11/01/23

Tarekat Ahlul Bait (2) [by JALALUDDIN RAKHMAT]

Tasawuf: Mazhab Cinta

Cinta dan kerinduan, mahammad dan ‘isyq, adalah inti keberagamaan yang disebut tasawuf. Apa arti cinta? Dalam bahasa Arab, cinta disebut hubb. Kata Abdurrahman Al-Sulami, seorang sufi besar abad ke-5, “Hubb terdiri dari dua huruf, ha dan ba’. Ha adalah huruf akhir pada ruh, dan ba’ adalah huruf awal pada kata badan. Badan menjadi ruh tanpa badan. Badan menjadi badan tanpa ruh. Segala sesuatu bisa dijelaskan kecuali cinta. Cinta itu terlalu lembut dan terlalu halus untuk diterangkan. Karena itulah, Allah Swt. menciptakan malaikat untuk berkhidmat, jin untuk kekuasaan, setan untuk laknat, dan menciptakan para arif untuk cinta.” Saya juga tidak mengerti apa yang dimaksud Al-Sulami. Simpanlah ini untuk bahan renungan Anda. 

Akan tetapi, Al-Sulami memberikan anekdot-anekdot sufi tentang cinta. Junaid Al-Baghdadi, salah seorang sufi terkemuka, menjelaskan cinta dengan cinta. “Aku melihat seorang anak memukuli orang tua. Tetapi orang tua itu hanya tertawa. Aku bertanya, “Mengapa Anda tertawa?” Orang tua itu menjawab, “Bagaimana aku tidak tertawa, tangannya ruhku, cambuknya hatiku, hidupnya hidupku. Bagaimana mungkin aku mengadukan diriku kepada diriku?” 

Pada waktu yang lain, Abul Al-Husain Al-Nuri bertanya kepada Junaid tentang cinta yang menjadi dasar tasawuf. Kata Junaid, “Akan aku kisahkan sebuah cerita. Pada suatu hari aku bersama sekelompok orang berada di kebun. Kami menunggu seseorang yang akan menemui kami. Orang itu rupanya datang terlambat. Kami pun naik untuk melihat-lihat. Tiba-tiba kami melihat ada orang buta berjalan bersama anak yang sangat cantik sekali rupanya. Orang buta itu berkata, “Engkau perintahkan aku begini dan begini. Semuanya aku lakukan. Engkau melarang, semuanya aku tinggalkan. Aku tidak pernah membantahku. Sekarang, apa lagi yang engkau inginkan?” Anak itu menjawab, “Aku ingin engkau mati”. Si buta itu pun berkata, “Baiklah. Aku akan mati”. Lalu ia berbaring dan menutup wajahnya. Aku pun berkata kepada sahabat-sahabatku, “Lihat, si buta itu tidak bergerak sama skali. Keadaannya seperti sudah mati. Padahal tidak mungkin ia mati”. Kami segera menghampirinya. Kami gerak-gerakkan tubuhnya. Ia betul-betul telah mati. 

Kisah-kisah Junaid Al-Baghdadi tampaknya sukar kita cerna. Marilah kita ngatkan Dzunnun Al-Mishri. Ia berkunjung kepada orang sakit dan ia dapatkan si sakit sedang mengaduh. Dzunnun berkata, “Tidak sejati ia mencintai jika tidak sabar akan pukulannya.” Si sakit berkata, “Tidak sabar dalam mencintai jika tidak menikmati pukulannya.” Dari sudut rumah ada suara, “Tidaklah mncintai Kami secara sejati orang yang masih mengharap kecintaan selain Kami.” Ketika ditanya bagaimana ia mencintai sahabatnya, ia menjawab, “Jika aku melihatnya, aku ingin agar aku tidak melihat apa pun selain dia. Jika aku mendengar suaranya, aku ingin tidak mendengar apa pun selain suaranya.” Al-Mutanabbi bersyair, “Sekiranya aku bisa mengendalikan mataku, aku tidak akan membukanya kecuali ketika melihatmu.” 

Kita akhiri perbincangan tentang cinta dengan penjelasan singkat dari Al-Syibli (walaupun katanya, cinta itu tidak dapat dijelaskan). Ia berkata, “Hakikat cinta adalah engkau berikan seluruh dirimu kepada yang engaku cintai sehingga tidak tersisa milikmu padamu sedikit pun.” 

Memang, semua sufi sepakat bahwa tasawuf adalah mazhab cinta. Tetapi cinta adalah maqam tertinggi dalam perjalanan tasawuf. Dan memang, cinta sangat sulit untuk dijelaskan. Cinta—dengan memakai istilah filosof agama, Trueblood—bukanlah “a matter of contemplatoin” (sesuatu untuk direnungkan). Cinta adalah “a matter of enjoyment” (sesuatu untuk dinikmati). Karena itu, sebaiknya kita melihat tasawuf dalam artinya yang paling sederhana dan rujukannya dalam hadits-hadits Rasulullah saw. 

Tasawuf: Mazhab Ali

Ketika menjelaskan arti tasawuf, Al-Suhrawardi mengutip sabda Rasulullah saw., “Perumpamaan risalah yang aku bawa dari Allah berupa petunjuk dan ilmu seperti hujan deras yang jatuh ke bumi. Ada sebagian dari bumi yang menerima air dan menumbuhkan tanaman dan pohon-pohonan yang banyak. Ada sebagian lagi yang menyerap, menampung air, yang dengan air itu Allah memberikan manfaat kepada manusia. Dari air itulah mereka minum, menyiram, dan bercocok tanam. Ada juga bagian bumi lain yang gersang, tidak dapat menampung air, dan tidak dapat menumbuhkan tanaman. Begitulah, (yang pertama adalah) perumpamaan orang yang mengerti agama Allah dan memperoleh manfaat dari risalah yang aku bawa dari Allah berupa petunjuk ilmu. (Yang kedua adalah) perumpamaan orang yang tidak mau memerhatikan dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa.” 

Kemudian, ia menjelaskan hadits itu: “Untuk menerima apa yang dibawa Rasulullah saw., Tuhan telah mempersiapkan hati yang paling suci dan diri yang paling bersih. Maka, tampaklah perbedaan tingkat kesucian dan kebersihan karena perbedaan faidah dan manfaat. Ada hati yang kedudukannya seperti tanah yang baik, subur dengan pepohonan dan tanaman. Inilah hati orang yang memperoleh manfaat dari ilmunya untuk dirinya dan memperoleh petunjuk. Ilmunya berguna bagi dia, membimbingnya ke jalan yang lurus dengan mengikuti Rasulullah saw. Ada hati yang kedudukannya seperti tanah penyerap (akhadzat), yaitu seperti kolam, ia mengumpulkan dan menampung air. Inilah perumpamaan kebersihan diri para ulama yang zahid dari kalangan sufi dan syuyukh (guru-guru sufi) serta kesucian hati mereka. Hati mereka berlimpah dengan faedah dan jadilah mereka akhadzat. Masruq berkata, “Aku pernah bergaul dengan sahabat Nabi saw. Aku dapatkan mereka itu seperti akhadzat. Hati mereka menjadi penyimpan ilmu dan diberi kesucian pemahaman.” 

Untuk memberi contoh hati yang menyimpan, Al-Suhrawardi membawakan hadits Nabi saw. Ketika turun ayat, “Agar kamu jadikan peristiwa itu pelajaran dan agar disimpan oleh telinga yang bersifat penyimpan.” (QS 69: 12). Telinga yang bersifat penyimpanan adalah terjemahan yang kurang tepat untuk udzunun wa’iyah. Wa’iyyah bermakna mengandung, yang menyimpan, yang memeilihara dalam ingatan, yang mengingat, yang mengetahui dengan hati, yang menyadari, yang memperhatikan, yang melihat dengan jelas. 

Rasulullah saw. pernah berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Aku bermohon kepada Allah Swt agar Dia menjadikan telinga penyimpanan itu adalah telingamu.” Kata Ali, “Sejak itu, aku tidak pernah melupakan apa pun. Tidaklah mungkin bagiku untuk lupa.” Kata Abu Bakar Al-Wasithi, “Itulah telinga yang menyimpan rahasia Allah” (Lihat Abdul Qahir Al-Suhrawardi, ‘Awarif Al-Ma’araif, Darul Kitab Al-‘Arabi, Beirut, 1983: 12-13). 

Para sahabat Nabi saw., kata Masruq, mempunyai hati yang wa’iyyah. Dalama kemampuan menyimpan rahasia Allah, di antara mereka, ‘Ali bin Abi Thalib adalah puncaknya. Ia digelari Taj Al-‘Arifin atau “mahkota orang-orang arif”. Ia disebut oleh mahagurunya, yaitu Rasulullah saw. sebagai “pintu kota ilmu”. Beliau bersabda, “Aku kota ilmu dan Ali pintunya. Siapa yang menginginkan ilmu, datangilah pintunya. Siapa yang datang tidak melewati pintu, ia dihitung sebagai pencuri dan ia menjadi tentara iblis.” (Lihat Al-Hakim dalam Mustadarak, 3: 126; Al-Khatib, Tarikh Baghdad, 2:377; Al-Qanzudi Al-Hanafi, Yanabi Al-Mawaddah, hlm 183; Ibnu Hajar, Shawa’iq Al-Muhriqah, hlm 37; Ibnu Katsir, Al-Bidayah wal Nihayah, 7: 358; Al-Muttaqi Al-Hindi, Kanz Al-’Ummal, 5: 30, dan sebagainya). Ia menyimpan rahasia Allah Swt. yang disampaikan kepadanya oleh Rasulullah saw. yang mulia, atau yang ia peroleh selama perjalannya menuju Allah Swt. 

Rasulullah saw. dididik Allah Swt. secara langsung. Kepada beliau berguru Ali bin Abi Thalib. Kepada beliau dan Ali berguru para sahabat Nabi untuk memperoleh petunjuk dalam mengarungi samudera Ilahi. Abu Bakar ra. berkata, “Tinggalkan aku. Aku bukan yang paling baik di antara kamu selama ada Ali di tengah-tengah kamu.” Ucapan ini bukan hanya menunjukkan kerendahan hati yang berbicara, tetapi juga menunjukkan keutaman orang yang dibicarakannya. Berkata At-Tirmidzi, yang meriwayatkan hadist ini, “Ia (Abu Bakar) mengatakan itu karena ia tahu keadaan Ali kw., dan martabatnya dalam khilafah sebenarnya, yang pokok dan yang pasti, berdasarkan urutan, secara hakikat, meurut akal, dan atas keterikatan kepada Allah Swt. (takhallufan, wa tahaqquqan, wa ta’aqquqan, wa ta’alluqan) (Lihat Al-Bahrani, Ghayat Al-Maram, bab 53). 

Umar berkata, “Tentang Ali, aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda dan menyebut tiga hal. Sekiranya satu saja dari yang tiga itu berkenaan dengan aku, ia lebih berharga dari apa pun yang dinaungi cahaya matahari. Waktu itu, aku berada bersama Abu ‘Ubadah, Abu Bakar, dan banyak sahabat lainnya. Tiba-tiba Nabi saw. menepuk bahu ‘Ali seraya berkata, “wahai Ali. Kamu adalah Mukmin yang pertama beriman, Muslim yang pertama berisalam, dan kedudukanmu terhadapku sama seperti kedudukan Harun terhadap Musa’.” (Ibnu Ali Al-Hadid, Syarh Najh Al-Balaghah. Al-Khawarizmi juga meriwayatkan hadits ini dalam Al-Manaqib). 

Tidak cukup tempat dalam tulisan ini untuk memuat penilaian sahabat lain tentang Ali. Cukuplah di sini dikutip ucapan Mu’awiyah, yang sepanjang hidupnya memusuhi Ali. Sekali waktu, demi menyenangkan hati Mu’awiyyah, Al-Dhabi menceritakan kedatangannya dari pertemuan dengan Ali, “Aku datang kepadamu dari manusia yang paling bakhil (maksudnya Ali).” Di luar dugaan, Mu’awiyyah berkata, “Celakalah kamu. Bagaimana mungkin kamu menyebut dia manusia yang paling bakhil, padahal sekiranya ia memiliki rumah dari emas dan rumah dari jerami, ia akan memberikan rumah emasnya sebelum rumah jeraminya. Dia sendiri yang menyapu Baitul Mal dan melakukan shalat di dalamnya. Dia juga yang berbicara kepada emas dan perak, ‘Wahai kuning dan putih. Tipulah orang selainku!’ Dialah yang tidak akan meninggalkan warisan, walaupun seluruh dunia menjadi miliknya.” 

Sebenarnya, Mu’awiyah hanya mengulang apa yang pernah dilaporkan kepadanya oleh Dhahar bin Dhamrah. Ketika Dhahar berada di istana Mu’awiyah, ia diminta untuk menceritakan sifat-sifat Ali. Anda tahu, pada waktu itu, Mu’awiyah mengharuskan para khatib Jumat mengutuk Ali di mimbar-mimbar dan menghukum orang yang tidak mau melakukannya. Siapa saja yang memuji Ali, maka ia akan dianggap subversif. Bahkan diam saja, tidak mengecam Ali, akan dipandang menentang penguasa. Misalnya, Hujur bin ‘Adi dan kawan-kawannya, mereka dihukum mati (sebagian dikubur hidup-hidup) karena tidak mau mengutuk Ali pada waktu shalat Jumat. Dalam kadaan seperti itu, tentu saja Dharar keberatan. Jika ia menceritakan yang sebenarnya, ia akan dianggap memuji dan mengkultuskan Ali. Bagi yang tidak senang bunga mawar, menyebut mawar itu harus sudah dianggap pujian, padahal harum adalah sifat mawar. 

“Bebaskan saya,” kata dharar, “Tidak akan aku bebaskan,” tegas Mu’awiyah. Berkatalah Dharar, “Jika harus tetap aku ucapkan juga—demi Allah—Ali adalah orang yang cendikia lagi perkasa, berbicara dengan jernih dan menghukum dengan adil. Ilmu memancar dari segenap pribadinya. Hikmah berbicara dari seluruh dirinya. Ia menjauhkan diri dari dunia dengan segala perhiasannya. Ia menyendiri di malam hari bersama kegelapannya. Ia—demi Allah—banyak berurai air mata dan banyak berpikir. Ia membolak-balik tangannya seraya meneysali dirinya. Ia senang pakaian yang kasar dan makanan yang keras. Ia, demi Allah, seperti orang kebayakan. Jika kita minta tolong, ia memenuhinya. Jika kita undang, ia mendatanginya. Walaupun begitu, demi Allah, walaupun ia dekat dan akrab dengan kami, kami tidak sanggup berbicara kepadanya karena kewibawannya. Kami tak mampu mulai berkata karena kemuliannya. Jika ia tersenyum, senyumnya bagaikan untaian mutiara. Ia memuliakan ahli agam. Ia mencintai orang miskin. Di hadapannya, yang kuat tidak mau melakukan kebatilan, dan yang lemah tidak putus asa akan keadilan. Aku bersaksi kepada Allah, aku pernah menyaksikannya dalam bberapa penggalan malam. Ketika malam sudah menjulurkan tirainya, gemintang sudah tenggelam, ia berada di mihrab shalatnya. Ia memegang janggutnya. Ia menggigil seperti orang sakit yang menderita demam. Ia menangis seperti tangisan orang yang menderita. Seakan-akan masih kudengar ia berkata, ‘Hai dunia, tipulah orang selainku. Di depanku kamu berhias? Di hadapanku kamu mencumbu? Menjauhlah dariku. Aku sudah mentalakmu tiga kali. Tidak mungkin lagi rujuk. Usiamu singkat. Hidupmu rendah. Bahayamu besar. Aduh, betapa sedikitnya bekal, alangkah jauhnya perjalanan, dan betapa sepinya jalan’.” 

Dalam keluhan Ali, “Aduh, betapa sedikitnya bekal, alangkah jauhnya perjalanan, dan betapa sepinya jalan” tercermin makna tasawuf. Al-Suhrawardi menghimpun banyak definisi tentang tasawuf dan mengakhirinya dengan mengatakan, “Pendapat para guru sufi tentang definisi tasawuf lebih dari seribu. Akan terlalu panjang mengutipnya.” Di sini, cukuplah bagi kita menjelaskan tasawuf tidak dengan definisi, tetapi dengan perilaku dan ucapan Ali. Lalu mengapa tidak mencontoh Rasulullah saw. saja secara langsung? ** (bersambung)