Di awal-awal babnya buku MMPSI ini menjelaskan visi MUI sebagai berikut: “Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim, yang kehadirannya berfungsi untuk mengayomi dan menjaga umat. Selain itu MUI juga wadah silaturahim yang menggalang ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah insaniyyah, demi untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang harmonis, aman, damai, dan sejahtera dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.” (hal. 1).
Tanggapan :
Betapa indahnya kalimat-kalimat di atas, dan tentu kita semua berharap MUI memang menjadi lembaga yang mengayomi dan menjaga umat Islam yang berbeda-beda mazhabnya baik sunni maupun syiah.
Kita berharap MUI menjadi wadah silturrahmi yang menggalang ukhuwah islamiyah diantara sesama kaum muslim, baik sunni maupun syiah, ukhuwah wathaniyah bagi semua warga Indonesia apapun suku, agama dan mazhabnya, dan ukhuwah insaniyah bagi sesama manusia tanpa memperdulikan agama dan mazhabnya. Tapi apakah harapan tersebut terlihat dalam buku ini? Apakah setelah membaca buku tersebut akan muncul semangat untuk membangun ukhuwah ? Jauh panggang dari api. Sebab buku ini lebih berisi propaganda perpecahan daripada persatuan.
Perhatikan kutipan MMPSI berikut ini :
“Al-Bukhari berkata, “Saya tidak akan salat di belakang penganut Jahmiah dan rafidhah, sama seperti salat di belakang Yahudi dan Nasrani, tidak boleh mengucapkan salam kepada mereka, tidak dijenguk, tidak boleh dinikahkan, tidak boleh disaksikan jenazahnya, dan tidak boleh dimakan sembelihannya” (hal. 21)
Menurut pembaca, apakah kalimat ini mencerminkan jembatan ukhuwah atau akan menjadi penghalang ukhuwah? Kalau menjadi penghalang, maka kita ragu buku ini memenuhi visi mulia MUI. Saya serahkan anda menilainya masing-masing.
——
Berikutnya MMPSI ini menyatakan :
“Untuk menjalankan fungsi dan tujuan sebagaimana di atas, MUI melakukan pendekatan dan upaya proaktif, responsif, dan preventif terhadap berbagai problem keumatan dan kerakyatan agar problem-problem tersebut sedini mungkin dapat diatasi sehingga tidak menimbulkan dampak yang lebih luas pada masyarakat, khususnya umat Islam.” (hal. 1)
Tanggapan
Ini juga hal yang kita harapkan bersama bahwa MUI melakukan pendekatan yang proaktif, responsif, dan prepentif. Tapi apakah buku ini menerapkannya, atau sebenarnya buku ini cenderung pada pendekatan yang propokatif, retorik, dan destruktif saat membicarakan “kesesatan dan penyimpangan” syiah?
Boleh jadi, bagi sebagian orang, ini adalah bentuk proaktif karena berusaha menasehati umat untuk hati-hati dengan “kesesatan” syiah; tetapi ini juga bisa dianggap propokatif karena memancing umat untuk “menyesatkan” syiah. Boleh jadi, ini wujud responsif terhadap perkembangan syiah yang “menyimpang” di tengah-tengah umat, tetapi ini juga bisa dinilai retorik karena hanya fokus pada “penyimpangannya” saja. Boleh jadi ini juga usaha preventif utk mencegah umat “dari kesesatan syiah”, tetapi juga bisa dinilai destruktif karena mencegah umat untuk mengutamakan persatuan di dalam perbedaan.
——-
Selanjutnya, MMPSI menjelaskan :
“Atas dasar tugas dan tanggungjawab luhur dalam membina dan menjaga umat pada berbagai aspeknya, dan sebagai bentuk tanggungjawab ke hadapan Allah SWT dalam meluruskan aqidah dan syariah umat…membuat buku panduan—seperti buku panduan tentang syiah ini—setelah dilakukan penelitian dan pengkajian yang mendalam. Buku panduan ini sebagian merupakan penjelasan teknis dan rinci dari rekomendasi Rapat Kerja Nasional MUI pada Jumadil Akhir 1404 H/Maret 1984…” (hal. 2)
Tanggapan :
Betapa beratnya tugas dan tanggung jawab tersebut, dan lebih berat lagi saat Allah swt meminta pertanggungjawaban atas semua perkataan, tulisan, dan tindakan kita kelak di akhirat dalam pengadilan Ilahi.
Betapa banyak pelajaran yang bisa di ambil dari sejarah kekuasaan Islam yang mana para khalifah selalu bermasalah saat berhubungan dengan dukungan mazhab. Berapa banyak orang dihukum hanya karena berbeda dengan ulama formal yang didukung penguasa, atau ulama mayoritas yang didukung massa?
Dan Luar biasanya juga, MUI merekomendasikan pada Rapat Kerja Nasional pada tahun 1404 H/1984 M, dan baru sekarang Tim Penulis merasa mewakili MUI untuk mengeluarkan buku panduannya setelah 30 tahun kemudian. Jadi, selama 30 tahun umat terombang ambing tanpa petunjuk dan panduan.
30 tahun yang lalu ketika orde baru demikian kuatnya, MUI menfatwakan untuk mewaspadai masuknya faham syiah —bukan menyesatkan syiah —yang disatu sisi dianggap akan mengeksport ideologis revolusi Iran, dan ideologi revolusi itu tentu saja dipandang berbahaya oleh negara Indonesia yang ketika itu dikuasai secara otoriter dan diktatoris. Jadi MUI pada 1984, karena aspek politis, hanya bervisi untuk mewaspadai syiah, tetapi tim penulis buku ini bervisi menyesatkan atau mungkin kalau bisa mengkafirkan syiah.
—–
Kemudian MMPSI juga menyatakan :
“Hadirnya buku panduan ini merupakan wujud dari tanggungjawab dan sikap tegas MUI itu, dengan harapan umat Islam Indonesia mengenal syiah dengan benar dan kemudian mewaspadai serta menjauhi dakwah mereka, karena dalam pandangan MUI faham syiah itu menyimpang dari ajaran Islam, dan dapat menyesatkan umat. Hal ini tidak mungkin dibiarkan, karena bila tidak demikian, akan menimbulkan kegelisahan yang luar biasa, bahkan terjadi konflik sosial yang sulit ditemukan solusinya… Untuk itu MUI berkewajiban untuk memagari dan mengayomi umat agar mereka terhindar dari upaya-upaya penyesatan dan penyimpangan di dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.” (hal. 4)
Tanggapan
Inilah apa yang saya sebut di awal, preventif berubah menjadi propokatif, retorik dan destruktif. MUI sendiri belum pernah mengeluarkan fatwa menyesatkan syiah, tetapi buku ini seolah-olah membawa nama MUI atas kesesatan syiah..!? Ini salah satu yang harus diwaspadai dan penyimpangan buku ini.
Ternyata visi MUI berbeda dengan visi para penulis buku ini. Kalau memang mau mengenalkan syiah, maka berlaku adillah. Kenalkanlah dalil-dalil mereka, bukan langsung penilaian “menyimpangnya” saja. Kalau mau mengenalkan syiah, undang dan hadirkanlah representasi mereka untuk berbicara dan menjelaskan tentang syiah. Dan alangkah arifnya jika buku ini menjelaskan bagaimana sikap saling mengormati dan menghargai di antara umat Islam yang berbeda mazhabnya, dan silahkan setiap orang untuk menjalankan keyakinannya masing-masing, tanpa harus merasa risih dengan perbedaan, sebab perbedaan adalah rahmat Allah swt bagi semesta.
Jadi, bukan mengajak umat menjauhi syiah—apalagi dengan asumsi akan terjadi konflik seperti di propagandakan buku ini—tetapi membangun sikap ukhuwah dengan syiah sekalipun berbeda. Adapun soal konflik, di negara ini, sering terjadi konflik karena pragmatisme politik bukan karena keagamaan. Dan pragmatisme politik itulah yang sering menunggang di belakang ranah agama. Karena itu, konflik sunni dan syiah boleh jadi lebih didominasi kepentingan pragmatis dari pada keagamaan.
Adapun soal memagari umat agar tidak menyimpang, maka alangkah baiknya MUI mengajarkan umat ini untuk memperkuat argumentasi keyakinannya secara ilmiah. Tetapi tetap bertindak secara ukhuwah saat berhadapan dengan orang yang berbeda mazhabnya, sebagaimana diajarkan Alquran, “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik. Dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang sebaik-baiknya.” *** (Candiki Repantu)