Salah seorang bintang sufi terbesar dalam sejarah bernama Abu Ali Al-Fudhail bin Iyadh. Ia lebih terkenal dengan nama Fudhail. Fudhail semula adalah seorang perampok yang merampas harta orang-orang di pertengahan jalan. Ia seorang highway man yang merampok pejalan yang sedang berdagang antara Merf dan Baward. Yang menarik dari Fudhail ialah bahwa di tengah kejahatan yang ia lakukan, ia lebih memilih untuk merampas harta benda orang yang kaya. Ia tak pernah mengambil harta benda orang yang miskin. Ia juga sering membagikan kekayaan yang dirampoknya untuk membantu orang miskin. Fudhail bin Iyadh adalah sejenis Robin Hood di masa lalu.
Pada suatu saat, Fudhail mencegat satu
rombongan orang. Salah seorang yang dihadangnya kebetulan seorang pembaca
Al-Quran dan ia sedang membaca ayat: Apa belum datang masanya bagi orang yang
beriman agar hati mereka takut kepada Tuhan?
Hati Fudhail menjadi lembut. Dia tinggalkan pekerjaan yang
selama ini ia geluti. Ia kembalikan barang-barang yang pernah dirampoknya
kepada orang-orang yang masih dia kenali. Kemudian Fudhail berguru kepada Imam Abu Hanifah untuk belajar
hadis, ulumul Quran, dan fiqih. Kelak, dia pun dikenal sebagai salah seorang
perawi hadis di dalam Shahih Bukhari. Dalam fiqih, dia mengikuti mazhab Abu
Hanifah. Dan dalam tasawuf, dia mengikuti tradisi para sufi sebelumnya.
Yang akan saya ceritakan pada tulisan ini
adalah pertemuan Fudhail dengan penguasa
saat itu, Harun Al-Rasyid.
Fadhl bin Rabi mengisahkannya untuk kita:
Aku menyertai Harun Al-Rasyid ke Mekkah. Setelah kami melaksanakan ibadah haji,
Harun berkata kepadaku: Ya Fadhl, apakah di sini ada hamba Allah yang bisa aku
kunjungi? Aku menjawab, Ya. Namanya Abdul Razak Al-Shanani. Kami pergi ke
rumahnya dan berbincang sebentar lalu kami pamit. Harun menyuruhku bertanya
kepadanya apakah ia punya utang-utang.
Ia menjawab: Ya. Dan Harun memerintahkan
agar utang-utang itu dibayar. Setelah berada di luar, Harun, sang khalifah,
berkata kepadaku: Fadhl, aku masih ingin bertemu orang yang lebih besar
daripada orang ini. Lalu ia mengajakku menemui Sufyan bin
Uyainah. Pertemuannya berakhir sama seperti peristiwa sebelumnya.
Harun berkata: Aku ingat bahwa Fudhail bin
Iyadh ada di sini. Marilah kita pergi menemuinya. Kami pun menjumpainya di
kamar atas sedang membaca ayat suci Al-Quran. Ketika kami mengetuk pintunya,
dia bertanya: Siapakah itu?
Aku menjawab: Amirul
Mukminn.
Fudhail
kembali bertanya: Apa hubungannya aku dengan Amirul Mukminin?
Aku berkata: Bukankah ada hadis Rasulullah
saw yang mengatakan bahwa orang tak boleh menghinakan dirinya dengan ibadah
kepada Tuhan?
Fudhail
menjawab: Tetapi kepasrahan kepada kehendak Tuhan adalah kemuliaan abadi
dalam pandangan kaum sufi. Engkau melihat kerendahan diriku namun aku meihat
kemuliaanku. Kemudian dia turun dan membuka pintu sambil mematikan lampu. Dia
berdiri di sebuah sudut. Harun Al-Rasyid, sang khalifah, masuk dan berusaha
mencari Fudhail bin Iyadh di kegelapan. Tangan mereka saling bersentuhan.
Fudhail berteriak seperti tangannya
terbakar api: Aduh, tak pernah kurasakan tangan sehalus ini! Alangkah baiknya
jika tangan ini selamat dari azab Tuhan.
Harun mulai meneteskan air mata. Ia
menangis terisak-isak. Ketika sudah tenang kembali, Harun berkata: Wahai
Fudhail, berilah aku nasihat.
Fudhail bin Iyadh berkata, Ya Amiral Mukminin, datukmu
Abbas adalah paman Nabi Muhammad saw. Dahulu Abbas datang kepada Nabi meminta
agar diberi kekuasaan atas umat manusia. Nabi menjawab, Wahai pamanku, aku akan
memberimu kekuasaan selama satu masa atas dirimu sendiri. Yaitu pada masa
ketaatanmu kepada Tuhan. Masa ketaatanmu kepada Tuhan lebih baik daripada
seribu tahun ketaatan orang kepadamu. Karena kekuasaan itu akan membawa
penyesalan di hari kiamat.
Harun Al-Rasyid berkata, Nasihati aku lagi.
Fudhail meneruskan: Ketika Umar bin
Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah, dia memanggil Salim bin Abdillah, Raja
bin Hayadh, dan Muhammad bin Kaab Al-Kurazi. Umar berkata kepada mereka,
kekhalifahan ini sebuah kesulitan. Apa yang harus kulakukan dalam kesulitan
ini?
Salah satu di antara mereka menjawab: Jika
engkau hendak diselamatkan kelak dari hukuman Tuhan, ketika engkau memegang
kekuasaan, pandanglah orang muslim yang lebih tua darimu sebagai ayahmu;
pemudanya sebagai saudaramu; dan anak-anaknya sebagai anak-anakmu juga. Seluruh
kawasan Islam ini jadikan sebagai rumahmu dan seluruh penduduknya sebagai
keluargamu. Kunjungilah bapakmu, hormati saudaramu, serta sayangi anak-anakmu.
Lalu Fudhail berkata: Wahai Amirul
Mukminin, aku khawatir kalau wajahmu yang tampan ini akan membawamu ke dalam
api neraka. Bertakwalah kepada Tuhan dan laksanakan kewajiban-kewajibanmu
kepada-Nya lebih baik dari ini.
Harun Al-Rasyid bertanya kepada
Fudhail apakah dia mempunyai utang.
Fudhail menjawab: Iya. Utang kepada
Tuhan. Celakalah aku karena seringkali dia memanggilku untuk
mempertanggungjawabkannya. Harun berkata: Fudhail, aku berbicara
tentang utang-utang kepada manusia.
Fudhail
berkata: Segala puji bagi Allah. Kemurahan-Nya kepadaku sungguh besar
dan aku tidak punya alasan untuk mengeluhkan tentang kesulitan hidupku kepada
hamba-hamba-Nya.
Harun menghadiahkan kepadanya sekantong
uang sejumlah seribu dinar seraya berkata: Gunakanlah uang ini untuk
keperluanmu. Fudhail menjawab: Ya Amiral
Mukminin, nasihatku ternyata tidak memberikan kebaikan kepadamu. Di sini engkau
bertindak salah dan tidak adil. Mengapa demikian? tanya Harun. Aku inginkan
engkau selamat. Namun kau campakkan aku ke dalam siksa neraka, jawab Fudhail, Bukankah
ini tidak adil?
Lalu kami meninggalkannya dengan linangan
air mata dan Harun berkata kepadaku, Wahai Fadhl, Fudhail adalah seorang raja
yang sejati.
Kisah ini mengajarkan kepada kita bagaimana
seorang sufi memberikan nasihat kepada para penguasa sekaligus menghapuskan
gambaran bahwa seorang sufi adalah seseorang yang meninggalkan segala kegiatan
dan menyembunyikan dirinya di sudut masjid atau gua di tengah hutan. Seorang
sufi adalah seorang yang terus menerus berjuang menegakkan keadilan, amar maruf
nahi munkar.
Yang membedakan seorang sufi dari seorang
moralis yang lain adalah: dia menyampaikan seluruh nasihat kepada penguasa
dengan ketulusan hatinya; dengan keinginan untuk menyelamatkan sang penguasa
itu dari bencana, baik di dunia maupun di hari akhirat. *** [KH Jalaluddin Rakhmat adalah Ketua Dewan Syura IJABI periode
2000-2021]