بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد وآل سيدنا محمد
Ini redaksi hadits yang dimaksud tercatat di Shahih Muslim:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ (وآله) وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ
“Apabila Rasulullah SAW menyampaikan khutbah, kedua mata beliau memerah, suara beliau lantang dan emosional kemarahan beliau menguat (membara/berkobar-kobar)”.
Terlepas adanya perbedaan apakah maksud hadits di atas khutbah apa pun atau khutbah Jum‘at saja, yang jelas dalam mensyarah hadits ini ada ulama yang mengatakan: itu menunjukkan istimrar (terus menerus, berkesinambungan). Jadi, hadits itu dimaknai seakan-akan begitulah kebiasaan perangai yang ditampakkan Rasulullah Muhammad SAW setiap kali menyampaikan khutbah. Hadits inilah yang dijadikan dalil Pak Bahar bin Smith untuk mejustifikasi gayanya dalam berceramah.
Tetapi tunggu dulu...
Bagaimana dengan statusnya? Hadits itu mengandung catat, statusnya syadz. Lho, kok bisa, padahal itu tercatat di Shahih Muslim? Ringkasan penjelasannya seperti ini:
Hadits dengan redaksi di atas juga tercatat di kitab-kitab berikut ini: Sunan Abu Dawud, Musnad Abi Ya’la, al-Muntaqa Ibnu Jarud, Shahih Ibnu Hibban, Amtsal al-Hadits al-Ramahurmuzi, al-Sunan al-Kubra al-Baihaqi dan al-Asma’ wa al-Shifat al-Baihaqi, yang semua jalurnya berujung pada periwayatan ‘Abdul Wahhab bin ‘Abdul Majid dari Imam Ja’far bin Muhammad (al-Shadiq) as.
Setelah melakukan takhrij atas redaksi yang serupa atau mendekati, ternyata ditemukan ada dua hadits lain di kitab Musnad Ahmad (no. 14564 dan 14924) yang masing-masing jalurnya begini:
1. ‘Abdullah bin al-Walid dari Sufyan (al-Tsauri) dari Imam Ja’far bin Muhammad (al-Shadiq) as.
2. Waki’ dari Sufyan (al-Tsauri) dari Imam Ja’far bin Muhammad (al-Shadiq) as.
Dengan menghimpun jalur-jalurnya, maka kita menemukan ada dua perawi yang sama-sama meriwayatkan dari Imam Ja’far al-Shadiq yaitu ‘Abdul Wahhab bin ‘Abdul Majid dan Sufyan al-Tsauri.
Nah, jalur Sufyan al-Tsauri membawakan redaksi yang agak berbeda dengan redaksi yang dari jalur ‘Abdul Wahhab bin ‘Abdul Majid.
Di jalur Sufyan al-Tsauri redaksinya begini:
• إذا ذكر الساعة احمرت وجنتاه وعلا صوته واشتد غضبه
• إذا ذكر الساعة احمرت وجنتاه واشتد غضبه وعلا صوته
Menurut redaksi ini, mata memerah, suara lantang dan emosional kemarahan yang menguat (membara/berkobar-kobar) itu hanya ditampakkan ketika beliau mengingatkan/berbicara tentang hari kiamat.
Sampai di sini, kita menemukan dua versi. Pertama versi jalur ‘Abdul Wahhab bin ‘Abdul Majid: Perangai tersebut tampak bila Rasulullah Muhammad SAW sedang berkhutbah. Kedua versi jalur Sufyan al-Tsauri: Perangai tersebut tampak hanya ketika Rasulullah Muhammad SAW mengingatkan/berbicara tentang hari kiamat.
Titik perbedaannya adalah idza khathaba (jika sedang berkhutbah) vs idza dzakara as-sa‘ah (jika mengingatkan/berbicara soal hari kiamat).
Dari dua versi itu, mana redaksi yang benar atau yang mahfuzh (lebih terjaga akurasinya)?
Cara mentarjih dua versi itu adalah dengan membandingkan kedudukan dan hal ihwal antara ‘Abdul Wahhab bin ‘Abdul Majid dan Sufyan al-Tsauri berdasarkan kitab-kitab bergenre rijal, al-jarh wa al-ta’dil, thabaqat, tarjamah (biografi), ‘ilal dan lain-lain.
Singkatnya, kalau kita mengecek literatur tersebut, penjelasan para ahli hadits dan kritikus rijal tentang dua orang itu bila dibandingkan maka hasilnya menunjukkan: meskipun dua orang itu sama-sama dikenal tsiqah (kredibel), tetapi tingkat kredibilitas dan kualitas dhabith (hafalan) Sufyan al-Tsauri itu lebih tinggi dibandingkan krebilitas dan kualitas dhabith (hafalan) ‘Abdul Wahhab bin ‘Abdul Majid.
Apalagi ditambah dengan penjelasan para ahli bahwa ‘Abdul Wahhab bin ‘Abdul Majid di tahun-tahun terakhir hidupnya mengalami penurunan kualitas hafalannya, maka dikatakan ia terpapar taghayyur dan ikhtilath, yaitu perubahan dan campur aduk pada apa yang ia sampaikan.
Dengan indikator ini, maka tidak menutup kemungkinan redaksi hadits idza khathaba di atas disampaikan ketika ia mengalami penurunan kualitas hafalan itu. Yang awalnya berbunyi idza dzakara as-sa‘ah berubah menjadi idza khathaba.
Kesimpulan dan tambahan faidah
1. Dengan demikian, redaksi yang benar atau yang mahfuzh (lebih terjaga akurasinya) adalah redaksi yang dibawakan Sufyan al-Tsauri yang menunjukkan bahwa perangai tersebut hanya tampak ketika Rasulullah Muhammad SAW mengingatkan/berbicara tentang hari kiamat
2. Tambahan penting: Itu pun penggambaran perangai Rasulullah Muhammad SAW tersebut terbatas pada pengamatan sahabat yang meriwayatkan hadits ini yaitu Jabir bin ‘Abdullah al-Anshari. Tambahan ini penting karena terbukti di hadits-hadits lain yang berbicara tentang hari kiamat yang diriwayatkan oleh para sahabat lain, perangai Rasulullah Muhammad SAW tidak digambarkan seperti itu
3. Redaksi yang dibawakan ‘Abdul Wahhab bin Majid itu tergolong syadz. Dikategorikan sebagai syadz karena dalam konteks ini ‘Abdul Wahhab bin ‘Abdul Majid meskipun ia dikenal tsiqah (kredibel), namun ia menyelisih redaksi yang dibawakan oleh perawi yang lebih tsiqah dan dikenal dengan ketinggian dhabitnya (hapalannya) yakni Sufyan al-Tsauri
4. Adanya kecacatan pada hadits-hadits yang tercatat di Shahih Muslim, misalnya ditemukan redaksi yang syadz atau berupa ziyadah, itu bukanlah sesuatu yang aneh dalam kajian ilmu hadits selama bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Di kalangan Sunni sendiri, peneliti ‘ilal al-hadits seperti Sa‘id bin ‘Abdul Qadir Basyanfar beberapa kali membuktikan kecacatan semacam itu di Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim dan kitab-kitab hadits utama lainnya. Bahkan sikap kritis terhadap hadits-hadits Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim itu bukan fenomena yang baru muncul di era kontemporer, bukan pula bermula dari kelompok Syi‘ah, melainkan muncul di internal Sunni itu sendiri sejak masa lalu. Sebut saja Abu Fadhl Muhammad bin Husain al-Jarudi (w. 317 H) yang menulis kitab khusus tentang hadits-hadits Shahih Muslim yang baginya mengandung cacat. Ada Al-‘Uqaili (w. 322 H) yang pernah mengingkari periwayatan al-A’masy dari Mujahid dalam suatu hadits di Shahih al-Bukhari yang lafaznya haddatsani Mujahid, bagi beliau yang benar adalah ‘an Mujahid dan lafaz yang menunjukkan tashrih sima’ (haddatsani) berasal dari perawi yang tafarrud. Lebih lanjut dijelaskan al-A’masy tidak mendengar riwayat itu dari Mujahid, tetapi ia mendengarnya melalui perantara Laits bin Abi Salim. Begitu pula Ibnu Hibban (w. 354 H) yang pernah mendha’ifkan hadits tentang shalat gerhana 8 dalam 4 sujud yang diriwayatkan oleh Habib karena menurut beliau Habib tidak mendengar hadits itu dari Thawus. Menariknya, hadits Habib dari Thawus tersebut tercatat di Shahih Muslim. Sebenarnya 3 contoh ini hanya segelintir dari sekian sikap kritis yang ada di kalangan ulama Sunni dari abad 3 H sampai abad 12 H.
5. Dalam kajian ilmu hadits, spesifiknya pada bab ‘ilal al-hadits, ada yang namanya: hadits-hadits yang zhahirnya shahih tetapi ternyata mengandung cacat tersembunyi. Hadits Ini pelajaran penting bahwa penilaian status hadits tidak cukup hanya didasarkan data kedudukan setiap perawi dan pembuktian ketersambungan sanadnya, tetapi juga harus didasarkan takhrij jalur-jalurnya lalu diklasifikasikan rincian perbedaan, persamaan dan yang mendekati dari setiap jalur itu. Dan itu bukan hanya pada matan, sanad pun demikian. Makanya dalam kajian ilmu hadits ada kategori syadz dan ziyadah dalam sanad. Itu belum termasuk pola atau jenis kasus-kasus riwayat yang lain, contohnya: yang melibatkan tafarrud, ziyadah tsiqah, teori taqwiyah & i’tibar, mentarjih dua data yang saling bertentangan tentang tashhrih sima’ perawi yang sama, mentarjih mana yang mahfuzh dalam persoalan marfu’ vs mauquf & maushul vs mursal dan kasus idraj, yang masing-masing itu ada qarinah-qarinahnya (indikator-indikatornya).
Semoga diluaskan berkah dan bermanfaat. Terima kasih banyak. Shalawat. ***
artikel ditulis oleh Muhammad Shalawat