Ini masih tentang buku. Saya punya seabreg buku Wahabi. Mulai karya Nashiruddin Albani, Hasan Al Banna, Yusuf Qordhowi, Ibnu Katsir, Ibn Taimiyah dan lain-lain yang yang seafiliasi dengannya. Mulai kitab kuning, kitab putih, kitab gundul maupun gondrong. Semua menjadi kajian tiap hari tiada henti.
Saya sempat menerima paham Wahabi yang mengklaim sebagai gerakan Islam "modernis" itu. Saya pernah menjadi loyalis Wahabi alias Wahabi minded 123%.
Yang namanya Majalah Al-Muslimun (Persis) SM (Muhammadiyah), Sabilli (PKS), Panjimas, Media Dakwah (DDI), dan sejenisnya adalah menu wajib bacaan. Dulu kitab-kitab karya Ibnu Katsir adalah kitab favorit yang menjadi kajian rutin.
Selama di habitat Wahabi, saya sempat merasa menjadi orang terbenar dan paling selamat di dunia dan akhirat. Namun demikian, meski seluruh atmosfir yang saya hirup adalah nafasnya Wahabi, endingnya tak menjamin saya jadi Wahabi.
Saya juga banyak buku-buku Syiah yang dikatakan sesat itu. Meski saya tertarik, namun ternyata juga tak menjadikan saya auto Syiah. Karena ternyata untuk menjadi Syiah itu sulitnya bukan main-main.
Begitu sulitnya, saya berpikiran jangan-jangan orang yang Syiah itu hanya Ali bin Abi Thalib dan Aimmah al-Ma'shumin saja.
Anehnya saya mempelajari Syiah justru setelah membaca buku produk Wahabi yang berjudul Bukti-bukti kesesatan Syiah. Awalnya saya malah disuruh baca kitab Nahjul Balaghah oleh tokoh Muhammadiyah Jawa Timur. Jadi, Syiah semakin dibenci semakin dicari.
Akhirnya saya paham bahwa setidaknya ada 100 tokoh dunia pengagum Nahjul Balaghah, tak juga harus menjadi Syiah. Mereka tetap menggigit kuat keyakinannya. George Jordac telah membaca maha sastra Nahjul Balaghah lebih dari 200 kali, tapi toh dia tetap tak goyah keyakinannya.
Saya saja baca Nahjul Balaghah satu kali saja tidak tamat. Bagaimana yang tak pernah baca Nahjul Balaghah lantas bisa jadi Syiah? Di buku Nahjul Balaghah sendiri tak ada satu pun kalimat yang mengajak pembacanya untuk menjadi Syiah.
Mereka, para pengagum Nahjul Balaghah itu di antaranya seperti George Jordac, Che Guevara, Dalai Lama, Thomas Carlyl, Adolf Hitler, Mahatma Gandhi, Mao Tse Tung, Benito Musollini, Abraham Lincoln, Joshep Stalin, Soekarno, dan lain-lain.
Jadi, mengagumi tokoh yang memang patut dikagumi, tak ada hubungannya dengan madzab tertentu. Kita tidak otomatis menjadi auto Islam karena membaca literasi tentang Islam, tidak lantas auto Komunis karena membaca kitabnya orang komunis, tidak auto Syiah karena membaca buku Syiah dan seterusnya.
Ada juga buku The Idea of the West karya Alastair Bonnett. The Triumph of the West tulisan sejarawan Universitas Oxford J.M. Roberts dan masih banyak lagi. Edisi terjemahannya mungkin sudah banyak beredar.
Toh buku-buku tersebut tak menjadikan pembacanya lantas mendapat hidayah menjadi seorang westernisme. Kenapa buku berpaham komunis disweping, sementara buku-buku berpaham kapitalis dibiarkan beredar? Padahal dua sistem ekonomi yang berseberangan secara fundamental tersebut telah menjelmakan dirinya dalam sebuah ideologi yang sama-sama konsisten dalam "memerangi" Islam.
Bahkan Barat yang identik dengan kapitalis itu sekarang telah menjadi satu-satunya hegemoni tunggal dunia setelah Uni Soviet runtuh tahun 1991.
Jika buku-buku yang
ditengarai sebagai paham komunis dilarang edar, mestinya hal yang sama juga
harus dilakukan terhadap buku-buku berpaham kapitalis. Jangan pahamnya saja
dicerca tapi diam-diam kita menyatapnya dengan lezat.