21/09/20

Prof Dr Hamka: Saya Tidak Bermazhab Syiah, Tetapi Saya Mencintai Husain

 image

“Jika saya akan dituduh orang Syi’ah karena saya mencintai keluarga Muhammad, maka saksikanlah oleh seluruh manusia dan jinn bahwa saya ini adalah penganut Syi’ah.” (Al Imam Asy-Syafi’i). 

Dengan kata-kata yang begitu tegas Al Imam Asy-Syafi’i menyatakan pendiriannya 13 abad yang telah lalu. Beliau dengan syi’ir yang begitu gamblang menjelaskan pendiriannya, yaitu beliau mencintai keluarga Muhammad s.a.w., ialah anak-anak beliau dan cucu beliau. Jelas bahwa beliau tiada beranak laki-laki, karena anak laki-laki meninggal semua di waktu kecilnya. Tetapi sebagai manusia beliau ingin mempunyai keturunan yang laki-laki. Sebab itu – sebagai manusia – beliau ingin akan keturunan itu. Ketika lahirnya putranya terakhir, Ibrahim dari perkawinannya dengan Mariah Al-Qubthiah, sangatlah beliau berbesar hati, karena inilah yang akan menyambung turunannya, sedang usia beliau ketika anak itu lahir sudah lebih 60 tahun, sudah tua! 

Namun Ilmu Ilahi lebih tinggi dari Ilmu manusia! Ibrahim yang diharap penyambung turunan itu, meninggal dunia di kala dia masih menyusu. Kematian ini sangat membawa duka-cita bagi Nabi s.a.w. sampai titik air mata beliau dari sangat terharu. Terkenal ucapan beliau s.a.w. ketika anak tercinta itu meninggal: “Hati sedih, air mata berlinang, namun dari mulut tidaklah akan ke luar kata-kata yang tidak diridhai oleh Tuhan kita.” 

Beliau bertambah tua. Harapan buat berannak laki-laki lagi sudah tipis. Tetapi beliau ada mempunyai anak-anak perempuan: 1. Zainab. 2. Ruqayyah. 3. Ummu Kultsum dan 4. Fathimah. 

Zainab kawin dengan Ibnul ‘Aaash, Ruqayyah dan Ummu Kultsum kawin dengan ‘Utsman bin ‘Affan berganti, karena Ruqayyah meninggal selagi muda, lalu Nabi s.a.w. mengawinkan ‘Utsman dengan Ummu Kultsum, lalu diberi gelar oranglah ‘Utsman: “Dzim Nuraini” (yang mempunyai dua cahaya). Adapun Fathimah beliau kawinkan dia dengan ‘Ali bin Abi Thalib.

Perkawinan Fathimah dengan ‘Ali bin Abi Thalib adalah perkawinan paling ideal menurut masyarakat Arab. Sebab Nabi Muhammad s.a.w. adalah putera Abdullah dan Abdullah adalah putera dari Abdul Muthhallib. Sedang ‘Ali, yang diambilnya jadi suami anaknya Fathimah, adalah anak dari Abi Thalib dan Abi Thalib adalah anak pula dari Abdul Muththalib. Sebab itu maka Abi Thalib ayah ‘Ali adalah saudara satu ayah dengan Abdullah ayah Nabi Muhammad s.a.w. 

Oleh sebab itu, meskipun Nabi s.a.w. tidak dikurniai anak laki-laki, besarlah harapan beliau moga-moga Fathimah Az-Zahraa yang telah kawin dengan ‘Ali mendapat keturunan anak laki-laki yang diharapkan. Pada tahun ketiga Hijriyah lahirlah anak pertama, dinamai Hasan. Setahun di belakang itu lahir anak kedua, dinamai Husain. 

Nabi s.a.w. sangat mencintai kedua cucu ini. Abu Ahmad Al ‘Askari mengatakan: “Di zaman Jahiliah belum dikenal orang kedua nama itu.” 

Al Bukhari, perawi hadits terbesar meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: “Keduanya (Hasan dan Husain) adalah kembang mekarku di dalam dunia ini. 

Di dalam sebuah Hadits lagi yang dirawikan oleh At-Tarmizi dari Usman bin Zaid, pernah Nabi s.a.w. bersabda: “Keduanya ini adalah anakku dari anak perempuanku. Ya Tuhan! Aku mencintai keduanya dan akupun cinta kepada siapa yang mencintai keduanya.” 

Menurut riwayat Al Bukhari yang diterimanya dari Abi Bukrah, dia ini berkata: “Aku pernah melihat Nabi s.a.w. berdiri di atas mimbar sedang Hasan duduk melihat sebentar kepada orang banyak, lalu melihat pula kepada Nabi s.a.w. sebentar. Maka bersabdalah Nabi s.a.w.: “Sesunggahnya anakku ini adalah Sayid (Tuan). Dan moga-moga Allah akan mendamaikan dengan anak ini diantara dua golongan kaum Muslimin.” 

Dengan kedua sabda ini Nabi s.a.w. saking kasihnya telah memproklamirkan kepada seluruh ummatnya, bahwa anak ‘Ali bin Abi Thalib dalam perkawinannya dengan Fathimah itu adalah anak beliau juga! Atau cucu beliau juga! 

Dan pengakuan Nabi itu diterima oleh seluruh ummatnya. Namun dengan bijaksana keturunan-keturunan itu menuliskan Nasab. Mereka, sesampai pada ‘Ali bin Abi Thalib, menjelaskan perkawinannya dengan Fathimah. Tidak ada ahli Nasab yang bersikap, misalnya membuat ‘Ali bin Abi Thalib anak Muhammad, cuma menyebut Hasan atau Husain Sibthi Rasulillah s.a.w. artinya cucu beliau. Dan tidak pula ada orang yang mempunyai rasa kesopanan yang berani menggugat dan membantah Nabi s.a.w. pada segala zaman sejak Islam lahir sampai sekarang, lalu berkata bahwa Hasan dan Husain itu bukan putera Nabi, padahal Nabi s.a.w. telah mengakui mereka puteranya. Karena yang dapat dirasakan di sini ialah mengakui mereka anak atau cucu, semata-mata dari rasa cinta! Sampai Nabi s.a.w. bersabda: “Ya Tuhan! Aku cinta kepada keduanya dan akupun cinta kepada orang-orang yang mencintai keduanya.” Sebagaimana tersebut dalam Hadits yang sudah kita salinkan di atas tadi. 

Rasulullah s.a.w. mempunyai Mu’jizat yang luas dan dibukakan Allah baginya berbagai rahasia zaman yang akan datang. Sampai beliau buka di hadapan umum bahwa kelak “anak beliau” yang bernama Hasan akan mendamaikan dua golongan kaum Muslimin yang berselisih. Dan ini memang telah kejadian pada tahun 40 Hijriah, tatkala Hasan menyerahkan kekuasannya kepada Mu’awiyah dan tahun penyerahan kuasa itu dinamai orang: “Aamul Jamaah” – tahun bersatu kembali. 

Tetapi tidaklah bertemu satu riwayat bahwa Nabi s.a.w. pernah menceriterakan apa yang akan terjadi pada Husain. Bukan karena Nabi s.a.w. tidak tahu. Tetapi adalah amat seram kalau hal demikian beliau ceriterakan pula, yang dapat menggoncangkan orang banyak. Cukup beliau bayangkan saja bahwa sepeninggal beliau wafat kelak, akan banyak fitnah besar terjadi. 

Ada juga riwayat menyatakan Nabi s.a.w. ada membisikkan kepada seorang perempuan bernama Asma, sahabat dari Fathimah bahwa Al Husain itu akan mati terbunuh. Tetapi Nabi memesankan kepada Asma supaya perkataan menyedihkan itu ditutup rapat. Sebab menyeramkan. 

Yth. Sayid Haji Mohammad Husin Al Hamid Al Husaini telah mengarang sebuah bernama: “AL HUSIN BIN ‘ALI PAHLAWAN BESAR DAN KEHIDUPAN ISLAM PADA ZAMANNYA”. (393 halaman). 

Dalam kitab setebal itu dan judul seperti itu pengarang telah menguraikan sejarah Al Husain bin ‘Ali menuntut haknya menjadi Khalifah kaum Muslimin. Sebab Hasan bin ‘Ali menyerahkan jabatan itu dahulunya kepada Mu’awiyah adalah dengan pengertian bahwa kalau mu’awiyah meninggal, kaum Musliminlah yang berhak menentukan siapa akan gantinya. Tetapi setelah jabatan itu jatuh ke tangannya, mulailah Mu’awiyah mengatur siasat yang licin dan licik agar yang akan gantinya kalau beliau meninggal hendaklah puteranya. Yazin bin Mu’awiyah. Untuk itu Mu’awiyah berani bertabur uang, menyebar pengaruh ke sana-sini menimbulkan Publieke Opini: pendapat umum, agar Yazid puteranya itulah penggantinya kalau dia meninggal, sampai ada seorang Propagandis menjentik pedang dekat beliau dan berkata sambil menyentak pedang itu: “Khalifah ialah ini! (Lalu ditunjukkannya pedangnya itu Mu’awiyah yang sedang duduk di singgasana). Kalau beliau meninggal akan digantikan oleh ini!” (Lalu diacungkannya pedangnya). 

Orang banyak diam, tidak ada yang bersuara untuk membantahnya. Maka meninggallah Mu’awiyah bin Abi Sufyan pada tahun 60 Hijriah, (680 Masehi); dan naiklah Yazid menggantikan ayahnya. Di waktu itu pulalah penduduk Irak mengirim Surat kepada Husain agar dia bergerak mennentang kekuasaan Yazid dan orang Irak itu berjanji hendak membantu. Husain bin ‘Ali menerima ajakan itu, meskipun beberapa orang yang berpengalaman, diantaranya Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar, keduanya sependapat melarang, karena menyangka itu tidak akan berhasil. Hanya Abdullah bin Zubair saja yang mengatakan setuju; yang kemudian ternyata karena diapun ingin pula menda’wakan diri jadi Khalifah di Hejaz (Mekkah). 

Husain pun berangkat dengan kaum keluarganya terdekat, menuntut haknya, berpuluh orang, tidak sampai seratus. 

Setelah Yazid menerima berita itu dikirimnya tentara tidak kurang dari 4.000 orang di bawah pimpinan Abdulllah bin Zayyad. Maka terjadilah peperangan hebat di Padang Karbala di antara dua kekuatan tidak seimbang, di antara puluhan termasuk anak-anak dan perempuan pengiring setia Husain dengan 4.000 tentara Yazid dari Damaskus, yang bagaimana pun gagah perkasa perlawanan Husain, perlawanan yang hancur, dan yang kacau, beliau sendiri mati terbunuh, kepalanya dipotong dan dibawa oleh Abdullah bin Zayyad menghadap Yazid bin Mu’awiyah. 

Peperangan Husain inilah yang diriwayatkan oleh Sdr. Sayid Mohammad Husin Al Hamid Al Husaini dalam buku beliau yang tebalnya 393 halaman itu. 

Abbas Mahmoud Akkad pengarang Mesir terkenal (meninggal 1964), mengarang buku tentang Husain Sayyidus Syuhadaa ini, menerangkan bahwa inilah satu perjuangan mencapai Syahid yang sangat berhasil, karena meskipun telah 14 abad berlalu sampai sekarang, namun kesannya sangat besar dalam Dunia Islam sampai sekarang ini. Pada tiap-tiap bulan Muharram diadakanlah oleh kaum Syi’ah perayaan besar memperingati kematian Husain di Karbala, satu-satunya perayaan berurai air-mata karena kematian, padahal segala perayaan di dunia ini, adalah untuk bergembira. 

Demikian diterangkan oleh Orientialist Ignoz Goldziher dalam bukunya “Aqidah dan Syari’ah dalam Islam.”

Seketika saya datang ke Irak yang mula-mula (Oktober 1950), dalam perjalanan ke Najaf (pusara Sayidina ‘Ali) dan ke Karbala (pusara Sayyidina Husain), Muzawwir bertanya kepada saya datang dari mana. Saya jawab dari indonesia. Dia tanya Mazhab, saya jawab Syafi’i. Lalu penunjuk jalan itu berkata: “Mazhab Syafi’i adalah Mazhab yang paling dekat kepada Syi’ah, dan paling cinta kepada Husain!” 

“Ma’af!” – jawab saya – “Saya tidak bermazhab Syi’ah, tetapi saya mencintai Husain!”. Sesudah ziarah tahun 1950 itu saya telah berziarah lagi pada tahun 1968. Jalan sudah lebih teratur. Najaf dan Karbala telah mudah dihubungi dari Baghdad, demikian pula ke negeri Samarra! Di sanalah ghaib Imam yang ke 12, dan di sana pula ditunggu (Muntazhar), karena dia akan datang kembali ke dunia ini membawa keadilan dan kebenaran. Demikian kepercayaan orang Syi’ah. 

Dari semua ziarah itu bertambahlah teguh rasa cinta saya kepada kedua cucu Rasullullah s.a.w., Hasan dan Husain, di samping bertambah teguh keyakinan saya dalam Mazhab Sunni. Sebab cinta lain dan pendirian agama lain pula. 

Ketika orang bertanya kepada saya berpihak ke mana saya dalam hal pertentangan yang terjadi di zaman dahulu itu, sayapun menurut saja akan pendirian Ulama dahulu-dahulu, sebagai Imam Abu Hanifah, Hasan Al Bishri dan Umar bin Abdul ‘Aziz. 

Di antara mereka berkata: “Itulah darah-darah yang telah tertumpah, yang Allah telah membersihkan tanganku dari pada percikannya; maka tidaklah aku suka darah itu melumuri lidahku.” *** 

AL-HAQIIR

Haji Abdulmalik bin Abdulkarim Amrullah (HAMKA) 

Sumber tulisan diambil dari buku karya H. M. H. ALHAMID AL HUSAINI, “ALHUSAIN bin ALI r.a. Pahlawan Besar dan kehidupan Islam pada Zamannya” (Semarang: Toha Putra, 1978)