Kali ini saya ingin memperkenalkan tafsir Muqatil bin Sulaiman. Dalam berbagai kesempatan diskusi tentang tafsir, saya kerap mengatakan bahwa Muqatil merupakan mufasir paling awal yang karya utuhnya terpelihara hingga sekarang. Kita tak punya karya tafsir lebih awal darinya.
Namun, biasanya saya tak menambahkan apa yang menjadi ciri-khas tafsir ini dan kenapa tidak dikenal di dunia Muslim saat ini, termasuk di Indonesia. Nah, saya akan menjawab dua pertanyaan apa dan kenapa tersebut, dan berharap status ini mendorong kita menjadi pembaca yang baik.
Muqatil hidup pada paruh pertama abad ke-2 H. Dia meninggal tahun 150 H/767 M, persis tahun yang sama dgn meninggalnya Ibnu Ishaq. Jika Ibnu Ishaq merupakan penulis sirah (biografi Nabi) paling awal yang karyanya sampai kepada kita sekarang, prestasi yang sama dipegang Muqail dalam bidang tafsir.
Bedanya, sirah Ibnu Ishaq berhasil menjadi riwayat hidup Nabi yang standar, bahkan bisa dikatakan resmi (official), dan mempengaruhi narasi hidup Nabi di kalangan Muslim hingga saat ini. Sebaliknya, tafsir Muqatil justru ditinggalkan dan diabaikan, kendati banyak hal yang sebenarnya dapat kita pelajari darinya.
Sebelum dilanjutkan dengan pertanyaan “kenapa,” baiknya diketahui apa yang unik dari tafsir Muqatil ini. Fakta bahwa ini adalah tafsir paling awal seharusnya sudah cukup untuk mendorong kita mempelajarinya secara serius.
Tafsir ini ditulis sebelum muncul mazhab-mazhab fikih dan sekte-sekte teologi resmi atau, lebih tepatnya, ketika berbagai mazhab dan sekte itu masih dalam periode formasi/pembentukan. Menarik untuk dilihat apa yang dikatakan seorang Muslim sebelum adanya (perdebatan) mazhab-mazhab teologis yang sengit dan/atau sebelum sekat-sekat identitas keberagamaan begitu meruncing.
Ketika suatu saat saya menulis soal siapa anak Nabi Ibrahim yang hendak disembelih, tafsir pertama yang saya lihat ialah Muqatil. (Silakan google tulisan saya tentang itu.) Menarik dicatat, ternyata Muqatil mengatakan secara eksplisit: Ishaq. Kalau kita tanya umat Muslim sejagad saat ini, pasti jawabannya ialah Isma’il.
Dari segi bentuk, tafsir Muqatil ini bisa dilihat sebagai model tafsir yang masih “primitif.” Tak ada penjelasan panjang-lebar. Yang dilakukan Muqatil hanya berupa “glossing” atau memberikan padanan kata. Dalam bahasa akademisnya disebut “paraphrastic exegesis,” yakni tafsir yang memberikan makna dalam bentuk kata lain.
Ada dua keunikan lain dari tafsir Muqatil. Pertama, jika kita membaca tafsir ini dalam bentuk manuskrip yang belum diedit, maka sulit untuk membedakan antara teks al-Quran dan tafsirnya. (Kalau dalam kitab yang sudah diedit kan diberi tanda utk membedakan antara ayat dan tafsirnya.) Muqatil punya keahlian merangkai kata sehingga teks al-Quran dan tafsirnya tampak mengalir seolah menjadi satu cerita yang berkesinambungan. Ciri unik ini pertama kali diobservasi oleh John Wansbrough dan disebutnya sebagai “haggadic,” yakni one continuous story.
Keunikan kedua ialah kebiasaan Muqatil mengomentari semua hal dalam al-Quran. Hampir tak ada yg luput dari perhatiannya. Ketika al-Quran mengatakan “wa-qala al-kafiruna” (orang2 kafir berkata), Muqatil akan menyebutkan nama-nama orang kafir yang dimaksud. Atau, “qala al-yahud” (orang2 Yahudi berkata), Muqatil menyebut nama-nama orang Yahudi dimaksud.
Bahkan, dia menyebut nama anjing yang tinggal di gua bersama para pemuda yang tertidur ratusan tahun dalam surat al-Kahfi. Ayat 18: “dan anjing mereka” (dikomentari Muqatil) namanya Qimthir.
Dari mana Muqatil tahu bahwa nama anjing itu “Qimthir”? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, Muqatil dituduh oleh lawan-lawannya sebagai pembohong. Dia suka mengatakan apa saja tanpa dasar.
Disebutkan oleh lawan-lawannya: suatu saat, ada orang datang kepadanya mengatakan bahwa dia ditanya orang tentang warna anjing yang menemani para pemuda di gua. Muqatil malah mengajarinya supaya bohong: “Kalau lo bilang “kuning” atau “putih,” kan ndak ada yang bisa membantah. Wong gak ada yang tahu juga.”
Dalam artikel “Muqatil b. Muqatil and anthropomorphism” yang terbit beberapa tahun lalu di Studia Islamica (jurnal ini terbit di Jerman, bukan “Studia Islamika” PPIM UIN-Jakarta), saya mendiskusikan banyak contoh tuduhan yang dilemparkan lawan-lawan Muqatil, terutama kalangan muhaddits yang hidup beberapa generasi setelah masa Muqatil.
Dia dituduh hendak memfabrikasi hadits-hadits untuk kepentingan penguasa, baik Umayyah maupun Abbasiyah. Tak dapat disangkal, Muqatil memang punya kedekatan dengan para penguasa, baik ketika masih di Kharasan pada masa dinasti Umayyah atau ketika pindah ke Basrah saat pemerintahan Abbasiyah.
Yang menjadi masalah ialah banyak ulama Muslim, termasuk di zaman modern, hanya bersandar pada apa yang dikatakan lawan-lawan Muqatil, dan tidak mempelajari karya-karya Muqatil sendiri. Padahal, dalam iklim sektarian yang panas, berbagai tuduhan dilemparkan untuk mendiskreditkan musuh/lawan. Dan kita tak tahu apakah tuduhan itu punya dasar.
Tak heran jika Muqatil begitu dibenci. Coba baca apa yang dikatakan “ahli tafsir” modern seperti Husain al-Dzahabi. Katanya, karya-karya Muqatil, termasuk tafsirnya, penuh dengan kemungkaran. Ini dikatakan oleh Dzahabi yang bukunya “al-tafsir wa’l-mufassirun” dijadikan diktat di Universitas al-Azhar!
Hingga saat ini kaum Muslim (termasuk di Indonesia) masih menjadi korban tuduhan-tuduhan terhadap Muqatil, yang sebenarnya dilancarkan oleh lawan-lawannya dalam iklim polemik dahulu, tanpa memahami konteksnya. Dalam suasana panas, seperti dapat dibayangkan, masing-masing kelompok gencar menuduh kelompok lain.
Sikap menjauhi tafsir Muqatil sungguh tidak masuk akal. Jika pun benar Muqatil pernah berbohong dalam suatu periwayatan, tidak berarti seluruh karyanya adalah sampah belaka. Yang saya tahu, ulama-ulama kita dahulu lebih fair dan adil dalam bersikap ketimbang kebanyakan ulama zaman modern.
Coba dengarkan pernyataan imam Ahmad bin Hanbal. Ketika ditanya tentang Muqatil, dia menjawab: “Beberapa karyanya dipersoalkan, namun saya sendiri melihat dia punya pengetahuan yang mendalam tentang al-Quran.” Dengarkan juga pujian imam Syafi’i: “Barangsiapa yang hendak belajar tafsir, dia perlu mengkaji Muqatil.” Syafi’i membandingkan pengetahuan tafsir Muqatil dengan pemahaman fikihnya Abu Hanifah.
Apakah imam Ahmad dan imam Syafi’i memuji tafsir Muqati tanpa membacanya? Pasti tidak! Keduanya membaca dgn lensa keilmuan untuk memahami. Bukan dengan semangat untuk menyebarkan kebencian. Jangan menjadi pembaca dgn katamata kebencian karena itu adalah ciri manusia berpikiran kerdil! *** (Munim Sirry)