08/02/24

Kesamaan Nama-nama Putra Ali bin Abi Thalib as

  “Nahnu abnaa’u al-dalil, ayna ma maala, namil.” Kalimat itu akrab bagi para pengikut mazhab Ahlulbait as. Kami ini putra-putra bukti, kemana pun ia pergi kami ikuti. Ia dinisbatkan pada Imam ke-6, Imam Jafar Shadiq as. Riwayat itu menegaskan agar kita tidak mengikuti sesuatu tanpa penelusuran, tanpa penelaahan, dan tanpa keyakinan. 

Tampaknya sejak awal pengelompokkan kaum Muslim dalam dua bagian pasca kekhalifahan Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib as, ada satu kelompok yang kerap dihujani berbagai fitnah dan tuduhan. Mereka dibesarkan dalam keharusan menyediakan bukti. Mereka tumbuh dengan kesiapan berargumentasi. Apa pasal? Mereka sasaran tudingan, mereka dihantam isu dan dipaksa menjelaskan. 

Kita sebut saja dua kelompok pasca Amirul Mu’minin Ali as itu, Hasani dan Umawi. Yang satu mengikuti Imam Hasan putra khalifah Ali as, yang lainnya mengikuti Mu’awiyyah bin Abi Sufyan pendiri kekhalifah Umayyah. Karena Dinasti Umayyah dalam sejarah kemudian berkuasa, kelompok yang pertama yang dikejar-kejar, dipersekusi, bahkan dicaci maki. Keyakinan mereka karenanya harus dipertahankan dengan berbagai bukti: baik ‘aqli maupun naqli. Misalnya, kelompok Hasani berpendapat Nabi Muhammad saw berwasiat. Kelompok Umawi mengatakan Nabi Muhammad saw tidak berwasiat. Ajaibnya, sepanjang sejarah, bukti harus diberikan oleh kelompok Hasani. Kelompok Umawi tidak perlu menyediakan bukti bahwa Nabi tidak berwasiat. Kelompok Hasani shalat dengan tangan lurus dan di atas tanah. Mereka harus menyediakan bukti. Kelompok Umawi shalat dengan tangan sedekap dan di atas sajadah. Tak perlu ada bukti sejarah. 

Meski kehadiran dua kelompok itu adalah dialektika sejarah, menarik untuk melihat satu bagian kecil dari komponen dialektika itu. Menurut Tan Malaka dalam Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), dialektika mengandung empat hal: waktu, pertentangan, timbal balik dan seluk beluk pertalian. Ambil contoh: posisi para sahabat Nabi Muhammad saw. Menurut mazhab Umawi, pengikut mazhab Hasani—dianggap—merendahkan kehormatan para sahabat Nabi. Di atas semuanya: khalifah Abu Bakar dan khalifah Umar. Tuduhan itu itu mereka lakukan tanpa bukti. Padahal, menurut mereka, dalam sejarah, khalifah Ali bin Abi Thalib as justru menamai putra-putranya dengan nama kedua khalifah itu. Bahkan, satu di antara putri Amir al-Mu’minin as, Ummu Kultsum, dinikahkan dengan khalifah Utsman bin Affan. Bukankah ini tanda kedekatan dan kecintaan? Lagi-lagi, mazhab Hasani harus memberikan bukti untuk menjawabnya.

Pertama, jika Ali hendak menamai putranya dengan nama itu, maka ia menjadi nama asli, bukan gelaran (kuniah). 

Kedua, gelaran (kuniah) kadang diberikan oleh orang lain, bukan oleh ayah sendiri. Terkadang juga oleh yang bersangkutan, mengingat hal-hal yang ada di sekitarnya. 

Ketiga, menurut riwayat bahwa nama putra khalifah Ali yang dipanggil Abu Bakar adalah Abdullah. Usianya 25 tahun ketika syahid di Padang Karbala (Al-Isfahani, w. 356 H, Maqatil al-Thalibiyyin 1:22). 

Keempat, nama Umar dan Utsman adalah nama familiar di bangsa Arab waktu itu. Nama (cukup) pasaran. Khalifah Umar juga terkenal sering mengganti nama orang lain dengan namanya. Wa kaana Umar bin Khattab samma Umar bin Ali bi ismihi (al-Baladzuri w.279 H, Ansab al-Asyraf 1:297). Al-Dzahabi w.748H, (Siyar A’lam al-Nubala, 4:134, tahqiq Syu’aib al-Arna’uth, Penerbit Risalah Beirut, cetakan 9, 1413 H): wa mawliduhu fi ayyami ‘umar fa ‘umar samaahu bi ismihi. Lahirnya ia (putra Ali) pada zaman Umar, dan Umar memberinya nama dengan namanya.  Kebiasaan mengganti nama ini tercatat dalam sejarah. Beberapa di antaranya: (1) Ibrahim bin Harits bin Abd al-Rahman. “Kaana abuuhu samaahu Ibraahim fa ghayara Umar ismahu,” Ayahnya menamainya Ibrahim, dan Umar mengubah namanya menjadi Abdur Rahman (Rujuk Al-Asqalani, Al-Ishabah 5:29); (2)  Al-Ajda’ bin Malik bin Umayyah al-Hamadani al-Wadi’i. Umar menggantinya dengan Abdurrahman (Al-Asqalani, Al-Ishabah 1:186); (3)   Tsa’labah bin Sa’ad menjadi Mu’alla (Abu Mundzir Salamah bin Muslim  w.511 H, Al-Ansab 1:250). Tentang nama Umar yang cukup pasaran, Ibn Hajar Al-Asqalani dalam al-Ishabah menulis bab khusus dengan nama “Dzikru man ismuhu ‘Umar”. Berikut di antaranya: Umar bin Hikam al-Sulami; Umar bin Hikam al-Bahzi; Umar bin Sa’ad abu Kasybah al-Anmari; Umar bin Sa’id bin Malik; Umar bin Sufyan bin Abd al-Asad; Umar bin abu Salamah bin Abd al-Asad; Umar bin Ikrimah bin Abu Jahal; Umar bin Amar al-Laytsi; Umar bin Umair  bin Uday; Umar bin Umair (ghair mansub); Umar bin Auf al-Nakha’i; Umar bin Lahiq; Umar bin Malik; Umar bin Muawiyyah al-Ghadhiri; Umar bin Wahab al-Tsaqafi; Umar bin Yazid al-Ka’bi; Umar al-Aslami; Umar al-Jum’i; Umar al-Khats’ami; Umar al-Yamani; Umar bin al-Khattab.[1]

Kelima, penamaan Utsman pada putra khalifah Ali dinyatakan oleh beliau sendiri, “Innama sammaituhu  bi ismi akhi Utsman bin Mazh’un.” Aku namai dia dengan nama saudaraku Utsman bin Mazh’un (Al-Isfahani, Maqatil al-Thalibiyyin, 1:23). Utsman bin Mazh’un adalah sahabat Nabi Muhammad saw yang terkenal karena kebaikan akhlaknya, penyayang dan pengasih pada anak-anaknya. Hingga Nabi Muhammad saw mengebumikan Sayyid Ibrahim putranya di samping sahabat yang dicintainya itu.

Seperti nama Umar, Ibn Hajar pun mendaftar 26 nama Utsman dari sahabat Nabi (Al-Ishabah 4:447-463), yaitu Utsman bin Abu Jahm al-Aslami; Utsman bin Hakim bin abu al-Awqash; Utsman bin Hamid bin Zuhair bin al-Harits; Utsman bin Hanif (bil muhmalah); Utsman bin Rabi’ah bin Ahban; Utsman bin Rabi’ah al-Tsaqafi; Utsman bin Said bin Ahmar; Utsman bin Syamas bin al-Syarid; Utsman bin Thalhah bin Abu Thalhah; Utsman bin abu al-Ash; Utsman bin Amir bin Amar; Utsman bin Amir bin Mat’ab; Utsman bin Abdi Ghanam; Utsman bin Ubaidillah bin Utsman; Utsman bin Utsman bin al-Syarid; Utsman bin Utsman al-Tsaqafi; Utsman bin Amr bin Rifa’ah; Utsman bin Amr al-Anshari; Utsman bin Amr bin al-Jumuh; Utsman bin Qais bin abu al-Ash; Utsman bin Mazh’un; Utsman bin Mu’adz bin Utsman; Utsman bin Naufal Za’m; Utsman bin Wahab al-Makhzumi; Utsman al-Juhni; dan Utsman bin Affan.

Tidak satu pun nama dikhususkan untuk satu orang saja, kecuali lafaz jalalah Allah. Nama-nama lainnya, termasuk Abu Bakar, Umar, atau Utsman adalah nama yang memang banyak digunakan oleh orang Arab waktu itu.

Dalam Mazhab Ahlulbait as sendiri banyak sahabat Imam yang bernama itu. Misalnya di antara sahabat Imam Muhammad al-Baqir as dan Imam Jafar Shadiq as yang bernama Abu Bakar adalah Abu Bakar Hadhrami, Abu Bakar bin Abu Sammak, Abu Bakar ‘Iyasy, dan Abu Bakar bin Muhammad. Adapun yang bernama Umar: Umar bin Abdullah al-Tsaqafi, Umar bin Qais, Umar bin Aban, Umar bin abu Hafash, Umar bin abu Syu’aibah, Umar bin Adzinah, Umar bin Barra, Umar bin Hafash, Umar bin Hanzhalah, Umar bin Salamah. Yang bernama Utsman: Utsman A’ma Bashari, Utsman Jabalah, Utsman bin Ziyad, Utsman Isbahani, Utsman bin Yasid, Utsman Nawa. Sebagian di antara mereka sezaman dengan Imam Muhammad al-Baqir as, sebagian lagi dengan Imam Ja’far as. Mereka para sahabat yang meriwayatkan hadis para imam itu. 

Sebenarnya, nama itu netral. Tiada kaitannya dengan sosok. Nama seperti Yazid yang bagi para pengikut mazhab Ahlulbait as identik dengan pembantaian keluarga Nabi Muhammad saw di Karbala, atau Mu’awiyyah ayahnya yang berperang dengan Imam Ali as termasuk juga di antara para periwayat hadis mazhab Ahlulbait as. Yazid bin Hatim adalah sahabat Imam Sajjad as, Yazid bin abd al-Mulk, Yazid Shaig, dan Yazid Kinasi tercatat sebagai sahabat Imam Baqir as. Ada juga Yazid al-Syi’r, Yazid bin Khalifah, Yazid bin Khalil, Yazid bin Umar bin Thalhah, Yazid bin Farqad, Yazid Mawla Hikam adalah di antara sahabat dan periwayat hadis Imam Shadiq as. Bahkan satu di antara nama sahabat Imam Jafar Shadiq as ada yang bernama Syimr bin Yazid (Syimr adalah pembunuh Imam Husain as di Karbala, Yazid bin Mu’awiyyah orang yang memerintahkan pembunuhan itu).[2]

Apakah penamaan itu menunjukkan hubungan cinta antara para Imam Ahlulbait as itu dengan orang semisal Syimr, Yazid, dan Mu’awiyyah? Tidak otomatis. Bila penamaan nama wajib didasarkan pada kecintaan, maka semua orang Islam harus memberi nama putra dan putrinya dengan nama-nama Rasulullah saw. Sesuatu yang sebenarnya dianjurkan ini justru punya catatan menarik dalam sejarah. Khalifah Umar bin Khaththab pernah meminta dan menulis surat pada beberapa provinsi di zaman pemerintahannya agar orang tidak memberi nama putranya dengan nama Rasulullah saw. Abu Hasan Ali bin Khalaf al-Qurthubi dan Ibn Hajar al-Syafi’i al-Asqalani dalam syarah terhadap Shahih Bukhari menulis kalimat ini: kataba ‘Umar ila ahli al-Kufah an laa tusammu ahadan bi ismi Nabiy.[3]

Badruddin Mahmud bin Ahmad al-Uyaini (w. 855 H.) dalam ‘Umdat al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, 15:39, menulis: Umar ra menulis pada penduduk Kufah agar tidak menamai seorang pun dengan nama Nabi. Ia (juga) memerintahkan penduduk Madinah untuk mengganti nama anak-anak mereka yang bernama Muhammad hingga sekelompok sahabat meminta izin pada Umar untuk tidak melakukannya, dan mereka pun tidak melakukannya.

Dalam sejarah, tercatat pula Umar bin Abu Salamah Qursyi putra Ummu Salamah ra yang kemudian menikah dengan Rasulullah Saw. Hubungan Umar bin Abu Salamah sangat dekat dengan Ali bin Abi Thalib as. Apakah karena hubungan ini ada putra Sayyidina Ali as yang dikenal dengan Umar? Adakah karena kedekatan? Atau misalnya, putra Imam Hasan as yang bernama ‘Amar. Apakah kita bisa mengatakan ia dinamai ‘Amar karena kedekatan dengan ‘Amar bin Hisyam (Abu Jahal) atau ‘Amar bin Yaasir? Tentu kita tidak selalu dengan segera mengambil kesimpulan dan menghubungkannya seperti itu.[4]

Lalu bagaimana pandangan khalifah Ali bin Abi Thalib as pada para sahabat itu? Imam Ali mendukung kemuliaan Islam dalam bantuan yang ia berikan pada ketiga khalifah. Terkenal ucapan khalifah Umar, “Sekiranya tidak ada Ali, celakalah Umar”[5] karena Imam Ali membantu khalifah Umar dalam banyak perkara. Imam Ali as pula yang mengirimkan kedua putranya, Imam Hasan as dan Imam Husain as untuk menjaga rumah khalifah Utsman pada saat terjadi pengepungan. Tentu silang pendapat biasa terjadi, seperti yang disebutkan bahwa “Umar bin al-Khattab pada Abbas dan Ali: Ketika wafat Nabi saw berkata Abu Bakar, aku wali (redaksi hadisnya menggunakan kata ‘wali’ artinya pemimpin) Rasulullah saw, dan kalian berdua (Ali dan Abbas) datang meminta warisanmu dan warisan putra saudaramu dan meminta warisan perempuannya dari ayahnya. Maka berkatalah Abu Bakar, Rasulullah saw bersabda: Apa yang kami tinggalkan adalah sedekah. Maka kalian berdua (Ali dan Abbas) memandangnya (Abu Bakar) sebagai pendusta, pendosa, ingkar janji dan pengkhianat. Dan sesungguhnya Allah Swt tahu ia adalah seorang yang jujur, benar, berbuat baik, yang memberi petunjuk, yang mengikuti kebenaran. Kemudian ia meninggal dunia. Dan akulah wali Rasulullah Saw dan wali Abu Bakar. Maka kalian berdua memandangku pendusta, pendosa, ingkar janji dan pengkhianat. Atau Shahih al-Bukhari yang menyebutkan ungkapan Sayyidina Ali as pada khalifah Abu Bakar. “Wa lakinnaka istabdadta ‘alaina bil amri wa kunna nara liqaraabatina min Rasulillahi (S) nashiban.”[6]

Dalam riwayat yang lain yang juga bersumber dari Syaikhain, perbedaan pendapat itu mengemuka. Maka ia mengirim (surat) pada Abu Bakar agar datanglah kepada kami dan jangan datang bersamamu seorang pun karena ketidaksukaannya akan kehadiran Umar.[7]

Dengan dinamika naik turunnya hubungan di antara para sahabat itu dapatkah kita menarik kesimpulan bahwa penamaan dan penggelaran itu berhubungan satu dengan yang lainnya. Bila dasarnya adalah kecintaan, mengapa khalifah Abu Bakar, khalifah Umar, khalifah Utsman tidak memberi nama putra-putra mereka dengan Hasan dan Husain, nama putra-putra Rasulullah saw? Bukankah saling mencintai takkan bertepuk sebelah tangan? ***

 



[1] Ibn Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah (Beirut: Dar al-Jabal, 1412 H.) jilid 4, halaman 587-597.

[2] Rujukan tentang nama-nama di atas dapat dilihat pada Muhammad bin Ali al-Ardabili al-Ghurawi (w. 1101 H), Jami’ al-Ruwaat al-Isytibaahaat ‘an al-Thuruq wa al-Isnad, jilid 1, halaman 402. 

[3] Al-Qurthubi (w. 449 H); Syarah Shahih al-Bukhari 9:344 dengan tahqiq dari abu Nu’aim Yasir bin Ibrahim, penerbit al-Rusyd, Riyadh, Saudi Arabia cetakan kedua tahun 1423 H; Ibn Hajar al-Asqalani, w. 852 H; Fath al-Baari Syarh Shahih al-Bukhari 10:572 dengan tahqiq dari Muhibuddin al-Khathib, penerbit Dar al-Ma’rifah, Beirut. 

[4] Syaikh Mufid  (w. 413 H), al-Irsyad fi ma’rifati hujajillah ‘alal ‘ibad (Beirut: Muassasah Ali al-Bait as: Daar al-Mufid, 1414 H.) jilid 2, bab dzikru waladi al-Hasan bin Ali as, halaman 20.

[5]  Kitab Fadhail al-Shahabah Imam Ahmad, 1065; Sunan Abi Dawud, 3823; Kanz al-'Ummal, 5: 833.

[6] Muslim bin al-Hajjaj abu al-Husain al-Qusyairi al-Nisyaburi dalam Shahihnya, 3:1378, Kitab al-Jihad wa al-Sair, bab Hukum Fai, tahqiq Muhammad Fuad abd al-Baqi (Beirut: Daar Ihya Turats Arabi, t.t.). Dalam al-Mawsu’ah sebuah program di AppStore, ia ditulis sebagai hadis nomor 3294, atau 3308 pada library.islamweb.net. Rujuk juga pada Muhammad bin Ismail Abu Abdillah (w. 256 H.) Shahih al-Bukhari 4: 1549, halaman 3998, Kitab al-Maghazi, Bab Ghuzwah Khaibar, tahqiq Dr. Mustafa Dib al-Bagha (Beirut: Daar Ibn Katsir, 1407 H.).

[7] Shahih al-Bukhari, 4:1549, Kitab al-Maghazi, Bab Ghuzwah Khaibar.