13/01/23

Ini Fikih Syiah yang Beda dengan Fikih Sunni

Beberapa waktu lalu saya ditanya: shalat Syiah dan Sunni, bedanya dalam hal apa saja? Kemudian saya jawab dengan pengetahuan seadanya, yang berasal dari pengajian dan buku-buku yang saya baca.

Ustadz Jalaluddin Rakhmat dalam sebuah pengajian menyebutkan bahwa Imam Khomeini membolehkan pengikut Muslim Syiah untuk shalat jamaah dengan imam shalat dari Ahlussunah. Orang Islam yang beraliran Syiah kemudian shalat dengan cara Sunni (Ahlussunah) diperbolehkan dan tetap sah. Tidak tahu kalau sebaliknya. Orang Sunni shalat dengan cara shalat fikih Syiah, apakah boleh? Ini perlu dirujuk kepada Mufti atau ulama otoritatif dari setiap mazhab fikih dalam Ahlussunnah.

Saya juga melihat dalam siaran langsung shalat idul fitri tahun 2012/1433 di Masjid Istiqlal Jakarta, yang pada barisan depan terdapat Duta Besar Iran yang shalat idul fitri dengan tangan lurus ke bawah. Kita tahu pada idul fitri di Istiqlal, imam dan khatib dipimpin oleh orang-orang Sunni, termasuk presiden menjadi makmumnya.

Perbedaan dalam shalat

Memang ada perbedaan dalam shalat. Dalam fikih shalat Syiah, khususnya Syiah Imamiyah atau Jafariyah, tidak menetapkan doa iftitah setelah takbir pertama sebagai yang harus dibaca.

Setelah takbir langsung baca surat Fatihah dengan menzaharkan bismillah dalam setiap pembacaan surah fatihah pada setiap rakaat kesatu dan kedua pada shalat dzuhur, ashar, maghrib, isya, dan subuh. Kemudian membaca surah pendek lengkap, tetapi ada juga yang tidak lengkap. Rakaat selanjutnya ketika berdiri cukup dengan membaca tasbih, tahmih, dan takbir. Biasanya sekira dua kali membacanya. Sebelum rukuk pada rakaat kedua, dianjurkan membaca doa qunut dengan mengangkat kedua tangan. Itu dilakukan pada seluruh shalat, baik wajib atau yang sunnah.

Saat duduk tawaruk, langsung baca tasyahud dan shalawat kemudian salam tanpa tengok kiri kanan. Selesai salam, disunahkan untuk takbir tiga kali dan dilanjutkan dengan sujud membaca tasbih. Itu termasuk sunah/mustahab. Setelah itu, sama seperti yang lainnya membaca doa, shalawat, dan zikir.

Dalam menentukan waktu utama shalat wajib Syiah berbeda dengan Sunni. Syiah meyakini bahwa shalat yang lima waktu utamanya terbagi pada tiga: fajar (shalat subuh), siang hari setelah matahari tergelincir: shalat dzuhur dan ashar.

Apabila selesai shalat dzuhur, maka boleh mengerjakan shalat ashar. Diperbolehkan juga kedua shalat tersebut dikerjakan di akhir menjelang senja (sebelum masuk waktu shalat maghrib).

Kemudian shalat maghrib dan isya dilakukan setelah matahari terbenam atau sudah gelap (lail). Selesai shalat maghrib boleh diteruskan shalat isya dengan terlebih dahulu diberi jeda dengan doa dan zikir, atau shalat sunah.

Waktu shalat

Penetapan waktu shalat kaum Syiah merujuk pada surah 17 ayat 78, ”dirikanlah shalat pada saat matahari tergelincir (di sini bisa diartikan siang hari) sampai gelap malam (malam hari) dan dirikan pula shalat subuh.”

Jadi, shalat wajib tetap lima. Hanya saja dalam fikih Syiah, yang lima dikumpulkan dalam tiga waktu. Masing-masing waktu pagi (subuh), waktu siang (zuhur dan ashar), dan waktu malam (maghrib dan isya). Jumlah seluruh rakaat shalat wajib pun tetap tujuh belas rakaat.

Tempat sujud

Dalam fikih shalat mazhab Syiah, yang dijadikan tempat sujud adalah tanah yang dipadatkan (turbah). Hal ini merujuk pada hadis bahwa saat itu Nabi dan umat Islam shalat langsung pada tanah, tidak menggunakan kain. Baru ketika tidak ada turbah, diperbolehkan menggunakan kertas putih atau boleh langsung pada lantai.

Tidak ada yang aneh dalam tata cara shalat yang dilakukan Muslimin Syiah. Jika membaca buku fikih seperti karya Muhammad Jawwad Mughniyyah maka akan diketahui bahwa ada persamaan dengan fikih Sunni Syafii. Bahkan, dalam gerakan tangan yang lurus ke bawah dilakukan oleh Sunni Maliki yang banyak dianut di Madinah.

Kalau berada di Masjid Nabawi Madinah dan Masjid Haram Makkah akan terlihat betapa beragamnya cara shalat umat Islam. Nah, yang terpenting dalam shalat atau ibadah itu fokus kepada yang diibadahi: Allah Swt.

Wudhu

Soal wudhu yang menjadi acuan pengikut Syiah ialah  firman Allah dalam Al-Quran: “Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku; dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS al-Maa’idah: 6). Dalam ayat tersebut jelas yang wajib dibasuh adalah ‘muka dan tangan’; sedangkan kepala/rambut  dan kaki hanya di sapu. Wudhu yang dilakukannya hanya yang wajib, sedang yang lainnya hanya dianjurkan. Dengan wudhu demikian maka penggunaan air pun tidak terlalu banyak dan dapat diseuaikan dengan kebutuhan wudhu.

Syahadat

Ada anggapan bahwa Kaum Muslimin Syiah tidak mengucapkan syahadat. Dalam rukun Islam Syiah, syahadat tidak tercantum karena masuk pada bagian keimanan (rukun iman) kepada Allah dan Rasulullah saw.

Sejarah mengisahkan bahwa syahadat sejak dahulu menjadi awal dari tanda seseorang masuk Islam. Jadi, orang yang baru masuk Islam harus syahadat kemudian melaksanakan rukun Islam dan iman. Karena itu, syahadat adalah gerbang untuk yang akan masuk agama Islam. 

Sementara rukun Islam bisa dimaknai syariat agama atau amalan-amalan ibadah orang Islam (Sunni atau Syiah) yang harus terus dijalankan sampai kematian menjemput.  

Rukun Islam dalam mazhab Syiah, yang berbeda dengan mazhab Ahlussunnah (Sunni) adalah wilayah. Bisa diartikan bahwa wilayah berarti pengakuan kepemimpinan setelah Rasulullah saw yang memiliki hak adalah Ahlulbait. Kaum Muslimin Syiah meyakini adanya pemerintahan dan kepemimpinan setelah Imam ke 11 adala Imam Mahdi. Beliau yang menjadi Imam kaum Muslimin Syiah hingga tiba Kiamat.

Jika diurutkan, rukun Islam dalam Syiah adalah Shalat, Puasa, Zakat, Haji, dan Wilayah. Kemudian dalam fikih Syiah ada pembahasan khumus, amar ma’ruf nahi munkar, jihad, dan ziarah.

Shalat

Tentang shalat tidak ada perbedaan yang esensial. Sama-sama menghadap Kiblat (Baitullah di Makkah Al-Mukarramah, Arab Saudi) dan melaksanakan shalat 17 rakaat untuk yang wajib: dzuhur-ashar, maghrib-isya, dan subuh. Hanya penentuan waktu yang sedikit beda. Kaum Muslimin mengikuti Al-Quran surah Al-Isra ayat 78 bahwa ada tiga waktu shalat: setelah tergelincir matahari (dzuhur dan ashar), malam (maghrib dan isya), dan fajar (subuh).

Gerakan shalat tidak jauh beda dengan Ahlussunnah. Hanya tangannya tidak sedekap. Mirip dengan mazhab fiqih Maliki dari kalangan Ahlussunnah. Kemudian ada doa qunut sebelum rukuk pada rakaat kedua pada setiap shalat wajib. Itu pun termasuk mustahab (sunah). Tidak membaca amin pada akhir ayat Al-Fatihah. Bacaan basmallah dibunyikan dalam setiap shalat pada rakaat satu dan dua; baik shalat wajib yang dilakukan siang atau malam dan fajar.

Tempat sujud mengenakan tanah padat (turbah). Hal ini mengikuti tradisi Nabi dan Ahlulbait yang bersujud ketika shalat langsung pada tanah, bukan pada kain. Kadang juga menggunakan kertas atau daun yang tidak dikonsumsi. Namun, dalam praktiknya Muslimin Syiah banyak yang menggunakan sajadah setiap kali shalat.

Khumus

Kalau tidak salah baca, khumus lebih mirip pajak dan bukan zakat. Khumus digunakan untuk enam bagian: Allah, Rasul, kerabat/keluarga Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil (QS Al-Anfal: 41).

Secara teori tidak mungkinlah hasil pengumpulan khumus itu diberikan kepada Allah, dan Rasul. Khumus bagian Allah digunakan untuk kepentingan dakwah agama dan bagian untuk Rasul digunakan untuk kepentingan menjalankan pemerintahan karena fungsi Rasul adalah pemimpin.

Cara perhitungan khumus adalah segala keuntungan pada akhir tahun (masa kerja/pembukuan) setelah dikurangi biaya-biaya kebutuhan dasar maka dikalikan 20%.

Masalah haji dan umrah, tetap ke Makkah dan Madinah dengan aturan dan tata cara yang hampir sama dengan Sunni. Bedanya mungkin dari segi bacaan. Adapun ke Karbala dan tempat makam para Imam Ahlulbait, termasuk ziarah. Bukan ibadah haji seperti yang ditudingkan kaum takfiri. 

Apalagi yang beda antara Fikih Syiah (Jafari) dengan mazhab fikih Ahlusunnah? Ini perlu dibaca pada buku FIKIH_LIMA_MAZHAB_PERBANDINGAN_MAZHAB karya Abu Bakar Aceh dan buku Fiqih Lima Mazhab: Ja'fari, Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali karya Muhammad Jawad Mughniyyah. Selamat membaca dan mempelajarinya! ***