24/07/22

Al-Uns dalam Kajian Tasawuf

Uns secara bahasa berarti jinak, senang. Sedangkan di dalam kitab at-Ta’arruf li madzhabi ahli at-Tashawwuf terdapat beberapa pendapat para sufi berkenaan dengan uns. Diantaranya adalah

  • Imam al-Junaid : Uns adalah hilangnya rasa malu namun beserta masih adanya rasa takut. Maksud dari “hilangnya rasa malu” yaitu sekiranya rasa berharap (roja’) itu lebih unggul daripada rasa takut.
  • Dzun Nun al-Mishri : Uns adalah kegembiraan pecinta (muhibb) pada yang dicinta (mahbub).
  • Ibrohim al-Marostani: Uns adalah riangnya hati yang tertuju pada yang dicintai.
  • Imam asy-Syubliy : Uns adalah kemurungan/rasa kesepian (saat jauh) dariNya.

Dari keterangan yang berbeda-beda dari para sufi di atas nampaknya terdapat titik temu yang menunjukkan bahwa uns adalah suatu keadaan yang sangat dekat (intimmate) dari seorang sufi kepada yang Tuhannya. Sebuah kondisi yang abstrak akan diinterpretasikan berbeda oleh personal yang berbeda maqom, pemikiran dan pembawaannya pula. Mungkin hal itulah yang membuat deskripsi dari uns tersebut menjadi berbeda di hadapan para sufi, namun walaupun berbeda tetaplah kondisi-kondisi tersebut dinamakan sebagai uns. Gambaran dari uns ini kurang lebihnya ialah sebagai sifat merasa selalu berteman dan tak pernah merasa sepi. Orang yang memilki uns akan selalu memikirkan kekasihnya. Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi rohani terpusat penuh pada satu titik sentrum, yaitu Allah. Tidak ada yang dirasa, diingat dan diharap kecuali Allah.

Salah satu contoh kondisi uns yakni riwayat yang menceritakan bahwa Rabi’ah al-Adawiyah selalu menolak lamaran-lamaran pria shalih dengan mengatakan, ”Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa. Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri. Aku maujud dalam tuhan dan diriku sepenuhnya milikNya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya. Akad nikah mesti diminta darinya, bukan dariku”

Rabi’ah tenggelam dalam kesadaran akan  kedekatan dengan tuhan. Ketika sakit ia berkata dengan tamu yang menanyakan sakitnya, ”Demi Allah aku tak merasa sakit, lantaran surga telah ditampakkan bagiku sedangkan aku merindukanya dalam hati, dan aku merasa bahwa tuhanku cemburu kepadaku, lantas mencelaku. Dialah yang membuatku bahagia.”

Sumber artikel https://insantri.com/uns-yaqin-ittihad-hulul-dan-wahdatul-wujud/