekstrim yang mengutamkan Imam Ali di atas Abu Bakar dan Umar…”, sedangkan MMPSI ini menyatakan : “…Rafidhah adalah syiah ekstrem yang telah mencaci, bahkan mengafirkan Abu bakar dan Umar ra.”
Tidak hanya sampai disitu, Buku MMPSI ini kemudian mencari dukungan pernyataan dengan membawa label “ulama salaf”, dan menyatakan bahwa tidak ada generasi sahabat dan tabiin yang memandang Ali lebih utama dari Abu Bakar dan Umar :
“…Tidak ada syiah rafidhah yang dianggap moderat oleh para ulama salaf.Syiah moderat adalah syiah pada generasi sahabat dan thabiin yang berjuang bersama Ali dimana mereka tidak pernah bersikap ekstrim dalam memandang kedudukan Ali dan tidak pula mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar RA.” (hal. 17-18).
Pendapat MMPSI ini tidak didukung oleh bukti-bukti yang valid, karena ternyata orang yang medahulukan Imam Ali as atas sahabat lainnya yang dikenal dengan syiah telah ada sejak zaman sahabat, thabiin, dan fukaha salaf. Perhatikan keterangan Ibnu Hazm dalam al-Fashl fi al-Milal wal Ahwa an-Nihal juz 4/181 tentang perbedaan dalam menilai keutamaan sahabat berikut ini :
اختلف المسلمون فيمن هو أفضل بعد الأنبياء عليهم السلام , فذهب بعض أهل السنة , وبعض المعتزله , وبعض المرجئة , وجميع الشيعة , إلى أن أفضل الأمة بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب رضي الله عنه , وقد روينا هذا القول نصاً عن بعض الصحابة رضي الله عنهم , وعن جماعة من التابعين والفقهاء , و ذهب بعض أهل السنة ,وبعض المعتزله , وبعض المرجئة , إلى أن أفضل الصحابة بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم ,أبوبكر ,ثم عمر .
Terjadi perbedaan di kalangan kaum muslimin tentang siapa yang paling utama setelah para Nabi as. Sebagian ahlu sunnah, sebagian mu’tazilah, sebagian murji’ah dan seluruh syiah menyatakan bahwa yang paling utama setelah Rasulullah saw adalah Ali bin Abi Thalib ra, dan pendapat ini telah diriwayatkan dari sebagian sahabat, jamaah sebagian tabiin dan fuqaha. Dan pendapat sebagian ahlus sunnah, sebagian mu’tazilah dan sebagian murjiah yang menyatakan sahabat yang paling utama setelah Rasulullah saw adalah Abu Bakar kemudian Umar.”
Mari kita bandingkan juga pernyataan MMPSI ini dengan pernyataan Sayid Muhammad ibn Aqil Al-Alawi al-Hadrami dalam Al-‘Atbu al-Jamil ala Ahli Jarh wa Ta’dil, hal. 30 yang juga mengutip defenisi Ibnu Hajar dan kemudian berkomentar :
“…Jelaslah, makna perkataannya (Ibnu Hajar) ini bahwa sesungguhnya semua orang yang mencintai Ali dan mengutamakannya atas Syaikhain (Abu Bakar dan Umar) disebut Rawafidh (jamak dari rafidah), …Banyak dari kalangan sahabat mulia seperti Miqdad, Zaid bin Arqam, Salman, Abu Dzar, Khabbab, Jabir, Abu Said al-Khudri, Ammar, Ubai bin Ka’ab, Hudzaifah, Buraidah, Abu Ayyub, Sahal bin Hunaif, Utsman bin Hunaif, Abu Haitsam bin Tayyahaan, Khuzaimah ibn Tsabit, Qais ibn Sa’d, Abu Thufail Amir ibn Watsilah, Al-Abbas bin Abdul Muththalib dan seluruh putranya, seluruh Bani Hasyim dan Bani Al-Muththalib serta banyak lagi selain mereka… mereka semua adalah RAWAFIDH karena mereka mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar karena kecintaan mereka kepada Ali. Dan juga banyak tabi’in dan tabi’it tabi’in, para ulama besar, dan ini umat yang tidak terhitung jumlahnya, dan mereka juga para pendamping Alqur’an. Dan mencacat keadilan mereka—demi Allah— akan mematahkan punggung (merusak agama)…”
Perhatikan bagaimana Sayid Muhammad bin Aqil yang dengan tegas mengidentifikasi di antara sahabat dan tabiin, serta tabiit tabiin banyak yang rafidhah (syiah eksterim). Dengan demikian, MMPSI ini keliru dan menyimpang, saat menyatakan bahwa tidak ada rafidhah (syiah ekstrim) di masa sahabat dan tabiin.
Bagaimana, apakah Tim Penulis MMPSI mau menfatwakan bahwa Miqdad, Zaid bin Arqam, Salman, Abu Dzar, Khabbab, Jabir, Abu Said al-Khudri, dan seterusnya nama-nama di atas, sebagai orang yang menyimpang, sesat menyesatkan dan tidak diterima hadisnya, karena mereka rafidhah alias syiah ekstrim? *** (Candiki Repantu)