Manzilah al-Taubah adalah manzilah kedua dari Manzilah Al-Bidayat yang tercantum dalam kitab Manazil al-Sairin. Manzilah al-Taubah ini terdiri dari tiga: Awwam, Awsath, dan Khusus.
Awwam
"Dan barangsiapa yang belum bertaubat maka mereka adalah orang-orang yang zalim" (QS 49:11). Dalam ayat ini, Allah melepaskan Sifat Zalim dari orang yang bertaubat. Taubat tidak akan benar kecuali setelah mengenali dosa. Mengingat taubat adalah kembali tunduk pada hukum Al-Haqq setelah penentangan atasnya. Bagaimana mungkin seseorang dapat kembali tunduk sekiranya dirinya tidak menyadari penentangan yang dilakukannya.
Kesadaran akan dosa
hendaknya diiringi kesadaran tentang dosa tersebut dalam tiga hal: terlepasnya
perlindungan Allah ketika melakukannya, rasa lega ketika terlepas dari dosa
(dan rasa sedih bahwa dirinya telah terperosok ke dalam dosa), rasa malu dan
hina bahwa dirinya disaksikan Allah ketika melakukan dosa tersebut.
Sedangkan syarat dari
taubat ada tiga hal: penyesalan, permohonan maaf, dan berlepas diri dari
perbuatan tersebut untuk selanjutnya. Kemudian hakikat taubat ada tga hal:
merasa bahwa dosa tersebut adalah besar, merasa bahwa taubatnya tidaklah
memadai dan memohon dengan kerendahan diri dihadapan Allah.
Taubat awwam dengan
memperbanyak upaya untuk taat kepada Allah yang menuntut tiga hal:
kesungguhan dalam mengharapkan penutupan dari Allah bahwa Allah adalah Zat yang
Maha kaya dan tidak membutuhkannya dirinya, terus memohon kemurahan ganjaran
dari Allah SWT.
Awsath
Sekarang masuk pada
taubat Awsath, yaitu mereka yang telah menempuh perjalanan ruhaniah. Ini
merupakan kelanjutan dari taubat Awwam.
Pada tingkat ini adalah
Taubat atas keterlepasan dirinya dari maksiat yang berasal dari hakikat
kegigihan perjuangannya serta upayanya yang terus menerus untuk melepaskan diri
dari maksiat (sehingga fokus hatinya tidak lebih adalah menjauhi kemaksiatan).
Yang dimaksud dalam
konteks ini adalah Taubatnya mereka yang sudah melewati tahap perjalanan
ruhaniah, sudah terlepas dari dosa-dosa yang biasa melingkupi orang Awwam.
Salik pada tingkat ini haruslah bertaubat dari usahanya melepaskan diri dari
maksiat. Mengingat bahwa usaha yang dilakukannya sebenarnya semata muncul dari
bantuan dan perlindungan Allah atasnya bukan dari dirinya. Ketika dia masih
menyaksikan hal tersebut adalah hasil usahanya maka hal tersebut adalah maksiat
tersendiri dan dia harus bertaubat atasnya.
Semua Kemuliaan, Rahmat
dan Ampunan yang didapatnya semata karena kemuliaan Allah dan perlindungan
Allah atas dirinya. Hati yang terus menerus dalam upaya ini terperosok pada
kondisi yang berlebihan sehingga dirinya berada dalam keadaan ketidak tentraman
dan hilangnya keyakinan bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Pengampun.
Salik yang seperti ini
mereka tengah menghancurkan dirinya dalam kesulitan yang dibuatnya sendiri di
dalam kemudahan yang Allah berikan padanya. Hatinya akan kesulitan untuk
memandang Allah sebagai cahaya Rahmat.
Khusus
Sekarang tentang Taubat
pada tingkat Khusus sebagai kelanjutan taubat Awsath. Taubat pada tingkat
Khusus ini adalah Taubat atas hilangnya 'waktu' karena mengantarkan Salik pada
dasar kekurangan dan padamnya cahaya al-Muraqabah dan keruhnya mata air
kebersamaan dengan Allah.
Yang dimaksud dengan
'waktu' di sini adalah kebersamaan dan keterhubungan dengan Allah SWT.
Kehilangan waktu dalam konteks ini adalah kelalaian yang merupakan keburukan
yang besar pada diri Salik sehingga menuntut Taubat atas hal tersebut.
Mengingat kelalaian akan menyebabkan terputusnya hubungan khusus dengan
Allah SWT dan karena hatinya tidak lagi terhubung dengan hakikat Ilahi
menyebabkan hatinya kembali keruh dan hilangnya cahaya pengawasan Ilahi
atasnya. Hijab dirinya kembali menutupi dirinya.
Puncak dari Taubat
adalah Taubat atas kesadaran selain dari Allah dan memandang penyebab kelalaian
tersebut pada akhirnya taubat atas kesadaran terhadap sebab kelalaian tersebut.
Yang dimaksud pada
puncak Taubat ini adalah Taubat dari Taubat itu sendiri. Mengingat seorang Salik
ketika masih bertaubat dan kesadarannya masih mencari sebab atas kelalaiannya
menunjukkan kesadarannya masih belum sepenuhnya hanya kepada Allah dan ini
adalah keburukan yang atasnya dia harus bertaubat. Ketika seseorang masih
bertaubat atas selain Allah menunjukkan pada dirinya ada selain Allah dan atas
hal tersebut dia harus bertaubat.
Syaikh memaknai ayat
"Bertaubatlah jamu semua kepada Allah secara keseluruhan wahai orang-orang
yang beriman" (QS 24:31). Bahwa Mukminin bukanlah pendosa sehingga dia harus
bertaubat dari dosanya, tapi dari masuknya dirinya pada Maqom Jami' agar
dirinya dapat sampai pada Maqom ketunggalan sehingga diperintahkan untuk
bertaubat. ***
Dr Kholid Al-Walid adalah Dosen Filsafat STFI Sadra Jakarta dan Pengasuh Program Belajar Tasawuf di YouTube Misykat TV