Sekitar dua atau tiga hari yang lalu ini saya menemukan dokumen sejarah berharga yang berasal dari abad ke-6 H. Bisa dibilang catatan ini terpinggirkan, sangat jarang bahkan mungkin tidak pernah dikemukakan khususnya di tanah air kita ini. Di antara peninggalan penting ‘Abdul Jalil bin Abi Husain al-Qazwini, ulama abad ke-6 H yang dikenal kepandaian, kesalehan dan kemuliaan akhlaknya, adalah karyanya yang berjudul Ba‘adh Matsalib al-Nawashib fi Naqdh Ba‘adh Fadhaih al-Rawafidh. Menurut Sayyid Muhammad Hadi al-Milani dalam Qadatuna Kaifa Na’rifuhum jilid 5, halaman 558, buku ‘Abdul Jalil al-Qazwini itu selesai ditulis sekitar tahun 560 H.
Buku yang ditulis dalam bahasa Parsi ini penyebutannya disingkat al-Naqdh, yang artinya: sebuah bantahan. Ya, bukunya ditulis dalam rangka membantah karangan seorang alim fanatik dari kota Rayy yang berisi isu-isu yang disangkutpautkan pada Syiah, lebih tepatnya apa yang diklaim penulisnya sebagai “fadha‘ih al-rawafidh” (keburukan-keburukan Rafidhah). Selain fokus menyanggah kejahilan dan tudingan yang dilontarkan anti Syi‘ah, yang tak kalah pentingnya buku al-Qazwini juga memuat beragam informasi seputar sejarah Syi‘ah pada abad ke-6 H dan abad sebelumnya, keberadaan geografis komunitas Syiah di Iran dan negara-negara lain kala itu, pemikiran dan perbedaan mazhab-mazhab Islam, dan sejumlah topik lainnya termasuk mengenai peristiwa-peristiwa di beberapa daerah yang kala itu melibatkan para tokoh dan masyarakat Sunni.
Di sini, insya Allah, saya akan menghadirkan untuk saudara-saudara sejumlah “potret” peristiwa yang terjadi pada masa al-Qazwini yang diabadikan dalam 3 halaman buku al-Naqdh-nya itu, tepatnya halaman 371-373.
Disebutkan dalam buku tersebut bahwa di Ishfahan ada Khawaja Abu Manshur Mashadah, tokoh panutan Sunni pada masanya, yang mengadakan majelis-majelis duka ‘Asyura setiap tahunnya. Tak hanya tangisan yang terdengar di majelisnya, juga ratapan atas penderitaan Imam Husain as. Dikatakan para pengunjung yang ke Ishfahan pasti pernah melihat atau mengetahui hal itu. Mari beralih ke Baghdad, di sana ada ‘Ali al-Ghaznawi yang bermazhab Hanafi yang mengadakan majelis-majelis duka di mana ia sampai melaknat kaum durjana Sufyani di hari ‘Asyura. Ingatan pilu itu selalu meliputi penduduk Baghdad di setiap musim duka Muharram. Abad ke-6 H di Baghdad juga ditandai dengan penduduk Sunninya (penganut Hanafi dan Syafi‘i) mengutuk apa yang terjadi selama pemerintahan zhalim ratusan tahun yang lalu.
Melangkah ke Naisabur, tersebutlah nama Najm Abu al-Ma‘ali bin Abi al-Qasim al-Bazari yang juga bermazhab Hanafi, ia sebaik mungkin mempersembahkan ungkap belasungkawanya. Diceritakan, saat perkabungan itu ia memegang sapu tangan dan meratap, menaburkan debu, suaranya pun meninggi sebab betapa mendalam kesedihan yang dirasakannya itu. Berlanjut ke salah satu ibu kota dunia abad pertengahan, Rayy, di sana ada dua sosok masih dari kalangan Hanafi yakni Syaikh Abu al-Futuh Nashr Abadi dan Mahmud al-Haddadi serta beberapa orang lainnya, di mana pada hari puncak berkabung ‘Asyura mereka melaknat para pelaku kezhaliman. Menariknya, ini diadakan di masjid-masjid.
Masih di Rayy, sebuah majelis duka di dibawakan oleh Abu Nashr al-Hasnajani di hadapan para sultan, pejabat, sejumlah kalangan dari Turki dan orang-orang mazhab Hanafi yang terkenal. Mereka semua menyetujui apa yang dilakukan Abu Nashr al-Hasnajani itu, bahkan diceritakan mereka ikut membantu dalam acara berkabung. Dari tadi yang disebut-sebut cuma tokoh mazhab Hanafi, bagaimana dengan tokoh Sunni lainnya?
Pada masa itu masyarakat menyaksikan kehadiran Muhammad bin As‘ad alias Khawaja Abu Manshur Hafdah (w. 571 H), seorang ahli fiqih mazhab Syafi‘i terkemuka asal Thus, di salah satu masjid jami’. Ia membacakan kisah tragedi memilukan yang menimpa Imam Husain as dan rombongan setianya. Dalam suasana berkabung itu, ulama mazhab Syafi‘i ini juga menaruh pengormatan dan pengunggulan yang lebih pada Imam Husain as dibanding ‘Utsman bin ‘Affan (yang sama-sama meninggal tragis). Tak ketinggalan ia pun menyebut Mu‘awiyah bin Abi Sufyan sebagai pemberontak.
Berbeda halnya dengan situasi di kota Hamadan, walaupun lebih berjaga-jaga karena kehadiran tentara Turki, seorang ulama mazhab Syafi‘i yakni Majiduddin Abu al-Futuh Muhammad bin Muhammad al-Hamadani (w. 555 H) tetap saja mengadakan ta’ziyah di bulan duka dan ungkap belasungkawa darinya sampai membuat heran penduduk Qum yang hadir di sana. Oh ya, mengenai Majiduddin Abu al-Futuh Muhammad bin al-Hamadani ini awalnya saya tidak tahu identitas beliau. Alhamdulillah, setelah dilacak lebih lanjut, saya menemukan biografinya di kitab Majma’ al-Adab fi Mu’jam al-Alqab karya Ibnu al-Futhi jilid 4, halaman 525 dan di kitab Sulam al-Wushul ila Thabaqat al-Fuhul karya Haji Khalifah jilid 3, halaman 242. Di situ disebutkan ia seorang penasehat, memiliki pengetahuan soal hadis, fiqih & sastra. Bahkan ia pernah guru kepada ayahnya ‘Abdul Karim al-Sam‘ani (w. 562 H), seorang biografer dan sejarawan yang sangat terkenal dalam dunia keilmuan Sunni.
Dalam bukunya, lanjut al-Qazwini, dilaporkan ada seorang hakim ketua kota Saveh bermazhab Hanafi sekaligus pengkhotbah fasih yang terkenal menyampaikan kisah Asyura di hadapan puluhan ribu orang di Jami’ Toghrul. Sayangnya, sebagian yang hadir waktu itu, mungkin saking larutnya perasaannya dan ungkap cinta yang meledak tak tertahankan, mereka melakukan perbuatan yang diharamkan para ulama seperti melukai kepala dan merobek-robek pakaian. Kata al-Qazwini, kejadian ini belum pernah terjadi tahun-tahun sebelumnya.
Dilaporkan peristiwa yang terjadi tahun 555 H di mana setelah shalat berjamaah di Jami’ Atiq pada hari Asyura, Khawaja Taj Asy‘ari Hanafi al-Naisaburi menghadiri majelis duka dan ini diadakan atas izin hakim dan dihadiri oleh para pejabat dan bangsawan. Kalau pun Khawaja tidak pergi ke majelis duka yang diadakan komunitas Syi‘ah ataupun Hanafi, maka ia hadir di majelis Syihab Mashat. Setiap tahun ketika bulan Muharram, tokoh Sunni ini pertama-tama memulai ungkap dukanya dengan memperingati kematian ‘Utsman dan Imam ‘Ali bin Abi Thalib as. Ketika tiba hari ‘Asyura ia menceritakan kisah tragedis Imam Husain as sedemikian rupa sehingga orang-orang ikut meratap, menaburkan debu, bahkan sebagian mereka merobek-robek pakaiannya.
Demikianlah sekelumit catatan sejarah penting berharga yang terjadi pada masa ‘Abdul Jalil al-Qazwini. Ini membuktikan bahwa dalam sejarahnya tidak hanya ulama dan komunitas Syi‘ah yang mengadakan majelis-majelis duka Imam Husain as. Sejumlah tokoh dan ulama Sunni terkemuka dengan cara masing-masing juga turut menggelarnya di musim duka Muharram, dihadiri mulai dari rakyat hingga para pejabat dan bangsawan. Lantas, di masa sekarang bagaimana?
Semoga bermanfaat dan diluaskan berkahnya. Titip kami dalam ziarah dan doa. Shalawat!
Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Aali Sayyidina Muhammad wa ‘ajjil farajahum..
***
artikel dari FB Muhammad Bhagas