Itsar adalah mengutamakan orang lain dalam perkara mubah meski kita membutuhkan. Itsar bisa berarti mencintai apa yang ada pada saudara kita sebagaimana kita mencintai hal tersebut ada pada diri kita. Menurut ulama, itsar adalah tingkatan ukhuwah dan mahabbah yang tertinggi.
Dalam kitab Samirul Mukminin karya Syekh Muhammad Al-Hajjar dikisahkan, dahulu pernah ada beberapa orang saleh yang berjumlah 30 orang bepergian bersama dalam sebuah safar.
Mereka memiliki roti yang jumlahnya terbatas dan tidak mencukupi semua. Lalu roti-roti itu dipotong-potong. Mereka bersepakat memadamkan lentera agar satu dan lainnya tidak saling melihat siapa yang tidak dapat bagian.
Mereka kemudian duduk bersama untuk makan. Saat lentera kembali dinyalakan, ternyata roti masih utuh seperti semula tanpa seorang pun yang memakannya karena sifat itsar terhadap orang lain dibanding diri sendiri. Mereka tidak memakannya, khawatir rekannya yang lain tidak dapat bagian.
Itsar itu tandanya adalah memberi dan berbagi. Mencintai saudara kita adalah berani berbagi. Dengan alasan paling mendasar, kebaikan berbagi itu akan kembali kepada diri si pemberi.
Yaitu jika kita ingin melipatgandakan akumulasi kebaikan kita dan daftar amal yang banyak, itu tidak mungkin terjadi bila hanya melakukan kebaikan untuk diri sendiri. Sebab, kita hanya satu per orang.
Akumulasi kebaikan hanya bisa didapatkan bila kita membagi kebaikan kepada orang lain sebanyak mungkin. Pelipatgandaan ini bahkan melampaui batas-batas waktu dan tempat, apalagi jika kebaikan yang kita rintis menjadi cerita, bahkan bisa diadopsi dan ditiru orang lain.
Tidak termasuk itsar ketika kita masih mengurus kebutuhan kita dan keluarga kita serta menghitung-hitungnya dengan melupakan kebutuhan orang-orang terdekat kita. Kesibukan kita hanya untuk mencukupi isi dapur kita, tidak berpikir membantu memikirkan dapur tetangga apakah sudah mengepul atau belum.
Rasulullah SAW menyindir keras perilaku tersebut. “Tidaklah beriman kepadaku orang yang bermalam dalam keadaan kenyang sementara tetangganya lapar, sedangkan dia mengetahuinya.” (HR. Hakim)
Sifat itsar akan bersemai dalam kepribadian kita jika dimulai dari rumah tangga kita masing-masing. Antara satu anggota keluarga dan yang lainnya saling mengutamakan, bukan ingin selalu diutamakan. Belajar untuk saling peduli akan kebutuhan masing-masing.
Dikisahkan, dalam sebuah rumah kaum salaf terdapat seikat buah anggur milik salah seorang penghuni rumah itu. Dia lalu memberikan anggur itu kepada saudarinya. Saudari yang diberi itu memberikan lagi kepada saudarinya yang lain. Lalu saudarinya itu memberi ibunya. Ibunya menyembunyikan seikat anggur itu untuk dihidangkan kepada suaminya.
Sang suami malah memberikannya kepada si anak yang pertama, pemilik dari seikat anggur itu. Demikianlah, seikat anggur itu beralih dari satu tangan ke tangan yang lain karena sifat itsar yang dimiliki satu keluarga tersebut.
Mencintai orang yang kita cintai adalah upaya kita memiliki jumlah kebaikan yang banyak dari kebaikan yang kita tanam untuk diri kita. Akumulasi kebaikan kita akan sangat terbatas bila itu hanya berupa kebaikan untuk diri kita sendiri.
Artinya, bila tidak memiliki tempat untuk meletakkan perbuatan baik, kita tidak akan memiliki pengali yang bisa memperbanyak jumlah perbuatan baik kita.
Nikmatnya ukhuwah dan mahabbah antarsesama merupakan karunia Allah SWT yang luar biasa. Kita patut bersyukur memiliki orang-orang yang kita cintai dan mereka pun mencintai kita.
Rasa cinta itu sendiri tumbuh dengan caranya sendiri yang kadang tidak mudah kita mengerti. Hanya sifat itsar yang bisa mewakili kecintaan dan persaudaraan itu. Sebab, itsar merupakan bukti cinta dan persaudaraan yang tulus. ***
Sumber artikel dari https://www.republika.co.id/berita/nmfw4q/keajaiban-itsar