Tampaknya sejak awal pengelompokkan kaum Muslim dalam dua bagian pasca kekhalifahan Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib as, ada satu kelompok yang kerap dihujani berbagai fitnah dan tuduhan. Mereka dibesarkan dalam keharusan menyediakan bukti. Mereka tumbuh dengan kesiapan berargumentasi. Apa pasal? Mereka sasaran tudingan, mereka dihantam isu dan dipaksa menjelaskan.
Kita
sebut saja dua kelompok pasca Amirul Mu’minin Ali as itu, Hasani dan Umawi.
Yang satu mengikuti Imam Hasan putra khalifah Ali as, yang lainnya mengikuti
Mu’awiyyah bin Abi Sufyan pendiri kekhalifah Umayyah. Karena Dinasti Umayyah
dalam sejarah kemudian berkuasa, kelompok yang pertama yang dikejar-kejar,
dipersekusi, bahkan dicaci maki. Keyakinan mereka karenanya harus dipertahankan
dengan berbagai bukti: baik ‘aqli maupun naqli. Misalnya, kelompok Hasani
berpendapat Nabi Muhammad saw berwasiat. Kelompok Umawi mengatakan Nabi Muhammad
saw tidak berwasiat. Ajaibnya, sepanjang sejarah, bukti harus diberikan oleh
kelompok Hasani. Kelompok Umawi tidak perlu menyediakan bukti bahwa Nabi tidak
berwasiat. Kelompok Hasani shalat dengan tangan lurus dan di atas tanah. Mereka
harus menyediakan bukti. Kelompok Umawi shalat dengan tangan sedekap dan di
atas sajadah. Tak perlu ada bukti sejarah.
Meski
kehadiran dua kelompok itu adalah dialektika sejarah, menarik untuk melihat
satu bagian kecil dari komponen dialektika itu. Menurut Tan Malaka dalam Madilog
(Materialisme, Dialektika, dan Logika), dialektika mengandung empat hal:
waktu, pertentangan, timbal balik dan seluk beluk pertalian. Ambil contoh:
posisi para sahabat Nabi Muhammad saw. Menurut mazhab Umawi, pengikut
mazhab Hasani—dianggap—merendahkan kehormatan para sahabat Nabi. Di atas
semuanya: khalifah Abu Bakar dan khalifah Umar. Tuduhan itu itu mereka lakukan
tanpa bukti. Padahal, menurut mereka, dalam sejarah, khalifah Ali bin Abi
Thalib as justru menamai putra-putranya dengan nama kedua khalifah itu. Bahkan,
satu di antara putri Amir al-Mu’minin as, Ummu Kultsum, dinikahkan dengan
khalifah Utsman bin Affan. Bukankah ini tanda kedekatan dan kecintaan?
Lagi-lagi, mazhab Hasani harus memberikan bukti untuk menjawabnya.
Pertama, jika Ali hendak menamai putranya dengan nama itu,
maka ia menjadi nama asli, bukan gelaran (kuniah).
Kedua, gelaran (kuniah) kadang diberikan oleh orang lain,
bukan oleh ayah sendiri. Terkadang juga oleh yang bersangkutan, mengingat
hal-hal yang ada di sekitarnya.
Ketiga, menurut riwayat bahwa nama putra khalifah Ali yang
dipanggil Abu Bakar adalah Abdullah. Usianya 25 tahun ketika syahid di Padang
Karbala (Al-Isfahani, w. 356 H, Maqatil al-Thalibiyyin 1:22).
Keempat, nama Umar dan Utsman adalah nama familiar di bangsa
Arab waktu itu. Nama (cukup) pasaran. Khalifah Umar juga terkenal sering
mengganti nama orang lain dengan namanya. Wa kaana Umar bin Khattab samma Umar
bin Ali bi ismihi (al-Baladzuri w.279 H, Ansab al-Asyraf 1:297). Al-Dzahabi
w.748H, (Siyar A’lam al-Nubala, 4:134, tahqiq Syu’aib al-Arna’uth, Penerbit
Risalah Beirut, cetakan 9, 1413 H): wa mawliduhu fi ayyami ‘umar fa ‘umar
samaahu bi ismihi. Lahirnya ia (putra Ali) pada zaman Umar, dan Umar memberinya
nama dengan namanya. Kebiasaan mengganti nama ini tercatat dalam sejarah.
Beberapa di antaranya: (1) Ibrahim bin Harits bin Abd al-Rahman. “Kaana
abuuhu samaahu Ibraahim fa ghayara Umar ismahu,” Ayahnya menamainya Ibrahim,
dan Umar mengubah namanya menjadi Abdur Rahman (Rujuk Al-Asqalani, Al-Ishabah
5:29); (2) Al-Ajda’ bin Malik bin Umayyah al-Hamadani al-Wadi’i. Umar
menggantinya dengan Abdurrahman (Al-Asqalani, Al-Ishabah 1:186); (3)
Tsa’labah bin Sa’ad menjadi Mu’alla (Abu Mundzir Salamah bin Muslim w.511
H, Al-Ansab 1:250). Tentang nama Umar yang cukup pasaran, Ibn Hajar Al-Asqalani
dalam al-Ishabah menulis bab khusus dengan nama “Dzikru man ismuhu
‘Umar”. Berikut di antaranya: Umar bin Hikam al-Sulami; Umar bin Hikam
al-Bahzi; Umar bin Sa’ad abu Kasybah al-Anmari; Umar bin Sa’id bin Malik; Umar
bin Sufyan bin Abd al-Asad; Umar bin abu Salamah bin Abd al-Asad; Umar bin
Ikrimah bin Abu Jahal; Umar bin Amar al-Laytsi; Umar bin Umair bin Uday;
Umar bin Umair (ghair mansub); Umar bin Auf al-Nakha’i; Umar bin Lahiq; Umar
bin Malik; Umar bin Muawiyyah al-Ghadhiri; Umar bin Wahab al-Tsaqafi; Umar bin
Yazid al-Ka’bi; Umar al-Aslami; Umar al-Jum’i; Umar al-Khats’ami; Umar
al-Yamani; Umar bin al-Khattab.[1]
Kelima, penamaan Utsman pada putra khalifah Ali dinyatakan
oleh beliau sendiri, “Innama sammaituhu bi ismi akhi Utsman bin Mazh’un.”
Aku namai dia dengan nama saudaraku Utsman bin Mazh’un (Al-Isfahani, Maqatil
al-Thalibiyyin, 1:23). Utsman bin Mazh’un adalah sahabat Nabi Muhammad saw yang
terkenal karena kebaikan akhlaknya, penyayang dan pengasih pada anak-anaknya.
Hingga Nabi Muhammad saw mengebumikan Sayyid Ibrahim putranya di samping
sahabat yang dicintainya itu.
Seperti
nama Umar, Ibn Hajar pun mendaftar 26 nama Utsman dari sahabat Nabi (Al-Ishabah
4:447-463), yaitu Utsman bin Abu Jahm al-Aslami; Utsman bin Hakim bin abu
al-Awqash; Utsman bin Hamid bin Zuhair bin al-Harits; Utsman bin Hanif (bil
muhmalah); Utsman bin Rabi’ah bin Ahban; Utsman bin Rabi’ah al-Tsaqafi; Utsman
bin Said bin Ahmar; Utsman bin Syamas bin al-Syarid; Utsman bin Thalhah bin Abu
Thalhah; Utsman bin abu al-Ash; Utsman bin Amir bin Amar; Utsman bin Amir bin
Mat’ab; Utsman bin Abdi Ghanam; Utsman bin Ubaidillah bin Utsman; Utsman bin
Utsman bin al-Syarid; Utsman bin Utsman al-Tsaqafi; Utsman bin Amr bin Rifa’ah;
Utsman bin Amr al-Anshari; Utsman bin Amr bin al-Jumuh; Utsman bin Qais bin abu
al-Ash; Utsman bin Mazh’un; Utsman bin Mu’adz bin Utsman; Utsman bin Naufal
Za’m; Utsman bin Wahab al-Makhzumi; Utsman al-Juhni; dan Utsman bin Affan.
Tidak
satu pun nama dikhususkan untuk satu orang saja, kecuali lafaz jalalah Allah.
Nama-nama lainnya, termasuk Abu Bakar, Umar, atau Utsman adalah nama yang
memang banyak digunakan oleh orang Arab waktu itu.
Dalam
Mazhab Ahlulbait as sendiri banyak sahabat Imam yang bernama itu. Misalnya di
antara sahabat Imam Muhammad al-Baqir as dan Imam Jafar Shadiq as yang bernama
Abu Bakar adalah Abu Bakar Hadhrami, Abu Bakar bin Abu Sammak, Abu Bakar
‘Iyasy, dan Abu Bakar bin Muhammad. Adapun yang bernama Umar: Umar bin Abdullah
al-Tsaqafi, Umar bin Qais, Umar bin Aban, Umar bin abu Hafash, Umar bin abu
Syu’aibah, Umar bin Adzinah, Umar bin Barra, Umar bin Hafash, Umar bin
Hanzhalah, Umar bin Salamah. Yang bernama Utsman: Utsman A’ma Bashari, Utsman
Jabalah, Utsman bin Ziyad, Utsman Isbahani, Utsman bin Yasid, Utsman Nawa.
Sebagian di antara mereka sezaman dengan Imam Muhammad al-Baqir as, sebagian
lagi dengan Imam Ja’far as. Mereka para sahabat yang meriwayatkan hadis para
imam itu.
Sebenarnya,
nama itu netral. Tiada kaitannya dengan sosok. Nama seperti Yazid yang bagi
para pengikut mazhab Ahlulbait as identik dengan pembantaian keluarga Nabi Muhammad
saw di Karbala, atau Mu’awiyyah ayahnya yang berperang dengan Imam Ali as
termasuk juga di antara para periwayat hadis mazhab Ahlulbait as. Yazid bin
Hatim adalah sahabat Imam Sajjad as, Yazid bin abd al-Mulk, Yazid Shaig, dan
Yazid Kinasi tercatat sebagai sahabat Imam Baqir as. Ada juga Yazid al-Syi’r,
Yazid bin Khalifah, Yazid bin Khalil, Yazid bin Umar bin Thalhah, Yazid bin
Farqad, Yazid Mawla Hikam adalah di antara sahabat dan periwayat hadis Imam
Shadiq as. Bahkan satu di antara nama sahabat Imam Jafar Shadiq as ada yang
bernama Syimr bin Yazid (Syimr adalah pembunuh Imam Husain as di Karbala, Yazid
bin Mu’awiyyah orang yang memerintahkan pembunuhan itu).[2]
Apakah
penamaan itu menunjukkan hubungan cinta antara para Imam Ahlulbait as itu
dengan orang semisal Syimr, Yazid, dan Mu’awiyyah? Tidak otomatis. Bila
penamaan nama wajib didasarkan pada kecintaan, maka semua orang Islam harus
memberi nama putra dan putrinya dengan nama-nama Rasulullah saw. Sesuatu yang
sebenarnya dianjurkan ini justru punya catatan menarik dalam sejarah. Khalifah
Umar bin Khaththab pernah meminta dan menulis surat pada beberapa provinsi di
zaman pemerintahannya agar orang tidak memberi nama putranya dengan nama
Rasulullah saw. Abu Hasan Ali bin Khalaf al-Qurthubi dan Ibn Hajar al-Syafi’i
al-Asqalani dalam syarah terhadap Shahih Bukhari menulis kalimat ini: kataba
‘Umar ila ahli al-Kufah an laa tusammu ahadan bi ismi Nabiy.[3]
Badruddin
Mahmud bin Ahmad al-Uyaini (w. 855 H.) dalam ‘Umdat al-Qari Syarh Shahih
al-Bukhari, 15:39, menulis: Umar ra menulis pada penduduk Kufah agar tidak
menamai seorang pun dengan nama Nabi. Ia (juga) memerintahkan penduduk Madinah
untuk mengganti nama anak-anak mereka yang bernama Muhammad hingga sekelompok
sahabat meminta izin pada Umar untuk tidak melakukannya, dan mereka pun tidak
melakukannya.
Dalam
sejarah, tercatat pula Umar bin Abu Salamah Qursyi putra Ummu Salamah ra yang
kemudian menikah dengan Rasulullah Saw. Hubungan Umar bin Abu Salamah sangat
dekat dengan Ali bin Abi Thalib as. Apakah karena hubungan ini ada putra
Sayyidina Ali as yang dikenal dengan Umar? Adakah karena kedekatan? Atau
misalnya, putra Imam Hasan as yang bernama ‘Amar. Apakah kita bisa mengatakan
ia dinamai ‘Amar karena kedekatan dengan ‘Amar bin Hisyam (Abu Jahal) atau
‘Amar bin Yaasir? Tentu kita tidak selalu dengan segera mengambil kesimpulan
dan menghubungkannya seperti itu.[4]
Lalu
bagaimana pandangan khalifah Ali bin Abi Thalib as pada para sahabat itu? Imam
Ali mendukung kemuliaan Islam dalam bantuan yang ia berikan pada ketiga
khalifah. Terkenal ucapan khalifah Umar, “Sekiranya tidak ada Ali, celakalah
Umar”[5]
karena Imam Ali membantu khalifah Umar dalam banyak perkara. Imam Ali as pula
yang mengirimkan kedua putranya, Imam Hasan as dan Imam Husain as untuk menjaga
rumah khalifah Utsman pada saat terjadi pengepungan. Tentu silang pendapat
biasa terjadi, seperti yang disebutkan bahwa “Umar bin al-Khattab pada Abbas
dan Ali: Ketika wafat Nabi saw berkata Abu Bakar, aku wali (redaksi hadisnya
menggunakan kata ‘wali’ artinya pemimpin) Rasulullah saw, dan kalian berdua
(Ali dan Abbas) datang meminta warisanmu dan warisan putra saudaramu dan
meminta warisan perempuannya dari ayahnya. Maka berkatalah Abu Bakar, Rasulullah
saw bersabda: Apa yang kami tinggalkan adalah sedekah. Maka kalian berdua (Ali
dan Abbas) memandangnya (Abu Bakar) sebagai pendusta, pendosa, ingkar janji dan
pengkhianat. Dan sesungguhnya Allah Swt tahu ia adalah seorang yang jujur,
benar, berbuat baik, yang memberi petunjuk, yang mengikuti kebenaran. Kemudian
ia meninggal dunia. Dan akulah wali Rasulullah Saw dan wali Abu Bakar. Maka
kalian berdua memandangku pendusta, pendosa, ingkar janji dan pengkhianat. Atau
Shahih al-Bukhari yang menyebutkan ungkapan Sayyidina Ali as pada khalifah Abu
Bakar. “Wa lakinnaka istabdadta ‘alaina bil amri wa kunna nara liqaraabatina
min Rasulillahi (S) nashiban.”[6]
Dalam
riwayat yang lain yang juga bersumber dari Syaikhain, perbedaan pendapat
itu mengemuka. Maka ia mengirim (surat) pada Abu Bakar agar datanglah kepada
kami dan jangan datang bersamamu seorang pun karena ketidaksukaannya akan
kehadiran Umar.[7]
Dengan
dinamika naik turunnya hubungan di antara para sahabat itu dapatkah kita
menarik kesimpulan bahwa penamaan dan penggelaran itu berhubungan satu dengan
yang lainnya. Bila dasarnya adalah kecintaan, mengapa khalifah Abu Bakar,
khalifah Umar, khalifah Utsman tidak memberi nama putra-putra mereka dengan
Hasan dan Husain, nama putra-putra Rasulullah saw? Bukankah saling mencintai
takkan bertepuk sebelah tangan? ***
[1] Ibn Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah (Beirut: Dar al-Jabal, 1412 H.)
jilid 4, halaman 587-597.
[2]
Rujukan tentang nama-nama di
atas dapat dilihat pada Muhammad bin Ali al-Ardabili al-Ghurawi (w. 1101 H),
Jami’ al-Ruwaat al-Isytibaahaat ‘an al-Thuruq wa al-Isnad, jilid 1, halaman
402.
[3] Al-Qurthubi (w. 449 H); Syarah Shahih al-Bukhari 9:344 dengan tahqiq
dari abu Nu’aim Yasir bin Ibrahim, penerbit al-Rusyd, Riyadh, Saudi Arabia
cetakan kedua tahun 1423 H; Ibn Hajar al-Asqalani, w. 852 H; Fath al-Baari
Syarh Shahih al-Bukhari 10:572 dengan tahqiq dari Muhibuddin al-Khathib,
penerbit Dar al-Ma’rifah, Beirut.
[4] Syaikh Mufid (w. 413 H),
al-Irsyad fi ma’rifati hujajillah ‘alal ‘ibad (Beirut: Muassasah Ali
al-Bait as: Daar al-Mufid, 1414 H.) jilid 2, bab dzikru waladi al-Hasan bin Ali
as, halaman 20.
[5] Kitab Fadhail al-Shahabah
Imam Ahmad, 1065; Sunan Abi Dawud, 3823; Kanz al-'Ummal, 5: 833.
[6]
Muslim bin al-Hajjaj abu
al-Husain al-Qusyairi al-Nisyaburi dalam Shahihnya, 3:1378, Kitab al-Jihad wa
al-Sair, bab Hukum Fai, tahqiq Muhammad Fuad abd al-Baqi (Beirut: Daar Ihya
Turats Arabi, t.t.). Dalam al-Mawsu’ah sebuah program di AppStore, ia ditulis
sebagai hadis nomor 3294, atau 3308 pada library.islamweb.net. Rujuk juga pada
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah (w. 256 H.) Shahih al-Bukhari 4: 1549,
halaman 3998, Kitab al-Maghazi, Bab Ghuzwah Khaibar, tahqiq Dr. Mustafa
Dib al-Bagha (Beirut: Daar Ibn Katsir, 1407 H.).
[7]
Shahih al-Bukhari, 4:1549, Kitab
al-Maghazi, Bab Ghuzwah Khaibar.