ALKISAH, seorang anak ditanya oleh ayahnya. Sang ayah adalah seorang alim besar pada zamannya. Ingin jadi apakah kau ketika besar nanti? “ Aku ingin menjadi sepertimu,” jawab si anak. “Salah besar anakku, bercita-citalah untuk meniru Imam Jafar Shadiq. Dengan begitu, walaupun 1 % cita-citamu itu tercapai, engkau sudah jauh lebih baik dariku.”
Cerita di atas menggambarkan sebuah tradisi keilmuan dalam mazhab Ahlulbait. Tentu yang dimaksud dengan Ahlul Bait di sini adalah mazhab Syiâh Imamiyyah. Walaupun saya pribadi cenderung memisahkan antara kedua istilah itu. Ahlul Bait adalah pusaka peninggalan Rasulullah untuk umatnya, karena itu ia tidak terbatas hanya kepada Syiâh saja.
Dari cerita di atas terlihat betapa besar pengaruh para Imam Ahlul Bait kepada para pengikutnya. Imam Jafar Shadiq, misalnya, meninggalkan khazanah keilmuan yang banyak untuk para pengikutnya. Pada masa beliaulah ‘universitas Islam’ pertama didirikan. Abu Hanifah, salah seorang murid Imam Jafar Shadiq, bahkan dididik dalam suasana toleransi dan pluralitas bermazhab yang tak terbatas. Bahkan para zindiq pun waktu itu mewarisi dan menikmati wacana intelektual yang beragam.
Namun, sepeninggal Imam Jafar Shadiq, seiring
dengan naiknya kekhalifahan˜Abbasiyyah ke tampuk pemerintahan, tradisi itu
perlahan-lahan memudar. Masing-masing
mazhab pemikiran berkembang sendiri-sendiri, hingga zaman keemasan Andalusia,
dengan Ibn Arabi sebagai contoh didikan masa itu. Syeikh Muhyiddin Ibn Arabi,
alim Andalusia yang dimakamkan di Rukn al-Din, Damaskus hidup di tengah masa
yang dipenuhi perdebatan yang sengit antara penganut Islam dan Nasrani, antara Mutazilah dan Asyariah, antara
para ahli fikih, filsafat, dan tasauf. Semua perdebatan itu menimbulkan bekas yang mendalam pada
dirinya sebagaimana dikatakan oleh Abu ˜AlaAfifi, “Inna li Ibn ‘Arabi `fi kulli mu’askarin qadamun†(Nashr Hamid Abu Zayd, Falsafah
al-Ta`wil, Dirasatun
fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhy al-Din bin ‘Arabi, 1996) .
Dalam Syiah sendiri, pengaruh para
Imam yang dominan memberikan ruang interpretasi yang terbatas bagi para
pengikutnya. Beberapa kisah diskusi Imam dan sahabatnya menggambarkan hal itu.
Toh, tidak ada kekhawatiran yang berarti. Karena orang Syiah percaya bahwa sang Imam
adalah pewaris mutlak kenabian. Kepada mereka juga berlaku ayat, “Fa mâ
atâkum al-rasûlu fakhudzûhu, wa ma nahâkum ‘anhu fantahûâ€. Ucapan mereka, tingkah laku dan perbuatan mereka adalah divinely
intervened uswatun hasanah.
Demikian berlanjut hingga zaman Imam
keduabelas, Imam Mahdi al-Muntazhar. Pada
229 H, setelah Imam Mahdi menjalani
ghaybat al-sughra, naib keempat Imam, Ali
bin Muhammad Simmari mengabarkan periode ghaybat al-kubra yang akan dijalani
Imam. Setelah itu, kontak langsung
dengan sumber wahyu terputus. Tidak dapat
lagi masyarakat awam menanyakan
persoalan-persoalan mereka. Sejak itulah, ruang
interpretasi dibuka sebebas-bebasnya. Sejak itu pulalah dimulai tradisi keilmuan
yang baru dalam khazanah Ahlul Bait. Tradisi ini sekaligus mewariskan sebuah
hierarki intelektual yang menjadi jenjang yang tak dapat begitu saja diabaikan.
Mungkin periode setelah ghaybat al-kubra
ini bisa dikatakan sebagai kelahiran dunia intelektual Syiâh.
Sejak itu, pintu ijtihad dibuka lebar-lebar. Nama-nama seperti Syeikh Kulayni
(329 H), Syeikh Shaduq (381 H), Syeikh Mufid, Syeikh Anshari, Syeikh Tabarsi,
dan sederet nama lain muncul ke permukaan. Beberapa nama terakhir bahkan muncul
pada abad ke 19 dan 20. Periode pengumpulan hadis para Imam oleh ulama di atas menggiring
pada tahap berikutnya: masa ijtihad dan pengeluaran fatwa. Sepeninggal Imam Mahdi, masyarakat awam
merujuk pada ulama yang memenuhi kriteria yang disebutkan Imam sebagai
penerusnya: alim, adil, mukhalifun li hawahu (menentang hawa nafsunya, yang
senantiasa memelihara kesucian dirinya), faqihun fi al-dîn (faham permasalahan
agama), arif bi muqtadhiyati zamanihi (mengenali tantangan dan kebutuhan zaman) dan
sebagainya. Pada periode ini mencuat dua
nama besar: Syeikh Mufid dan Syahid Tsani. Buku Syahid Tsani, Lumâat
al-Dimasyqiyyah, menjadi kitab standar yang digunakan oleh para calon mujtahid.
Sejak saat itu pula, segala hal-hal yang berhubungan dengan ilmu, menjadi wahana
dominasi ulama. Terjadi dikotomi yang jelas antara ulama di satu sisi, dan awam
di sisi lain.
Demikian berlangsung, sampai dasawarsa terakhir abad ke-19 ketika Ayatullah Shirazi
memberi fatwa pelarangan tembakau, sebagai upaya melawan penjajah kolonial
Inggris dan Rusia. Fatwa Ayatullah Shirazi itu menandai dibukanya satu fase
baru dalam dunia keilmuan Ahlul Bait, ialah fase marjaiyyah. Dikotomi ulama dan
awam itu, pada fase marjaiyyah ditandai dengan perbedaan yang jelas antara
marja dan muqallid. Marjaâ secara
harfiah berarti yang dirujuk dan muqallid berarti yang mengikuti.
Meskipun pembahasan seputar keharusan bertaklid atau klasifikasi umat ke dalam muqallid,
muhtath, atau mujtahid sudah tercantum dalam kitab-kitab abad 19 seperti dalam
Al- Urwah al-Wutsqa, karya Muhammad Kazhim al-Thabathabai, atau bahkan Lumâ
Dimasyqiyyah, karya Syahid Tsani yang sekarang menjadi standar pengantar fikih di hawzah di Iran, institusi
marjaâiyyah sendiri mungkin baru resmi berdiri ketika Sayyid Muhsin al-Hakim
mendirikan sebuah lembaga untuk menginstitusionalisasikan distribusi khumus
sebagai bentuk pendidikan gratis pada para pelajar di Najaf. Institut itu
bernama Al-Marjaiyyah al-Diniyyah Ammah (Chibli Mallat, the Renewal of Islamic
Law, 1995).
Beragam debat seputar marjaiyyah masih berlangsung hingga kini. Walaupun konsep marjaiyyah adalah sesuatu yang bersifat
fikih, tetapi ia sangat berpengaruh membentuk budaya intelektual di kalangan
Ahlul Bait.
Sengaja saya berangkat dari hierarkhi
intelektual itu untuk menggambarkan secara global khazanah literatur Ahlul Bait
dewasa ini. Proses yang tidak mudah untuk menjadi seorang mujtahid atau ulama, secara
tidak langsung menghambat perkembangan
dunia pemikiran Syiâh. Maksud saya, awam, masyarakat kebanyakan akan langsung
merujuk pada para ulama dalam bidang apapun, apalagi dalam bidang fikih yang menjadi spesialisasi mereka.
Penambahan gelar Ayatullah, shahib al-fadhilah ma zilluhâ dan lain sebagainya di
belakang nama sang pengarang adalah
jaminan akan substansi buku yang berbobot. Taruhlah, misalnya, dua buku tentang filsafat. Yang satu ditulis oleh
Ayatullah Muhammad Ashari dan yang lain ditulis oleh hanya Abu Ali Akbar saja.
Walau kedua penulis itu ternyata sama, masyarakat Syiah akan memilih yang
pertama. Ini, sekali lagi diakibatkan oleh hierarki yang berkembang turun
temurun tadi.
Di satu sisi, situasi seperti ini akan
menghasilkan buku-buku yang berkualitas. Warisan intelektual Syiâh adalah
legasi yang bisa dinikmati sepanjang masa. Tengoklah buku-buku Mulla Shadra,
yang walaupun tak bergelar ayatullah seperti zaman sekarang ini (karena dulu
mungkin belum populer) tetapi tetap melewati jalur-jalur standar seorang
mujtahid. Ibnu Sina, seorang Syiah Ismailiyyah, juga menghasilkan karya-karya
yang abadi sepanjang masa. Belum lagi warisan di bidang ˜irfan yang tak
terhitung banyaknya. Mulla Faydh Kasyani dan Nashiruddin Thusi adalah sedikit
contoh di antaranya.
Di sisi lain, hierarki itu sedikit banyak menghambat para pemikir muda. Mereka,
biar bagaimana pun adalah murid para ayatullah senior itu. Sangat susah, dalam hierarkhi Syiâh yang top down untuk menentang
fatwa sang guru. Bukan hanya susah, kebanyakan murid adalah pelanjut dari guru
mereka masing-masing. Karena itu, untuk menjembatani, atau menuju ke proses itu
"sebagai salah satu cara legitimasi" para pemikir muda biasanya
menyusun kitab (musannif) alih-alih menciptakannya (mu`allif). Maka bermunculanlah
buku-buku hasil susunan para penulis muda. Buku demikian tak terhingga jumlahnya.
Apalagi dengan system hawzah yang sekarang berkembang, khususnya untuk para
santri asing, buku-buku standar itu diringkas dan dijadikan satu.
Masih ada jalan lain untuk memperoleh legitimasi masyarakat awam, ialah dengan menulis
pada ratusan jurnal yang tersedia di tengah-tengah masyarakat. Jurnal-jurnal
itu antara lain risalah al-tsaqalayn, al-hayat at-tayyibah, sophia perennis,
afaq wa turats, dan lain sebagainya. Para penulis muda itu antara lain Rasul Jafariyan,
Thalib Sanjari, Asad Abu Said, Irfan Mahmud dan sebagainya. Kebanyakan mereka masih menggunakan pola musannif dan bukan
muallif.
Dominasi hawzah (pesantren) sangat kuat dalam tradisi intelektual Syiah. Karena
itu, sangat sulit bagi seorang Syariati atau Abdul Karim Shouroush untuk dapat
menembus lingkaran elit itu. Syariati yang akrab dengan mahasiswa pada era sebelum
revolusi mendapat ruang berbicara yang luas. Karena partisipasi para muridnya
jugalah informasi yang disampaikan Syariati menembus ruang dan waktu. Walaupun
kurang populer di masyarakat hawzah, Syariati mashur di kalangan universitas.
Agaknya, untuk bidang keagamaan, para akademisi pun (khususnya dari kalangan universitas) masih mendapat kesulitan untuk menembus hierarki
hawzah yang ada. Dr. Arif Zadeh, penulis buku Kamus Irfan adalah contohnya. Beliau yang berasal dari Universitas Teheran tetap harus menimba ilmu dulu di hawzah, sebelum
akhirnya menerbitkan buku.
Lebih jauh, keterbatasan perkembangan ilmu itu tidak saja didominasi oleh dua kota
Qum dan Najaf, tetapi juga oleh warisan keluarga. Beberapa keluarga ternama dalam
Syiah adalah penyumbang besar khazanah literatur Syiah dewasa ini. Tengoklah
misalnya, keluarga Shadr (Muhammad Baqir Shadr, Bintul Huda Shadr), keluarga Amili (Murtadha al-Askari al-Amili,
Haydar Amili), keluarga Hakim (Muhsin al-Hakim, Murtadha al-Hakim) dan
sebagainya.
Belakangan ini, literatur Syiah diwarnai oleh corak yang beragam. Jafar Subhani
mencuat sebagai teolog dan ahli ilmu kalam, sedang rekannya Ibrahim Amini lebih
pada masalah-masalah kekeluargaan. Mazahiri sebagai ahli ilmu akhlak, dan Jawad
serta Hasan Zadeh Amuli yang terkenal dalam Irfan. Di bidang filsafat, Sayyid
Kamal Haydari dan Taqi Mishbah Yazdi menempati urutan atas. Tentu, kita harus
segera menambahkan gelaran ayatullah di depan nama-nama itu. Bagaimana halnya
dengan bidang fikih? Fikih tentu adalah dominasi para ayatullah yang mencapai
tataran itu setelah melewati serangkaian proses yang panjang. Di antara yang
patut disebut adalah Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah yang banyak mengeluarkan
terobosan baru dalam bidang fikih. Dalam bidang ushul, terobosan terakhir yang
pernah meramaikan dunia pesantren Syiah diprakarsai oleh Syahid Sayyid Muhammad
Baqir Shadr dengan bukunya, Maalim al-jadida fi al-ushul.
Tetapi, sumbangan terbesar bagi khazanah literatur Syiah adalah keberhasilan
revolusi Islam di Iran. Dengan revolusi itu, tampil para penulis baru, angkatan
kedua setelah Imam Khumaini. Sayang, kebanyakan mereka telah dipanggil Tuhan. Lihatlah
Syahid Behesyti yang menguasai bahasa Perancis, Jerman, Inggris dan Belanda.
Kenanglah Syahid Mustafa Khumaini yang menulis tafsir sufi al-Quran. Atau
Syahid Musawi di Beirut yang meninggalkan naskah-naskah yang tak selesai. Syariati
dan Muthahhari adalah contoh yang lebih kentara lagi. Tangan kasih
Tuhan jelas lebih pantas untuk menerima keberadaan mereka daripada dunia yang
fana ini.
Namun, ketiadaan mereka telah membuka kembali masalah lama dalam pengembangan
khazanah literatur dan keilmuan Ahlul
Bait dewasa ini: dominasi ulama, hierarki kesarjanaan, dan salah satunya juga adalah
marjaiyyah. Apakah marjaiyyah mempersempit peluang untuk berbeda pendapat?
Apakah karena seseorang patuh sebagai muqallid yang baik maka ia tak bisa
mengambil alternatif dari marja yang lain?
Berikut beberapa kritik terhadap
marjaiyyah yang umum dibicarakan. Marilah kita jadikan pembahasan ini diskusi
yang menarik. Sebagaimana kita membuka pintu lebar-lebar bagi seorang muslim
untuk mempertanyakan keislaman mereka, agar pada akhirnya ia dapat memahami
Islam dan menjalaninya dengan lebih baik. Marilah juga kita buka lebar-lebar
kritik kita terhadap paham-paham Syiahh, dengan harapan kita dapat memahaminya
jauh lebih baik dari apa yang mungkin sudah kita pelajari hingga saat ini.
Beberapa Kritik atas Marjaiyyah
1. Ada sekitar 100 tahun setelah ghaybah
Imam Mahdi ketika masyarakat awam Syiah hanya merujuk kepada ulama saja, tanpa
ada keharusan kepada satu marja tertentu, apalagi yang dibumbui syarat
alamiyyah (yang paling berilmu. Siapakah yang menilainya?).
2. Tampaknya kemunculan
institusionalisasi marjaiyyah didasarkan atas proses sosial politik yang
menyertainya. Ayatullah Shirazi sebagai bentuk perlawanan terhadap
kolonialisme; Ayatullah Muhsin Hakim untuk melembagakan pendistribusian khumus;
dan Ayatullah al-Imam Ruhullah Khumaini sebagai salah satu bentuk kontrol
terhadap keutuhan negara Islam yang beliau dirikan. Bayangkan bila terjadi
banyak marja dan ternyata mereka tidak semuanya
sepakat tentang bentuk yang pasti akan pemerintahan Islam dan undang-undang
yang
menyertainya.
3. Marjaiyyah menutup ruang untuk kritik. Dari hierarki yang sangat panjang,
orang akan enggan untuk mengkritik ulama yang lebih senior karena faktor
keilmuan.
4. Marjaiyyah tidak fleksibel.
Keputusan seorang marja boleh jadi hanya didasarkan pada kondisi demografis
tertentu.
5. Banyaknya metode istinbath
(pengambilan keputusan) akan berakibat pada beragamnya hasil keputusan
mujtahid.
6. Proses istinbath berdasar pada nash.
Nash yang menjadi dasar hukum adalah nash yang dilahirkan dengan situasi sosial
waktu itu. Terdapat jarak yang sangat jauh antara penetapan nash dengan situasi
sekarang ini.
7. Menurut Syahid Baqir Shadr, seorang
mujtahid bisa jatuh ke dalam empat kekeliruan (Ijtihad Dalam Sorotan, 1985):
a). Justifikasi, Shadr menyebutnya dengan
tabrir al-waqiâ (pembenaran
realitas). Misalnya, ketika di
masyarakat Islam berkembang bunga bank, seorang mujtahid harus menundukkan nash
yang tidak mengenal bunga bank ke dalam penafsiran yang sesuai. Jadi, bukannya
mengubah realitas untuk tunduk pada nash. Bunga bank, misalnya, dihalalkan
karena riba yang dilarang dalam Al-Quran adalah adhâf mudhafaât (berlipat
ganda). Batasan berlipat ganda pun kemudian harus dirumuskan. Padahal, dalam
ayat lain disebutkan, “jika kamu
bertobat, maka bagimu pokok harta kamu, kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya.”
(Q.S.
Al-Baqarah: 279).
b). Interpolasi, Shadr menyebutnya
dengan damj al-nash dhimna ithar al-khash (memasukkan nash ke dalam kerangka
tertentu). Misalnya, seorang mujtahid yang berusaha menafsirkan kata-kata dalam
nash dengan pengertian mutakhir yang ia pahami dari istilah modern sesuai ilmu
pengetahuan yang berkembang.
c). Manipulasi, Shadr menyebutnya
dengan tajrid al-dalil al-syarâ min zhurufih wa syuruthih (melepaskan dalil
syarâ dari situasi dan kondisinya). Salah satu contoh kekeliruan ini ialah
memahami taqrir. Taqrir adalah sunnah nabawiah yang dinyatakan dengan diam.
Diamnya Nabi diartikan sebagai kebolehan. Taqrir bisa pada amalan tertentu
ataupun yang umum. Tetapi, hadis yang menjadi taqrir tidak bisa menjadi sunnah
kecuali dengan tiga syarat: harus terjadi di
zaman Nabi; harus diyakini tidak ada larangan syariat tentangnya; dan harus
diketahui berbagai kondisi dan situasi ketika terjadi taqrir.
d). Subyektifikasi, Shadr
menyebutnya dengan ittikhadz mauqif muaayyan bi shurah musabaqah tujah al-nash
(mengambil sikap tertentu [prematur?] terhadap nash). Dua orang mujtahid akan mencoba
memahami nash yang sama, tetapi dengan kecederungan yang berbeda. Yang satu,
misalnya, menyorotinya dari aspek sosial dan yang lain dari sisi hukum Islam
dan ketatanegaraan. Kedua sikap itu akan menghasilkan keputusan yang berbeda.
e). Inakurasi, yang ini tambahan
dari Ustadz Jalaluddin Rakhmat. Menurutnya, seorang mujtahid bisa merujuk pada
nash yang tidak valid atau tidak relevan. Misalnya, nash dirujuk, dijadikan
premis utama untuk premis-premis berikutnya. Tidak diteliti dulu apakah nash
itu relevan untuk premis berikutnya.
8. Pada zaman Rasul, kata Ijtihad tidak berarti sebuah proses pengambilan
hukum. Hadis yang menunjukkan pujian Rasul atas ijtihad Muadz bin Jabal dicela
oleh Ibn Hazm sebagai tidak shahih. Begitu pula sepeninggal nabi tercatat 32 kesalahan
ijtihad yang dilakukan Abu Bakar; 109 Umar dan 29 Utsman.
9. Sepeninggal Imam Mahdi as, komunitas Syiah terbagi ke dalam dua kelompok
besar: akhbari dan ushuli. Faham ushuli kini mendominasi pemikiran dunia Syiah,
terhitung sejak awal abad 19.
10. Zaman modern membutuhkan pengetahuan marja atas hal-hal yang berkembang dengan
pesat.
Masih Pentingkah Ijtihad?
Tentu. Yang baru dibahas hanyalah kemusykilan sebuah proses ijtihad dan
panjangnya hierarki untuk menjadi mujtahid. Karena berbagai kemusykilan itulah
mungkin, sebagian ulama menutup pintu ijtihad. Apalagi setelah ada kecenderungan
dalam sejarah bahwa ulama tertentu bisa dipesan untuk mengeluarkan fatwa.
Tetapi, biar bagaimana pun kebutuhan umat untuk memperoleh jawaban dari Islam
terus berkembang. Umat sekarang dihadapkan pada banyak tantangan: pengaruh
Barat, tradisi kuno, permasalahan-permasalahan kontemporer seperti perkembangan
ilmu teknologi, kesehatan, sains, dan sebagainya. Menghadapi kekhawatiran itu,
sebagian ulama kontemporer berkumpul dan merumuskan pentingnya ijtihad. Di
antara alasan pentingnya ijtihad: jauhnya dengan zaman tasyri, syariat
disampaikan secara komprehensif, nash hanya memberikan kaidah umum, dan Islam
sebagai risalah universal.
Solusi
Belakangan di dunia Syiah timbul pemikiran untuk membuat suatu institusi marjaiyyah internasional. Karena pola
marjaiyyah sekarang sangat bergantung pada kondisi demografis dan banyak hal
lainnya, maka diusulkan untuk dibentuk muassasah marjaiyyah, sebuah dewan yang
terdiri dari kumpulan ulama besar (marja) seluruh dunia, mewakili seluruh
pengikut mazhab Syiah. Dewan ini kelak dipimpin oleh seorang juru bicara (semisal
Paus di Vatikan). Dalam dewan ini dibagi tugas secara khusus kepada setiap
marja. Misalnya, ada yang menangani masalah ekonomi, ada yang khusus politik, dan
ada yang khusus perkembangan teknologi, kedokteran dan berbagai bidang lain
yang berkenaan dengan kehidupan umat sehari-hari.
Tetapi, ketika ide ini pertama kali
dicetuskan Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah, beliau ditentang dengan keras,
bahkan sempat dikafirkan. Karenanya, wacana marjaiyyah dan dekonstruksinya,
mungkin masih hanya sebatas perubahan paradigma pemikiran saja. Terima kasih. ***
Miftah
F. Rakhmat
[Sebuah elaborasi lanjutan dari pengantar pada diskusi di Redaksi
Mizan, 21 Juni 2000. Disampaikan lagi di IJABI, 21 November 2001. Tulisan ini
belum pernah dipublikasikan karena keterbatasan (dan kekhawatiran) saya dalam
bidang ini. Tapi saya beranikan diri dengan harapan akan menerima lebih banyak
lagi ilmu dan pencerahan, dari mereka yang lebih mumpuni dalam bidang ini.
Semoga Allah Taâla memanjangkan usia
mereka dan memberikan kepada kami limpahan ilmu mereka. Semoga Allah Taala
mengampuni kekeliruan saya dan memaafkan keterbatasan saya dalam berusaha
memahami ajaran agama-Nya. Wallahu muwaffiq ila aqwami thariq]