17/09/22

KHILAFAH atau IMAMAH? [by Dr. KH. Jalaluddin Rakhmat]

_"Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan."_

                        (QS. Al-An’am 112)

    ​Malam itu, bukit-bukit di sekitar Mekah dipenuhi  puluhan ribu api unggun. 
    Suara gemuruh zikir terdengar sampai ke lembah-lembah dan bukit yang bersebelahan. 
    Abu Sufyan menggigil lebih dari yang biasa ia rasakan dari tiupan angin gurun sahara. 
    Ia menyaksikan kekuasaan baru akan segera menuruni bukit dan menaklukkan kota tua Makkah. 
    Sebagai pemimpin kabilah Quraisy, sebagai tetua yang paling berpengaruh di lembah Abthah, ia tercengang menyaksikan pasukan yang begitu besar sepanjang sejarah. 
    Pagi-pagi, Abbas, paman Nabi saw mengajak Abu Sufyan menemui Nabi. 
    Ia menunggang bagal yang dikenal sebagai bagal Nabi. 
 
    Rasulullah saw bertanya kepada Abu Sufyan,
   “Belum juga datang masanya bagimu untuk mengetahui bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah?”
 
    “Demi ayah dan ibuku, betapa santunnya engkau, betapa pemurahnya engkau, betapa cepatnya kau sambungkan persaudaraan, aku yakin sekiranya ada Tuhan lain selain Allah, pasti ia sudah mencukupi semuanya.”
 
   “Belum juga datang masanya bagimu untuk mengetahui bahwa aku ini utusan Allah?”
 
    “Demi ayah dan ibuku, betapa santunnya engkau, betapa pemurahnya engkau, betapa cepatnya kau sambungkan persaudaraan, mengenai hal ini, masih ada ganjelan (sesuatu) dalam hatiku.”
 
    Abbas meminta kepada Abu Sufyan agar menyatakan keislamannya, supaya Nabi memberikan jaminan keamanan baginya. 
   Umar sudah menyiapkan pedang untuk menebas lehernya. 
   Akhirnya masuk Islamlah ia di depan Rasulullah dan pedang Umar.
 
    Setelah bertemu dengan Rasul Allah, Abbas mengajaknya untuk berkeliling, memeriksa kekuatan Nabi. 
   Karena bagal berwarna putih, yang diidentifikasi sebagai kendaraan Nabi saw, semua pasukan mengizinkan Abbas lewat.
 
    Abu Sufyan melewati satu bendera, ia bertanya: 
  Ya Abbas, siapa mereka itu?
   Sulaim. 
   Kata Abu Sufyan: 
   Apa hubungannya aku dengan mereka. 
   Ia melewati satu kabilah lagi dan bertanya: 
   Ya Abbas, siapakah mereka itu? 
   Muzainah. 
   Apa hubungannya aku dengan mereka.
   Begitulah setiap melewati satu kabilah, Abu Sufyan bertanya hal yang sama.
   Sampailah ia pada pasukan yang di pusatnya ada Rasulullah saw.
 
    Kepada Abbas, penghulu  kabilah Bani Hasyim, ia berkata, 
  “Subhanallah, ya Abbas, mereka itu siapa?” 
  Dengan memicingkan matanya, ia menunjuk ke arah ribuan api unggun. 
   Pasukan-pasukan yang bersenjata lengkap.
 
    “Itulah Rasul Allah, bersama Muhajirin  dan Anshar. ”
 
    “Tidak  ada seorang pun dan tidak ada kekuatan apa pun  yang sanggup melawan mereka.
   Ya Abal Fadhl, pagi ini kerajaan keponakanmu sungguh luar biasa. ”
 
    “Ya Aba Sufyan, (ini bukan kerajaan) Ini kenabian.” 
    (‘Uyun al-Atsar fi Funuun al-Maghazi, 2: 229-230).

 
   *Abu Sufyan: Gerakan Khilafah*
 
    Percakapan di antara kedua tokoh -Bani Hasyim dan Bani Umayyah- menandai dua front yang saling konfrontasi.
    Dalam bahasa Arabnya: Muwajahah. 
   Tarikh Nabi saw, dengan begitu tarikh awal Islam,  adalah pertarungan antara dua front, dua jabhah- jabhah iman dan jabhah ‘ishyan, front keimanan dan front pembangkangan.  
  Front keimanan diwakili hampir sepenuhnya oleh Bani Hasyim; front pembangkangan dengan anggota 23 kabilah dipimpin oleh Bani Umayyah (Ahmad Husain Ya’qub, Al-Muwajahah ma’a Rasuulillah wa Aalih).
 
    Tokoh utama Bani Umayyah adalah Abu Sufyan bin Harb (jangan disamakan dengan Abu Sufyan bin Harits).
    Ia menganggap persaingan dengan Bani Hasyim sebagai pertarungan pengaruh dan kekuasaan; dalam bahasa Nietzsche,  persaingan der Wille zur Macht; dalam Darwinisme, survival of the fittest; berdasarkan pandangan tentang fitrah manusia sebagai homo agressivus. 
   Dalam bahasa Abu Sufyan, yang diulang secara konsisten, ini disebutnya al-mulk.  
  Kita menyebutnya politik. .  
  Pasca wafatnya Nabi saw muncul dalam nomenklatur politik Islam istilah khilafah.
   Mazhab yang mengikutinya kita sebut saja mazhab khilafah.   
 
    Abu Sufyan berjuang untuk menegakkan kekuasaan. 
    Nabi berjuang untuk menyebarkan wahyu. 
    Abu Sufyan menegaskan bahwa yang ia lawan adalah nilai-nilai langit: 
  “Kami dengan Bani Hasyim seperti dua kuda yang bertarung.
   Jika  mereka mendatangkan sesuatu, kami mendatangkan bandingannya. 
  Sampai seorang lelaki datang membawa berita dari langit. 
  Mana mungkin kami bisa mengimbanginya?”  
   Karena tidak bisa mengimbanginya, tidak ada cara lain kecuali melawannya. 
   Ketika kalah, ia masuk ke dalam Islam, tidak untuk melaksanakan ajaran Islam, tapi untuk menggunakannya.
   Ketika menang, ia mengubah Islam menjadi gerakan merebut kekuasaan.
 
    Setelah wafatnya Nabi saw, khilafah dipegang Abu Bakar dari Taim. 
  Sesudahnya Umar dari Bani ‘Adi. 
  Akhirnya khilafah sekarang dipegang oleh Usman dari Bani Umayyah.
   Ketika Abu Sufyan sudah tua renta, dengan mata yang sudah buta, tertatih-tatih ia mendatangi Khalifah Usman, “Sekarang kekuasaan sudah pindah kepada kamu dari Bani Taim dan ‘Adi. 
  Mainkan seperti bola dan jadikan tonggak-tonggaknya Bani Umayyah. Yang kamu pegang sekarang ini adalah kekuasaan. 
  Aku tidak tahu perihal surga dan neraka”. 
 
    Ia bertanya apa ada pihak lain selain Bani Umayyah di istana Usman. 
   Ketika orang-orang menjawab tidak ada, Abu Sufyan berdoa, “Ya Allah jadikan urusan ini urusan jahiliah, jadikan kekuasaan ini bahan rebutan (mulkan ghashibiyyah), dan jadikan tonggak-tonggak buminya Bani Umayyah”
 
    Yang dimaksud Abu Sofyan sebagai “amran jahiliyyatan” ialah khilafah bukan lagi urusan agama, tetapi urusan politik. 
  Bukan urusan surga dan neraka. 
  Bukan nilai yang berasal dari langit, tapi political game.
   Politik kini berhadapan dengan agama. 
   Politik menjadi kegiatan utama jabhah ‘ishyan.
   Lalu apa kegiatan utama jabhah iman?
 

*Ali bin Abi Thalib: Gerakan Imamah*
 
    Tokoh utama jabhah iman adalah Nabi Muhammad saw. 
  Ia menganggap persaingan kedua puak ini bukan pertarungan kekuasaan. 
   Perjuangan ini adalah benturan yang tak terhindarkan antara dua nilai: nilai material dan nilai spiritual -egoisme dan altruisme.  
  Missi Nabi saw adalah menegakkan nilai kemanusian yang universal, seperti diekspresikan dalam korus Beethoven Kesembilan: alle Menschen werden Brüder; atau seperti dikatakan Stefan Klein, Selblosigkeit mendorong umat manusia ke arah kesempurnaan, bergerak untuk Survival of the Nicest; dengan gerakan esensial -al-harakah al-jauhariah- dari homo homini lupus menuju homo emphaticus.
 
    Selain Ali bin Abi Thalib, yang mewarisi imamah, pilar utama jabhah iman adalah Hamzah.
   Di medan-medan peperangan, Hamzah berhadapan langsung, head to head, dengan keluarga Abu Sufyan. 
  Hamzah membabat keluarga Abu Sufyan dalam perang Badar. 
  Dalam perang Uhud, bersama istrinya, Hind, ia berhasil membunuh, bahkan mamutilasi Hamzah. 
  Hind memotong hidung dan telinga Hamzah, menjadikannya untaian kalung di lehernya. 
  Ia membongkar perut Hamzah dan bermaksud memakan hatinya.
  Ia makan tapi memuntahkannya kembali. 
   Nabi bersabda, 
  “(Dia tidak akan bisa memakannya), karena Allah tidak akan memasukkan sedikit pun bagian dari tubuh Hamzah ke neraka.” 
   Tapi sejak itu, ahli sejarah menyebut keturunan Hind, sebagai Abna Aakilatil Kabad,  si pemakan hati (Musnad Ahmad # 4414; lihat juga Al-Bidayah wa Al-Nihayah dan kitab-kitab tarikh lainnya)
 
    Setelah ia mendatangi Usman di rumahnya, ia mendatangi kuburan Hamzah, bukan untuk berziarah. 
  Ia menendang-tendang kuburan Hamzah dan berkata:
   “Ya Aba ‘Imarah (gelaran Hamzah), perkara yang kita perebutkan dengan pedang sekarang berada dalam genggaman tangan anak-anak kami dan mereka mempermainkannya”
   Ia masih memandang urusan agama yang diperjuangkan Hamzah adalah urusan kekuasaan.
  Waktu itu, kekuasaan sudah di tangan Bani Umayyah. 
      (Syarh Nahj al-Balaghah, Ibn Abi al-Hadid, 16:137).
 
    Lihat, betapa konsisten Abu Sufyan memegang ideologinya. 
   Ketika Nabi saw wafat, ia sedang berada di pengasingannya, di tempat Rasulullah saw mengasingkannya. Ketika ia balik, ia berjumpa di tengah perjalanan dengan seseorang yang datang dari Madinah. 

  Ia bertanya: Muhammad mati? 
  Ia berkata: Benar. 
Siapa penggantinya?  Abu Bakar. 
  Lalu apa yang dilakukan oleh dua orang yang tertindas- Ali dan Abbas?  
  Mereka duduk-duduk saja (tidak melakukan apa pun).
 
    “Demi Allah, jika aku berada di tengah-tengah mereka, aku angkat senjata melakukan perlawanan di belakang mereka.
  Kemudian ia berkata: Aku melihat noda  yang tidak bisa dihapus kecuali dengan darah. 
  Ketika ia tiba di Madinah, ia berkeliling ke setiap lorong kota dan berkata (Al-‘Iqd al-Farid, 3:62): 

.  بني هاشم لا تطمعوا الناس فيكم * ولا سيما تيم بن مرة أو عدي
   فما الامر إلا فيكم وإليكم * وليس لها إلا أبو حسن علي

    “Hai Bani Hasyim, jangan harap manusia menginginkan kamu
Terutama Taim bin Murrah dan Adi
Padahal urusan ini untukmu dan kembali padamu
Yang paling pantas tidak lain kecuali Abu Hasan Ali”
 
    Kemudian, ia mendatangi  Ali. Ia mengajak Bani Hasyim untuk berkoalisi dengan Bani Umayyah buat menjatuhkan Abu Bakar, dari puak Bani Taim:

    “Mengapa urusan ini dipegang oleh puak Quraisy yang paling sedikit orangnya dan paling rendah kedudukannya. Demi Allah, jika kamu kehendaki, aku akan penuhi Mekah dengan pasukan berkuda dan infanteri”.

     Ali menolaknya dan berkata,
    “Tidak henti-hentinya kamu memusuhi Islam dan para pemeluknya, hai Abu Sufyan. Manuver kamu tidak bakalan merusak Islam sedikitpun. Kami memandang Abu Bakar layak untuk menjadi khalifah.”
      (Mustadrak Al-Shahihain, 3:88, hadis # 4524).
 
    Sekiranya Ali menganggap peristiwa Ghadir Khum itu sebagai pewarisan kekuasaan, ia akan menggunakan kesempatan itu untuk merebut kekuasaan dari tangan Abu Bakar.
    Tidak ada dalam benak Ali keinginan untuk merebut Khilafah. 
   “Abu Bakar layak untuk menjadi khalifah,” katanya.
    Wasiat Nabi saw di Ghadir Khum adalah penunjukan Ali untuk posisi imamah, pemimpin agama bukan pemimpin politik.
    Melanjutkan garis nubuwwah bukan garis mulk.
 
    Ketika Usman terbunuh karena kerusuhan -yang di balik itu Bani Umayyah memainkan bolanya- orang-orang datang kepada Ali. 
  Mereka meminta Ali untuk menjadi khalifah pengganti Usman. 
  Ali menolaknya,
“Tinggalkan aku. Cari yang lain. Ketahuilah jika aku menerima tawaranmu, aku akan menjalankan amanat itu seperti yang aku ketahui. Aku tidak akan terpengaruh oleh bisikan para pembisik, atau kritikan pengkritik. Tapi jika kalian tinggalkan aku, aku akan menjadi rakyat biasa seperti kalian. Sungguh Ali akan menjadi orang yang paling mendengar dan paling taat kepada orang yang kalian angkat sebagai pemimpin kalian.” 
 
    “Ya Allah, Engkau tahu bahwa tidak ada di antara kami yang mengejar kekuasaan atau menumpuk-numpuk kekayaan. Kami hanya ingin menyampaikan ajaran agama-Mu, mensejahterakan (mendatangkan kemaslahatan) orang di negeri-Mu, sehingga rakyat yang terzalimi menikmati kedamaian, dan orang-orang yang melanggar batas-batas-Mu diberikan hukuman.”
Masih kata Ali,
“Orang-orang berbaiat kepadaku tanpa dipaksa, tanpa diperintah dengan keras. Mereka memilih aku dengan sukarela.” Ali hanya mau memegang kekuasaan kalau itu dipilih oleh mereka dengan sukarela, bukan dipaksakan dengan kekerasan. Ini shautul ‘adalatil insaniyyah,  the voice of human justice. suara keadilan kemanusiaan.
Tapi itu untuk posisi Ali sebagai khalifah. Posisi Ali sebagai Imam tidak berdasarkan pilihan rakyat, banyak atau sedikit. Imamah adalah penunjukan Tuhan (luthf ilahi). Perbedaan di antara dua konsep ini -khilafah dan imamah- telah membingungkan umat Islam sepanjang sejarah -baik Syiah maupun Sunni. Lebih-lebih setelah konsep khilafah ini masuk ke dalam gerakan Imamah.
 

    *Gerakan Khilafah Memasuki Gerakan Imamah*
 
    Masuknya orang Quraisy dari jabhatul ‘ishyan kepada Islam memberikan warna baru pada masyarakat Islam, politisasi Islam. Atau agamisasi politik. Ajaran Islam dijadikan kendaraan politik. Dari salat subuh berjamaah sampai kepada salat jumah, dari baca wirid sampai haji dan umrah, dari baca doa sampai pilkada. Khotbah-khotbah disampaikan -dalam  bahasa Bung Karno- untuk machtsvorming dan machtsaawending, membangun dan menggunakan kekuasaan. Islam berubah dari agama (faith) menjadi gerakan politik. Bukan lagi nubuwwah tapi mulk.
 
    Imam Ali memperingatkan kita tentang kehadiran kelompok atau golongan yang menjadikan agama sebagai batu pengungkit buat mengangkat mereka pada posisi kekuasaan, pada jabatan dan kedudukan: 
 
    “Sekiranya orang-orang Quraisy tidak menjadikan nama Rasulullah sebagai bekal untuk merebut kekuasaan, dan tangga untuk mendapatkan kedudukan dan pemerintahan, mereka tidak akan salat satu kali pun setelah meninggalnya Nabi saw dan akan murtad sejauh-jauhnya.”
 
    Kita terjemahkan ucapan Imam Ali dalam konteks mutakhir. Salat subuh berjamaah yang dikonsentrasikan di satu masjid tidak akan dilakukan kalau tidak ada kepentingan politik; salat juma’ah dan salat tarawih berjamaah tidak akan dijalankan kalau tidak ada keuntungan politik; bahkan kata hijrah pun tidak akan dikeluarkan, jika di ujungnya tidak ada penegakan khilafah.
 
    Sejak awal Nabi saw sudah menafikan politik atau motif-motif duniawi dari dakwahnya. Ia hanya memanggil orang ke jalan Allah. Berdasarkan keterangan. “Katakan: Inilah jalanku, memanggil orang kepada Allah, berdasarkan keterangan. Aku dan orang yang mengikutiku.” (QS. Yusuf 108). Kepada Allah, bukan pada kedudukan, kekuasaan, atau kekayaan.
 
    Pada suatu hari ‘Utbah bin Rabi’ah, ayah Hind, ditugaskan untuk mempengaruhi Nabi saw agar menghentikan dakwahnya. Dengan teknik persuasi yang lebih mirip tuduhan dari pada minta keterangan, Utbah berkata:
 
    “Engkau telah datang pada kaum kamu dengan urusan yang sangat besar. Kau pecah-belah masyarakatmu, kau salahkan pandangan mereka, kau kecam Tuhan dan agama mereka, kau ingkari tradisi orangtua mereka, dengarkanlah. Aku akan sampaikan kepadamu beberapa usulan, mungkin di antaranya ada yang bisa kamu terima.”
 
    “Ya Abal Walid, aku dengarkan”.
 
    “Wahai anak saudaraku. Jika kaulakukan semuanya ini karena kauinginkan harta, kami akan kumpulkan harta kami, sehingga engkau menjadi orang terkaya di antara kami. Jika kauinginkan kemuliaan, kami jadikan engkau pemimpin kami, sehingga kami tidak akan mengambil keputusan tanpa seizin kamu. Jika kauinginkan kekuasaan, kami jadikan engkau penguasa yang berkuasa di atas kami. Atau mungkin ada waham yang engkau derita, yang tidak sanggup kau tolak, kami akan carikan dokter, kami akan keluarkan harta kami sampai kami sembuhkan kamu.”
 
    “Sudah selesaikah, ya Abal Walid? sekarang dengarkan aku.” Tanya Rasulullah saw. “Siap!” kata Utbah. Lalu Rasulullah saw membacakan Al-Quran surat Fushilat: Dengan Nama Allah yang Mahakasih Mahasayang. Turun dari Mahakasih Mahasayang…. Ayat keenam (menurut saya) adalah jawaban untuk Utbah:
 
    “Katakanlah: Aku ini manusia seperti kamu, hanya saja aku diberi wahyu untuk disampaikan kepada kalian bahwa Tuhan kamu itu Tuhan yang satu. Istiqamahlah kamu dan istighfarlah kepada-Nya. Celakalah bagi orang-orang musyrik”
 
    Jadi Nabi saw menolak kekayaan, kedudukan dan kekuasaan. Tugasnya adalah menyebarkan berita dari langit. Menegakkan nubuwwah bukan mulk. Bahkan sekiranya kenabian bergabung dengan kekuasaan, Nabi Muhammad saw tetap memilih kenabian tanpa kekuasaan.
 
    Ketika malaikat yang menyertai malaikat Jibril menawarkan pilihan: in syi’ta Nabiyyan ‘Abdan, wa in syi’ta Nabiyyan Malikan, jika kau mau pilihlah Nabi sebagai budak atau Nabi sebagai raja.  Dengan rendah hali ia menetapkan pilihannya: Nabiyyan ‘Abdan. Nabi sebagai hamba. Maka selama berabad-abad miliaran muslim menggumamkan dalam salatnya gelar kehormatan Nabi: Aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba-Nya dan utusan-Nya. ‘Abduhu wa Rasuluh. Bukan Malikuhu (atau Khalifatuh) wa Rasuluh.
 

    *Kesimpulan*
 
    Di depan Anda terentang dua jalan. Jalan khilafah dan jalan imamah. Sebagai warga negara Indonesia, kita memilih jalan para imam. Seperti Imam Ali, kita berkata, “Tapi jika kalian tinggalkan aku, aku akan menjadi rakyat biasa seperti kalian. Sungguh Ali akan menjadi orang yang paling mendengar dan paling taat kepada orang yang kalian angkat sebagai pemimpin kalian.”
 
    Izinkan saya menggumamkan lagu Laron-laron kecil:
 
* Kami hadapkan Muhammad
* Rembulan mentari suci
* Bersama Aimmah
* kami ayun langkah
* di jalan cinta sejati.