Saya hendak mengulas soal anjing beberapa pemuda yang tertidur ratusan tahun dalam gua sebagaimana dikisahkan al-Qur’an surat al-Kahfi, terutama ayat 18. Saya kurang tertarik pada apa nama dan warna anjing, karena pertanyaan itu memang bukan persoalan yang menghadirkan problem hermeneutik bagi kalangan mufassirun.
Yang menjadi masalah ialah kata “kalb” (yang memang berarti “anjing”) dalam ayat itu harus dimaknai anjing atau bukan. Bahkan, jikapun harus dipahami sebagai “anjing,” anjing macam apakah itu? Anjing berburu, peliharaan, atau apa? Dan, siapa pemiliknya?
Pertanyaan2 tersebut menjadi problem penafsiran karena, bagi banyak kaum Muslim, anjing merupakan binatang “bermasalah.” Dianggap najis atau, sekurang-kurangnya, tidak disukai. Beberapa hadis mengindikasikan itu, termasuk hadis tentang malaikat tidak mau masuk ke rumah – termasuk kediaman Nabi! – di mana di dalamnya ada anjing.
Maka, pertanyaan retorik berikutnya: Bagaimana mungkin para pemuda saleh dalam gua tersebut dijaga oleh anjing yang najis? Atau, bagaimana mungkin mereka memiliki anjing?
Sebelum dilanjutkan, saya perlu sebutkan, kenyataan bahwa al-Qur’an mengadopsi legenda Kristen yang biasa dikenal dengan “Seven Sleepers of Ephesus” sudah didiskusikan banyak sarjana. Barangkali orang yg paling detil mendiskusikan “ashhab al-kahfi” dan “seven sleepers” ialah sarjana Jerman Michael Huber dalam karyanya yg terbit thun 1910.
Di kalangan Gereja Barat, legenda itu dikenal dengan tujuh orang Efesus yang tertidur ratusan tahun di gua, sementara di Gereja Timur dikenal dgn kisah pemuda Efesus. Kemungkinan legenda itu pertama ditulis dalam bahasa Yunani, namun kisah yang beredar pada masa Nabi hingga sekarang ditulis dalam bahasa Suryani, dan diatribusikan kepada Ya’qub Srugaya, yang hidup pada abad ke-5 dan 6 (meninggal thn 521 M). Jika ada yang berminat, suatu saat saya akan ulas perbandingan antara versi surat al-Kahfi dan Suryani-nya.
Nah, kembali pada anjing ashhab al-kahfi itu. Sejumlah kitab tafsir yang sempat saya lihat hari ini memang memperlihatkan adanya kesulitan memahami anjing itu, dengan asumsi bahwa anjing adalah binatang najis atau perlu dihindari. Sebagian besar mufassirun menganggap ayat itu menunjuk pada anjing beneran (al-kalb haqiqatan), tapi beberapa yang lain menghindari pemaknaan tersebut.
Zamakhshari, misalnya, memaknai kata “kalb” dengan mengutip pandangan imam Ja’far al-Shadiq. Yakni, bhw “kalb” (anjing) dibaca “kalib” (pemilik anjing). Artinya penjaga di pintu gua bukanlah anjing, melainkan seorang pemilik anjing.
Saya cek dalam “Mu’jam al-qira’at al-Qur’aniyah” disusun oleh Ahmad Umar dan Abd al-Mukarram, Muhammad al-Baqir, imam Sy’ah lain, membacanya “kali’uhum” (bukan kalbuhum), yang berarti “penjaga mereka.” Lagi-lagi, bacaan ini menghindari penisbatan anjing sebagai penjaga pemuda saleh dalam gua.
Kesulitan hermeneutik lebih tampak jelas lagi terekam dalam “Tafsir al-Bahr al-Muhith” karya Abu Hayyan al-Andalusi. Mufassir abad ke-7 H/14 M ini merekam dua bacaan “kalib” dan “kali” tersebut. Namun, lebih dari itu, dia mengakui bahwa meskipun “kalb” bisa bermakna hewan yang sudah umum diketahui (hayawan ma’ruf), kata itu juga dimaknai bermacam-macam, hingga ada yang memaknainya sebagai “harimau” (asad), bahkan “seorang pemasak” (thabbakh) yang mengikuti pemuda saleh tersebut.
Saya kira sampai di sini sudah tampak bagaimana para mufassirun mengembangkan berbagai strategi penafsiran. Itu yang tadi saya maksud bahwa, bagi banyak mufassirun, keberadaan kata “kalb” dalam ayat 18 itu menghadirkan problem hermeneutik tertentu. Saya menggunakan kata “problem” bukan berarti ada sesuatu yang salah. “Problem” di sini maksudnya ialah suatu masalah hermeneutik yang perlu direnungkan secara serius.
Jika apa yang saya sebutkan di atas dirasa tidak cukup, bacalah tafsir al-Qurtubi. Seperti saya sertakan ss-nya, Qurtubi mendiskusikan kata “kalb” dalam ayat 18 hingga menghabiskan 2 halaman. Dia mulai dengan mengatakan: Ada empat masalah, termasuk – jikapun diartikan anjing – anjing macam apa dan milik siapa.
Perhatian besar yang diperlihatkan Qurtubi cukup masuk akal, sebab tafsirnya ini memang dimaksudkan untuk memberikan penjelasan hukum. Jika anjing dianggap hewan bermasalah atau bahkan najis, maka implikasi hukumnya cukup serius. Qurtubi mengutip sebuah pandangan bahwa “kalb” di situ tidak merujuk pada nama hewan, melainkan seorang dari mereka yang menjadi penjaga sehingga seolah-oleh berperan sebagai anjing. Saya kira itu yang menjelaskan kenapa Qurtubi merasa perlu mengelaborasi aspek hukum dari keberadaan anjing dalam kisah tersebut sedemikian rupa.
Dalam “al-Muharrar al-wajiz,” Ibnu Athiyyah mengatakan mayoritas mufassirun berpendapat bhw anjing itu milik salah seorang ashhab al-kahfi. Namun, dia menambahkan, pendapat kalangan minoritas ialah anjing itu milik seorang pengembala. Ibnu Athiyyah menggunakan kata “qila” (dikatakan), suatu frase yang digunakan untuk menunjukkan pendapat non-mainstream.
Namun, berbeda dengan Ibnu Athiyyah, Ibnu Katsir justeru mengesankan pendapat “anjing itu milik salah seorang pemuda” sebagai pandangan minoritas. Dia juga mengutip pandangan bahwa anjing itu milik seorang pemasak dari kerajaan. Tampak sekali Ibnu Katsir berusaha menjauhkan keterkaitan anjing dengan pemuda ashhab al-kahfi.
Karena itu, Ibnu Katsir menegaskan bhw frase al-Qur’an “sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua” berarti anjing itu tidak masuk ke dalam gua. Hanya menjaga di luar pintu gua saja. Dia mengutip hadis bahwa malaikat tidak berkenan masuk ke dalam rumah di mana di dalamnya ada anjing. Kemudian dia menambahkan, dalam hadis sahih: [juga tidak ada] gambar, orang junub, atau orang kafir.
Jadi, urusan anjing pemuda ashhab al-kahfi itu ternyata cukup serius bagian banyak mufassirun. Tentu tidak semuanya. Saya lihat Thabathaba’i dalam tafsir “al-Mizan” merasa tidak “terganggu” dengan kata “kalb” dalam ayat itu. Dia menafsirkan bagian ayat 18 seolah ndak ada masalah apa-apa.
Bagi pembelajar tafsir seperti saya, baik dianggap menghadirkan problem hermeneutik atau tidak sama-sama menarik diteliti: Apa asumsi dasar dari keduanya dan sejauhmana pandangan teologis yang dianut mufasir berpengaruh terhadap corak penafsirannya. Dan, ternyata, korelasinya sangat jelas.
Saya akan menutup dengan mengatakan, dalam legenda bahasa Suryani, memang tidak disebutkan kata “anjing”, melainkan “penjaga” yang melindungi tubuh para pemuda dari srigala, sementara ruh mereka ada di langit. Pesan utama kisah “seven sleepers” ialah soal kebangkitan, yakni kebangkitan setelah mati.
Selamat menikmati akhir pekan, kawan2! *** (Munim Sirry)