16/06/22

MELAKNAT, BUKAN MENGUTUK

Salah satu diksi yang dipakai Allah dalam firmannya adalah kata "la'ana" (لعن). Termasuk, dalam ungkapan "Allah melaknat..." Dalam bahasa Indonesia kata ini terdengar keras, kalau malah bukan kasar. Kalau pun diterjemahkan, dia menjadi "mengutuk". Ya, dalam KBBI, kata "melaknat" diterjemahkan sebagai "mengutuk". Sedang kata "mengutuk", dalam kamus yang sama, dimaknai "menyumpahi". Dalam pengertian umum  hal ini bermakna memaki atau mendoakan yang dilaknat agar mendapatkan keburukan. Itu saja. Seolah melaknat adalah semacam ungkapan balas dendam, dan di dalamnya tak ada kebaikan/hikmah apa pun. Mungkin saja itu tepat jika dikaitkan dengan manusia, yang seting terjebak hawa nafsu. Tapi, bagaimana halnya dengan Allah Swt, yang Maha Bijaksana dan Maha Pengasih?

Dalam lexicon Arab atau al-Qur'an, kata "la'ana" disinonimkan dengan "ab'ada" (ابعد). Maknanya, "menjauhkan", atau "mengasingkan". Umumnya, kata "menjauhkan" di sini dipahami sebagai "menjauhkan" dari kasih-sayang (rahmah) Allah. Bisa juga, dalam makna "mengasingkan"*) hal ini dipahami sebagai "mengasingkan" dari manusia, dari kasih sayang mereka. Dan ini, sebagaimana diungkapkan dalam beberapa ayat al-Qur'an, diakibatkan karena si terlaknat bukan hanya membangkang kepada Allah, melainkan juga berbuat kerusakan dan kemungkaran di muka bumi, dan - ini yang amat penting, dalam konteks kita - mereka ini mudah memutuskan tali silaturrahim. Maka, seperti sabda Rasul saw juga: "Man laa yarham, laa yurham" (siapa yang tidak menyayangi, tidak disayangi). Jadi, sesungguhnya ungkapan "Allah melaknati" harus dipahami sebagai Allah mengungkapkan sunnah-Nya, bahwa untuk bisa disayangi, orang harus menyayangi. Maka, orang yang tidak menyayangi, otomatis, menurut sunnatulLaah, tak akan mendapatkan kasih sayang orang.

Sudah tentu ini hukuman yang mengerikan. Yang sasarannya akan mengalami kesedihan, rasa sumpek - depresi - yang akan menjadikan hidupnya tidak bahagia. Lalu diharapkan dia belajar dari kesedihannya ini untuk memperbaiki diri, sebagaimana setiap hukuman yang lain seharusnya menjadi pelajaran untuk mengambil hikmah dan memperbaiki diri. Bukankah kata hukum (حكم) berasal dari akar kata yang sama dengan "hikmah" (حكمة)?
Akhirnya, janganlah kita mudah-mudah melaknat. Nabi saw mengajarkan:

“Seorang mukmin bukanlah orang yang banyak mencela, bukan orang yang banyak melaknat, bukan pula orang yang keji (buruk akhlaqnya), dan bukan orang yang jorok omongannya” (HR. Tirmidzi dan Ahmad).

Apalagi melaknat seorang mukmin (meski kita anggap bersalah; karena, siapa yang tahu hati orang?): "Siapa yang melaknat seorang mukmin maka ia seperti membunuhnya ” (HR. Bukhari). Betapa besar dosa orang yang membunuh sesama mukmin. 

Sayangnya sebagian Muslim terlalu yakin dan merasa suci sehingga suka mengumbar laknat kepada sesama Muslim, hanya karena perbedaan mazhab dan pemahaman. Kadang-kadang malah hanya karena perbedaan pengelompokan politik. 

Sampai-sampai dengan keras Nabi saw. memperingatkan: “Orang yang banyak melaknat tidak akan diberi syafaat, dan syahadatnya tidak akan diterima pada Hari Kiamat” (HR. Muslim). Wal 'iyaadzu bil-Lah.

Imam al-Thabari menyebutkan bahwa makna laknat adalah menjauhkan, mengusir/mengasingkan. Arti asal aْdalah mengusir/mengasingkan dan menjauhkan. Contohnya, perkataan al-Syamakh bin Darar: 
ذعرت بهَ القطا
َونقيت
عنه
 مكانْ الذِءب كالرَّجِل اللعين
(Aku dikagetkan oleh kucing sehingga aku menjauhinya seolah dia serigala, 
sehingga aku seperti orang terusir).

Imam al-Qurṯubi mengatakan bahwa laknat asal lafaznya adalah al-la’n dalam bahasa Arab, maknanya terusir/terasingkan dan dijauhkan. Oleh karena itulah serigala disebut dengan: al-la’în (yang diusir), namun menurut satu pendapat, makna asal al la’an adalah diusir/diasingkan dan dijauhkan dari rahmat dan petunjuk Allah. Menurut pendapat yang lain, makna asalnya adalah diusir/diasingkan dan dijauhkan dari setiap kebaikan. Imam al-Syaukani dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa orang terlaknat itu adalah orang yang diusir/diasingkan dan dijauhkan dari rahmat Allah. *** (Haidar Bagir)