10/01/23

Tarekat Ahlul Bait (1) [by JALALUDDIN RAKHMAT]

Apa sebetulnya tarekat itu? Mengapa pula kita harus membahas tarekat Ahlul Bait? Sebelumnya, saya akan berbicara tentang tarekat. Tarekat itu sendiri berhubungan erat dengan tasawuf. Kalau kita bicara tarekat, maka kemudian kita akan dibawa dan diantar orang menuju tasawuf. Karena itu, kita akan membicarakan tasawuf lebih dahulu. 

Dalam bahasa Inggris, tasawuf disebut mistisme (mysticism). Kata mistisme (mysticism), misteri (mystery), dan mitos (myth) berasal dari satu kata dalam bahasa Yunani mystheon, yang artinya menutup mulut. Karena itu, mistisme, misteri, dan mitos adalah sesuatu yang disampaikan sambil tutup mulut. Akan tetapi, memang, kata tasawuf tidak berasal dari mistisme. Ada banyak teori tentang asal-usul kata tasawuf. Sebagian mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata shuf, yang berarti baju bulu atau wol yang dulu dipakai oleh orang-orang fakir. Ada yang mengatakan kalau tasawuf berasal dari kata shafa, yang artinya membersiahkan diri, dan sufi adalah orang yang membersihkan dirinya. Ada juga yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata dalam bahasa Yunani, yaitu theos dan sophos. Theos berarti Tuhan dan sophos bermakna mencintai. Jadi, tasawuf bisa kita artikan mencintai Tuhan. Memang ada betulnya juga, karena tasawuf adalah sebuah mazhab yang ditegakkan di atas kecintaan kepada Tuhan. Tasawuf adalah mazhab cinta.

Saya mulai pembahasan ini dengan doa munajat penempuh jalan tarekat. Doa ini berasal dari Imam Zainal ‘Abidin. Saya kutipkan sebagai kecil darinya. “Dengan asma’ Allah Yang Mahakasih dan mahasayang. Mahasuci Engkau—Subhanaka. Alangkah sempitnya jalan bagi orang yang tidak memiliki jalan. Alangkah terangnya kebenaran bagi orang yang Kau tunjuki jalan. Ilahi, bimbinglah kami menuju ke banyak jalan menuju-Mu. Lapangkanlah kepada kami jalan terdekat ke arah-Mu. Dekatkan bagi kami yang jauh. Mudahkan bagi kami yang berat dan sulit. Gabungkan kami dengan hamba-hamba-Mu yang berlari cepat mencapai-Mu, yang selalu mengetuk pintu-Mu, yang malam dan siangnya selalu beribadah kepada-Mu, yang bergetar takut karena keagungan-Mu, yang Kau bersihkan tempat minumnya, yang Kau sampaikan keinginannya, yang Kau penuhi permintaan-Nya, yang Kau puaskan—dengan karunia-Mu—kedambaannya, yang Kau penuhi—dengan kasih-Mu—sanubarinya, yang kau hilangkan dahaganya dengan kemurnian minuman-Mu.” 

Pada bagian awal doa ini sebenarnya tersimpul inti dari tasawuf. Jadi, tasawuf adalah perjalanan menuju Allah Swt. Istilah tasawuf dikenakan untuk orang yang tengah menempuh jalan tarekat, yang tenagh melangkahkan kaki menuju perjalanan tak terhingga menuju Allah Swt. Jalan ini tidak gampang dan sangat tidak mudah, sebagaimana diungkapkan Imam Zainal ‘Abidin, “Alangkah sempitnya jalan bagi orang yang tidak punya jalan.” Kalau tidak ada dalil, petunjuk atau pembimbing, sempit betul rasanya jalan ini. Akan tetapi, di antara kafilah ruhani yang berjalan menuju Allah itu, ada sebagian dari mereka yang sudah mencapai rumah Tuhan, yang sudah mengetuk pintu-Nya, yang telah disambut Tuhan dengan anugerah-Nya, dan diberinya minum kecintaan-Nya, dan mereka pun melepaskan dahaga di sana. Itulah kelompok wali (auliya’) Allah dan kekasih-kekasih-Nya. 

Saya kutipkan lagi doa Imam Ali Zainal ‘Abidin, yang menggambarkan situasi kejiwaan orang yang sudah sampai ke rumah Tuhan, sudah mengetuk pintu-Nya, dan sudah dibukakan. Saya percaya bahwa Anda sekalian sudah mengalami pencerahan yang cukup tinggi sehingga tidk menafsirkan ucapan saya dengan pemahaman orang awam. Inilah ungkapan orang yang sudah dekat dengan Allah Swt. “Perjumpaan dengan-Mu kesejukan hatiku. Pertemuan dengan-Mu kecintaan diriku. Kepada-Mu kedambaanku. Pada cinta-Mu tumpuanku. Pada kasih-Mu gelora rinduku. Ridha-Mu tujuanku. Melihat-Mu keperluanku. Mendampingi-Mu keinginanku. Mendekati-Mu puncak permohonanku. Dalam menyeru-Mu damai dan tenteramku.” 

Inilah kelompok kekasih Tuhan, para wali Allah. Di dalam menyeru Tuhan, ketika menyebut nama-Nya, waktu berzikir dan berdoa kepada-Nya, mereka menikmati dan merasakan kedamaian serta ketenteraman. Mereka laksana bayi-bayi lapar yang menghentikan tangisannya dalam dekapan bundanya. Lalu, dengan penuh kebahagiaan, mereka memandang wajah bundanya itu. Mereka adalah orang-orang yang menderita, yang menemukan kawan yang mau mendengar jeritannya, yang memahami kesulitannya dan memberikan jalan keluar. Mereka seperti pengelana di padang pasir, yang berkali-kali dikecoh fatamorgana dan kemudian berhasil menemukan oase yang memancarkan air bening, bersih, dan sejuk. 

Nah, doa ini—seperti kita ketahui berasal dari Imam Ali Zainal ‘Abidin, salah seorang di antara mereka yang sudah singgah di halaman rumah Tuhan. Beliau digelari As-Sajjad karena banyaknya melakukan sujud. Dikisahkan bahwa ada banyak tempat di kota Madinah yang tanahnya menjadi keras karena seringnya Imam Ali Zainal ‘Abidin bersujud di situ. Padahal, ketika bersujud, tanah itu beliau siram dan basahi dengan linangan air mata. Dulu banyak orang yang datang ke temapt itu untuk meminta berkah. Setiap malam bintang-gemintang menyaksikan beliau merintih di rumah Tuhan atau di tempat shalatnya. Padahal, beliau termasuk keluarga Rasulullah saw. (Ahlul Bait) yang disucikan sesuci-sucinya. …Innama yuridullah li-yudzhiba ‘ankum al-rijsa ahl al-bait wa yuthahhirakum tathhiran. Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa-dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya. (QS Al-Ahzab [33]: 33) 

Berikut ini saya bacakan sebuah doa yang dibaca Imam Ali Zainal ‘Abidin ketika beliau bersujud disudut Kabah di bawah mizab, yaitu pancuran air. Nah, di bahwa pancuran iar inilah Imam Ali Zainal ‘Abidin berdoa sambil bersujud. “Inilah hamba sahaya-Mu rebah di halaman kebesaran-Mu. Inilah si malang-Mu rebah di halaman kebesaran-Mu. Inilah si fakir-Mu rebah di halaman kebesaran-Mu. Inilah pengemis-Mu di halaman kebesaran-Mu. Tuhanku, demi kebesaran-Mu, keagungan-Mu, dan kemuliaan-Mu, sekiranya sejak Engkau menciptakan aku, sejak masa permulaanku aku menyembah-Mu sekekal badai rububiyah-Mu, dengan setiap lembar rambutku, setiap kejam mataku sepanjang masa, dengan pujian dna syukur segenap makhluk-Mu, maka aku takkan mampu mensyukuri nikmat-nikmat-Mu yang paling tersembunyi padaku. Sekiranya aku menggali tambang besi dunia dengan gigiku, dan menanami buminya dengan lmbar-lembar alis mataku, dan menangis takut kepada-Mu dengan air mata dan darah sebanyak samudera langit dan bumi, maka semua itu kecil dibandingkan dengan banyaknya kewajibanku atas-Mu. Sekiranya, setelah itu, Engkau menyiksaku dengan azab seluruh makhluk, Engkau besarkan tubuh dan ragaku, Engkau penuhi Jahanam pada seluruh sudutnya dengan tubuhku sehingga di sana tidak ada lagi yang disiksa selainku, tidak ada lagi kayu bakar selain diriku, maka semua itu kecil dibandingkan dengan keadilan-Mu dan besarnya hukuman-Mu yang harus kuterima mengingat dosa-dosa yang kulakukan.” 

Doa ini sangat indah dan menyentuh. Kepada Imam Ali Zainal ‘Abidin ini bersambung hampir semua silsilah tarekat. Lewat beliau, silsilah itu naik kepada ayahnya, dan kepada kakeknya, yaitu Rasulullah saw. Dari beliau, para penempuh jalan kesucian belajar mengetuk pintu Tuhan. Dari beliau, mereka belajar doa yang mengungkapkan kerinduan dan kecintaan kepada Tuhan. Dari beliau pula, mereka belajar mensucikan batin agar layak berdampingan dengan Dzat Yang Mahasuci. 

Imam Ja’far Ash-Shaddiq—cucu Imam Zainal ‘Abidin yang melanjutkan tradisnya—menyimpulkan inti tarekat beliau, tarekat keluarga Nabi saw., “Ad-dinu huwa al-hubb.” Agama itu cinta. Para filosof pun menyimpulakn keberagaman mereka dengan mengatakan, “Ad-dînu huwal ‘aqlu. La dina liman la aqla lahu.” Agama itu akal. Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal. 

Ketika Islam dimaknai dengan berserah diri atau pasrah, maka para pengikut tarekat menambahkan cinta sebagai syarat mutlak penyerahan diri dan kepasrahan. Para filosof menyerahkan diri kepada Tuhan setelah akal mereka menunjukkan mereka kepada-Nya. Para fakih atau ahli hukum Islam pasrah kepada-Nya setelah mengetahui hukum-hukum-Nya, seperti taatnya warga negara kepada hukum negerinya. Para sufi merbahkan diri di hadapan-Nya, mau melakuka apa pun yang diperintahkan oleh-Nya, asalkan mereka tidak diusir dari sisi-Nya—sebagaimana seorang pecinta yang pasrah di depan kekasihnya. Karena boleh jadi, seseorang pasrah kepada-Nya karena takut siksa, hukuman, atau kekuasaan-Nya. Mungkin juga ia menyerahkan diri karena mengharapkan pamrih, pahala, atau ganjaran. Para sufi menyerahkan diri mereka sepenuhnya kepada Tuhan karena cinta. Ketika mereka berdoa, mereka memohonkan agar semua balasan itu diberikan kepada orang lain, sebagaimana diungkapkan dengan indah oleh L.A.Ara, seorang penyair muslim dari Aceh, dalam puisinya yang berjudul Doa Orang Buta.

Tuhan, beri sinar kepada mereka yang awas matanya.

Tuhan, beri cahaya kepada mereka yang memandnag dunia dengan mata terbuka.

Tuhan, kepadaku kirim saja percik kasih-Mu, tidak untuk membuka mataku, tapi untuk menyiram hatiku.

Salahkah dia yang pasrah kepada-Nya karena akalnya? Tidak. Dia diberi sinar untuk membuka matanya. Salahkah dia yang pasrah karena takut akan hukuman-Nya, atau karena takut menginginkan pahala-Nya? Tidak. Banyak jalan menuju Dia. Salah satu di antara jalan itu adalah jalan kesucian yang ditempuh para sufi, yaitu mereka yang ingin dikirimi percik kasih Tuhan untuk menyiram hatinya. 

Jadi, secara singkat, tasawuf adalah sebentuk keberagamaan yang didasarkan pada cinta. Kalau orang bertanya apa mazhab tasawuf, maka tasawuf itu akan menjawab, “Madzhabuna madzhab al-hubb”. Mazhab kami adalah mazhab cinta. ** (bersambung)