Ijtihad, kata Muhammad Iqbal, adalah upaya intelektual manusia yang merupakan suatu keharusan untuk merespon evolusi kehidupan. Iqbal membuka bukunya, Reconstruction of Religious Thought in Islam, dengan memaparkan spirit dinamis al-Qur'an, yang menampilkan penciptaan sebagai suatu proses yang evolusioner. Bahwa, seperti kata Iqbal, alam semesta ini bukanlah suatu block universe.
Suatu alam yang fixed, statis, sekali jadi, dan tak mengalami perkembangan sejak diciptakan. Sebaliknya, alam terus berkembang, dan kehidupan pun terus berkembang. Dalam konteks pemikiran Iqbal ini, bahkan pemahaman dan pemikiran keagamaan pun terus berkembang. Harus terus berkembang, tepatnya. Pada kenyataannya, seluruh pemikiran keagamaan adalah hasil pemahaman manusia atas ajaran agama.
Ya, jelas akarnya adalah ajaran agama. Tapi hal ini tidak otomatis berarti pemahaman tersebut identik dengan ajaran agama itu sendiri. Bukan saja pemahaman manusia atas ajaran agama bisa tidak lengkap, bahkan salah, pemahaman manusia tak pernah bisa lepas dari perspekrif yang dipakainya. Sebagai makhluk yang hidup dalam zaman tertentu dan lokalitas tertentu, pemahaman manusia sedikit atau banyak dibentuk oleh perspektif ruang-waktu itu. Baik perspektif kultural, sosiologis, politik, budaya, bahkan ekonomi. Dengan kata lain, seluruh pemahaman manusia bersifat kontekstual.
Alih-alih distortif terhadap kebenaran, keberadaan perspektif itu bukan saja niscaya, bahkan ia merupakan wadah bagi kebenaran tersebut untuk berkembang. Maka, dalam disiplin ilmu humaniora, bahkan ilmu sosial, dikenal pendekatan etnografis, fenomenogis, atau hermeneutika. Tak harus anti narasi besar sebagaimana diungkapkan dalam posmodernisme yang relativistik, tapi keberadaan konteks dan perspektif itu justru memperkaya kenyataan dan pemahaman atas kenyataan tersebut.
Demikian pula kelahiran dan perkembangan mazhab-mazhab. Sering sekali dinyatakan bahwa - meski mungkin ditentang oleh sementara kaum Syiah sendiri - mazhab Syiah lahir dari pergulatan politik pasca wafatnya Nabi. Tapi bukan hanya Syiah, sesungguhnya lahir dan perkembangan semua mazhab dalam Islam dipengaruhi- untuk tak menggunakan istilah "dibentuk" - oleh pergulatan politik yang (berawal pada masa) masa pasca wafatnya Nabi.
Bagi sebagian pengamat, al. Abdullah al-Awa'ili - seorang ulama Sunni al-Azhar asal Lebanon - sesungguhnya tanda-tanda konflik politik/dinastik sudah muncul sejak zaman Nabi. Adanya kelompok-kompok tertentu di kalangan para pengikut Nabi saw yang tidak menyukai - atau setidaknya melihat potensi hambatan bagi aspirasi politik mereka - kepada Ali bin Abi Thalib sudah tampak indikasinya. Ini juga yang, sekali lagi bagi sebagian pengamat, menyebabkan Nabi dalam berbagai kesempatan menekankan pentingnya mencintai sepupu dan menantu beliau as ini, serta keturunannya.
Dengan menyebutkan hal ini, saya belum hendak membahas apakah Ali bin Abi Thalib memang - sebagaimana diyakini Syiah - ditunjuk sebagai khalifah penerus politik Nabi saw. Ini adalah suatu topik yang membutuhkan pembahasan tersendiri. Kenyataannya Syiahisme berpendapat demikian, sementara Sunnisme tidak. Tapi yang hendak saya katakan di titik ini adalah, bahwa memang sudah ada benih-benih perlawanan terhadap Ali bin Abi Thalib oleh sekelompok orang, bahkan sejak zaman Nabi saw. Sehingga ketika Nabi wafat, konflik yang laten itu mulai muncul ke permukaan. Peristiwa Saqifah yang melahirkan pemilihan Abubakar ash-Shiddiq adalah bentuknya. Boleh saja ada yang berpendapat bahwa tak terpilihnya Ali bin Abi Thalib adalah merupakan sebuah kudeta terhadap Ali. Tapi, menurut saya, keadaannya jauh lebih kompleks daripada itu.
Seperti saya singgung di atas, bukan sesuatu yang tak beralasan jika ada dugaan bahwa pada kenyataannya terdapat kelompok yang memang tak mau Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah. Tapi juga, salah menurut saya jika orang berpandangan bahwa semua kelompok selain pendukung (Syiah) Ali di masa itu berkomplot hendak menghadangnya. Dari pembacaan saya, mudah diduga bahwa sebagian orang - khususnya para sahabat besar - berniat baik untuk mencari jalan kompromi, yang paling berpeluang menghindarkan perpecahan yang lebih besar.
(Meski hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa memang bisa jadi ada juga orang-orang - selain para sahabat besar itu - yang ikut arus plot politik para penentang Ali tersebut). Karena itu, adalah beralasan apa yang disampaikan Umar bin Khath-thab ketika beliau berkata: "Pemilihan Abubakar adalah sebuah faltah (ketergesaan), tapi (semoga) Allah menghindarkan kaum Muslim dari akibat buruknya." Meskipun demikian, tampaknya kompromi itu tak memecahkan masalah, potensi perpecahan itu tetap laten.
Bahkan di masa Khalifah Umar dan Khalifah Utsman, potensi itu malah tampak membesar. Pembunuhan Khalifah Umar diduga merupakan hasil plot kelompok-kelompok yang memiliki agenda ingin merampas kekuasaan. Dan, ketika Utsman bin Affan - salah seorang sahabat besar yang dikenal tidak memiliki leadership yang kuat - menggantikan, potensi itu tercuat menjadi chaos. Pembunuhan Utsman tak pelak merupakan milestone awal terpenting bagi terbukanya peluang lbh jauh bagi kelompok pengintai kekuasaan untuk menciptakan instabilitas politik. ***
Oleh: Haidar Bagir