12/01/23

Tarekat Ahlul Bait (3) [by JALALUDDIN RAKHMAT]

Mengapa Harus Mencontoh Ali?

Ada dua jawaban: yang sederhana dan yang sulit. Pertama, yang sederhana. Dari manakah kita belajar sunnah Nabi? Jawabnya, dari para sahabat. Dari ‘Aisyah ra., kita tahu bahwa Rasulullah saw. menangis ketika melakukan shalat malam sampai janggut beliau menjadi basah. Dari Umar ra., kita tahu kalau Nabi saw. berbaring pada tikar yang kasar sehingga tikar itu meninggalkan bakas pada wajahnya. Dari Ibnu ‘Abbas ra., kita tahu kalau Rasulullah saw. pernah menjama’ shalat Zuhur dan Asahr di Madinah bukan karena sakit, bukan karena bepergian, dan bukan karena hujan. Hanya melalui ucapan dan perilaku sahabatlah kita dapat meneladani sunnah-sunnah beliau. 

Walhasil, Anda tidak dapat mencontoh Rasulullah saw. secara langsung. Karena itulah, untuk memperoleh petunjuk jalan dalam safar ruhani kita yang panjang, ikutilah Ali. Ia pasti sudah sudah mengikuti Rasulullah saw. Kalimat yang benar bukan pertanyaan, “Apakah kita meneladani Nabi saw. atau Ali?” Yang benar adalah pernyataan, “Kita meneladani Nabi saw. dengan meneladani Ali.” 

Jawaban kedua agak sulit dijelaskan. Ketika saya ingin mengikuti Imam Ali, Anda pasti bertanya mengapa tidak mengikuti Rasulullah saw. saja? Baiklah, Anda mengikuti Rasulullah saw. Saya pun akan balik bertanya, “Mengapa tidak mengikuti Allah saja?” Pertanyaan semacam ini pernah diajukan kepada saya, ketika saya mendirikan Pesantren Muthahhari. Saya ingin mendidik para santri agar mereka kelak menjadi ulama seperti Muthahhari: pemikir, aktivis, ahli agama, dan ahli ilmu sekaligus. Kawan saya menegur, mengapa tidak langsung mencontoh Nabi Muhammad saw saja? Ketika saudara saya mengikuti Imam Syafi’i, ia juga bertanya, mengapa tidak mengikuti Nabi saw saja. 

Saya menjawab kalau Rasulullah saw. adalah sumber syariat yang kedua setelah Allah. Pada Allah dan Rasul-Nya berpangkal semua pemahaman kita tentang agama. Allah dan Rasul-Nya adalah Islam itu sendiri. Islam adalah air hujan yang turun drai langit. Kita adalh tanah yang menerima tetesan dan curahan hujan itu. Di antara bidang-bidang tanah itu ada petak demo yang menjadi percontohan bagi tanah-tanah yang lain. Perilaku Rasulullah saw. adalah sunnah. Kita mengamalkan pemahaman kita tentang sunnah. Sebagaimana tanah yang memiliki kemampuan menampung air yang berbeda, seperti itulah penerimaan kita pada sunnah. Sepanjang sejarah, kaum Mukmin berusaha memahami dan menjalankan sunnah Nabi saw. Sebagian kecil dari mereka ada yang sudah memahami sunnah dengan baik, menjadi akhadzat. Mereka mengamalkan sunnah itu dalam kehidupannya, dan sebagian besar kaum Mukmin mencontoh mereka yang disebut pertama. Dari madrasah Nabi saw., murid tladan yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib. Kepadanya para sahabat merujuk. “Law la ‘Ali, lahalak ‘Umar, kata Umar bin Khathab. “Sekiranya tidak ada Ali, celakalah Umar.” 

Ketika kawan saya tidak paham atau tidak mau paham, saya hrus menjelaskannya dengan konsep isnad dalam ilmu hadits atau silsilah dalam tarekat. 

Perhatikan hadits Nabi saw. berikut, “Perumpamaanku dan perumpamaan apa yang aku bawa seperti lelaki yang mendatangi kaumnya: ‘Hai kaumku, aku melihat pasukan musuh dengan mataku sendiri…’.” Al-Suhrawardi menurunkan hadits ini dalam kitab ‘Awarif Al-Ma’arif. Ia menerima hadits itu dari Al-Husain bin Muhammad Al-zaini, yang menerimanya dari Karimah binti Ahmad, dari Abu Al-Haitsam, dari Muhammad bin Yusuf Al-farbari, dari Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari. Al-Bukhari menerimanya dari Abu Akrib, dari Abu Usamah, dari Abu Barid, dari Abu Burdah, dari Abu Musa Al-Anshari, dari Rasulullah saw. Rangkaian nama yang panjang ini disebut sanad. Untuk pertanggungjawaban ilmiah, Al-Suhrawardi tidak langsung mengatakan ia mendengar hadits dari Nabi saw. Ia merinci jalur periwayatan hadits itu dari gurunya, dari guru gurunya, dan seterusnya. “Tidak ada agama tanpa isnad,” kata ahli hadits. “Cukuplah meniru Nabi saw., tidak perlu meniru Muthahhari,” kata kawan saya. 

Dalam tarekat, sanad itu disebut silsilah—mata rantai yang menghubungkan guru kita dan guru-guru sebelumnya sampai kepada Rasulullah saw. Misalnya silsilah tarekat Qadiriyyah-Naqsyabadiyyah, ada guru-guru yang sampai kepada Ali Ar-Ridha. Ia menerima dari ayahnya, kakeknya, sampai kepada Ali bin Abi Thalib, dan akhirnya sampai kepada Rasulullah saw. Dari Ali Ar-Ridha, tarikat Qadariyah-Naqsyabandiyyah bersambung dengan apa yang dikenal sebagai silsilah emas (al-silsilah al-dzahabiyyah), yaitu untaian mata rantai keluarga Nabi saw. yang terkenal dalam kemakrifatannya dan kesalehannya. Inilah rangkaian imam yang oleh Nabi saw. disebut Safinah Nuh (Perahu Nuh) dan gemintang umat. “Terekat yang tidak bersambung kepada Rasulullah saw. tidak boleh diikuti. Ikutilah guru (mursyid), yang memperoleh ilmunya dari rangkaian guru yang bersambung kepada Ali bin Abi Thalib dan sampai kepada Rasulullah saw.,” kata pengikut tarekat. Kawan saya masih bertanya, “Mengapa harus melewati rantai yang panjang? Ikuti saja langsung Rasulullah saw.? Mengapa harus melewati Ali?” Saya tidak bisa menjelaskan lagi keculai mengatakan peribahasa Melayu lama: mengeja dari awal, mengaji dari alif. 

“Tinggalkan semua hal yang berkaitan dengan guru atau keharusan mengikuti Ali. Yang jelas, tasawuf tidak terdapat dalam Al-Quran dan sunnah. Pada zaman Nabi saw. dan para sahabatnya, tidak dikenal kata tasawuf. Jadi, untuk apa mengikuti tasawuf, siapa pun gurunya, atau siapa pun imamnya. Tugas kita adalah menjalankan Al-Quran dan sunnah. Titik. Tidak perlu nama-nama itu,” argumen kawan saya yang lain. 

Betul, kata tasawuf tidak terdapat dalam Al-Quran dan sunnah secara spesifik, sebagaimana juga kata ilmu fikih, ilmu tafsir, filsafat, tauhid, rkun iman, atau rukun Islam. Apakah karena tidak ada kata tauhid dalam Al-Quran dan sunnah, akidah kita tidak perlu ditegakkan di atas dasar tauhid? Apakah karena tidak ada kata fikih dalam Al-Quran dan sunnah, kita tidak perlu memelajarinya? Anda lupa bahwa ilmu tasawuf, seperti juga fikih, tafsir, dan tauhid muncul dan berkembang dari upaya umat Islam untuk menjalankan Al-Quran dan sunnah? 

Kita akan mengakhiri tulisan ini dengan mempersilahkan pemuka tasawuf, Al-Suhrawardi, berkata, “Ketahuilah bahwa semua keadaan mulia yang dinisbatkan kepada sufi dalam buku ini adalah keadan orang yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah Swt. sufi adalah nama muqarrab. Di dalam Al-Quran tidak ada kata sufi. Nama sufi dikenakan kepada setiap muqarrab seperti yang akan kita jelaskan dalam bab tentang itu. Tidak dikenal istilah sufi untuk orang yang mendekatkan diri kepada Allah di berbagai negeri Islam, baik di Timur maupun di Barat. Betapa banyaknya kaum muqarrabin di Maghribi, Turkistan, atau di negeri seberang sungai. Mereka tidak disebut sufi karena tidak memakai pakaian sufi… semua guru sufi yang nama-namanya disebut dalam kitab-kitab tasawuf adalah orang yang sedang menempuh jalan kaum muqarrabin dan ilmu mereka berkenaan dengan keadaan (ahwal) muqarrabin.” *** (tamat) 

Artikel dari https://www.erfan.ir/indonesian/80864.html (10 Januari 2023, 11.54 wib)