21/08/21

ABOEBAKAR ATJEH: Aliran Syiah Di Nusantara (2)

image

Oleh H. ABOEBAKAR ATJEH

NAMA Syiah itu pada awal mulanya berarti golongan, firqah dalam bahasa Arab. Tetapi telah pada permulaan Islam nama ini terutama digunakan untuk suatu golongan yang tertentu, yaitu golongan yang sepaham dan membela Ali bin Abi Thalib, khalifah yang keempat, suami dari anak junjungan kita Nabi Muhammad SAW, bernama Fatimah dan kemenakan penuh dari Nabi, karena ia anak pamannya Abu Thalib, saudaranya ayahnya.

Dalam masa salaf, zaman Nabi dan sahabatnya, perkataan ini belum digunakan orang, tetapi untuk itu dipakai perkataan Ahlil Bait atau Alawi atau Bani Ali atau Ba Alawi. Orang-orang Syi’ah itu, artinya orang-orang yang masuk golongan Saidina Ali, mempercayai bahwa Saidina Ali itulah orang yang berhak menjadi pengganti Nabi sesudah wafatnya. Begitu pula khalifahan itu turun-menurun dari padanya, sebagai orang yang berhak menjadi Imam, yaitu kepala masyarakat kaum muslimin. Karena mereka itulah, yang juga dinamakan Ahlil Bait, yang lebih mengetahui dan lebih dekat serta lebih meyakini akan ajaran Nabi Muhammad.

Uraian yang panjang lebar tentang segala sesuatu mengenai Syi’ah, sudah saya uraikan dalam karangan saya, “Syi’ah, Rasionalisme dalam Islam” (Semarang, 1972), dan kitab “Al-Ja’fari, Mashaf Ahlil Bait” (sedang dicetak). Di sana saya uraikan lengkap mengenai sejarah terjadi dan pertumbuhannya, perkembangan aliran dan mashafnya mengenai tafsir, ilmu hadist, ilmu fiqh, tarikh tasyriq, bermacam-macam aliran Syi’ah, seperti Itsna Asyariyah Imamiyah, Zaidiyah, Isma’ iliyah, Jabaliyah, dll. Imam-Imam dan sejarah perjuangannya, ulama-ulama dan pengarang-pengarang, penyiaran kitab-kitabnya, yang bersifat agama dan ilmu pengetahuan, jasa-jasanya dalam penyiaran dan perkembangan Islam seluruh dunia.

Beberapa kejadian sesudah wafat Nabi, seperti bangkit kembali Bani Umayah dan Bani Abbas, dengan kerajaan-kerajaannya, yang kemudian, juga bercekcokan dengan keturunan Ali bin Abi Thalib, pembunuhan atas diri khalifah Usman, yang dituduhkan secara palsu oleh Yazid bin Mu’awiyah, kepada Ali dan lainnya menyebabkan pada akhirnya keluarga-keluarga Ahlil Bait ini, mengungsi kedaerah Persia dan India, Cina, Asia Tengah, Afrika dan Nusantara yang dapat menampung mereka, dan menyelamatkannya. Hal ini terutama sesudah terjadi pembunuhan atas diri Sayidina Hasan dgn racun, dan Sayidina Husain dalam peperangan di Karbala.

Sayidina Ali sendiri dalam th. 40 H.(661 M) dibunuh oleh salah seorang fanatik, Ibn Muijam, dari golongan Khawarij, dan sesudah gugur pula anaknya dalam pertempuran yang dahsat dimedan peperangan Karbala pada th. 61 H. (680 M), sebagai putra Mahkota yang melawan Yazid dari Bani Umayah, maka makin bertambah tambahlah hebatnya perkembangan golongan Syi’ah ini, yang meluap kesebelah timur, terutama Persia dan India, dan Asia Tengah serta Afrika Utara.

Sebenarnya hubungan Iran-Indonesia telah berlangsung lama dan selalu baik. Dalam buku Al-Islam Fi Indonesia karangan Dzya Shahab dan Haji Abdullah bin Nuh, yang diterbitkan “Badan Penerbit Saudi Arabia” Jeddah, dikisahkan bahwa pelayaran laut ke Asia Tenggara dan Asia Timur lama dikuasai orang-orang Persia bersama Arab.

Hubungan teluk Persia dengan Indonesia lalulintas kuat. Banyak kota-kota di Indonesia di diami orang-orang Persia dan Arab. Juga dinukil dari buku Al-Damashky, yang mengatakan dalam bukunya Nakhbat-al-Dahr bahwa arus perpindahan Muslimin ke Indonesia, meningkat pada zaman bani Umayah, yang dikenal karena kezalimannya.

Ibn Batuta, pelancong Marokko diabad ke 13 (787 H) menyatakan bahwa ketika mengunjungi Samudra dan Pasai dia banyak bertemu dengan Muslimin dan orang-orang Persia. Terdapat ulama besar Abdullah Shah Muhammad bin Shaikh Taher (wafat 787 H).

Pada zaman Malik al-Kamil terdapat Qadhi (hakim) Al-Sharief Amir Sayyid Al-Shirazi. Sedangkan dizaman Al-Malik al-Zahir, terdapat ulama besar Tajuddin Al-Isphahani dan banyak lagi yang namanama mereka terukir dalam nisan-nisan diatas kuburnya masing-masing.

Ibn Batuta berkata pula bahwa wakil Laksamana di Samudra-Pasai adalah seorang Persia bernama Behruz. Terdapat sebuah desa di Samudra kubur dari Hisauddin yg wafat pada tahun 1420 M. Menurut Sir Richard Winsted, kuburannya sangat menarik karena terukir beberapa shair dari Sa’di, pujangga Iran yang dikubur di Shiraz, antara lain berbunyi:

Ribuan tahun akan datang dan pergi diatas kubur kita melintasi Selama itu air mengalir dan angin Saba mengembus dan waktu hidup segera terputus Mengapa melintasi kubur orang dengan jalan angkuh lantang ?

Di samping itu kita juga lihat berbagai nama raja-raja di Indonesia memakai gelar-gelar yang dipakai juga di Iran. Berbagai adat istiadat di Jawa, Sumatra dan Sulawesi banyak persamaannya dengan yang ada di Iran. Kebiasaan-kebiasaan tidak menikahkan atau merayakan pesta-pesta pada bulan Suro, mirip dengan kebiasaan Iran. Demikian pula kisah bubur merah bubur putih dan cerita-cerita yatim, mempunyai latar belakang yang sama.

Prof. Husein Jayadiningrat almarhum, banyak mengadakan penelitian mengenai hubungan kebudayaan Iran-Indonesia, dimana kemudian Prof. Husein Jayadiningrat mengatakan banyak pengaruh Iran dalam bahasa Indonesia.

Dalam aliran Sufi di Indonesia banyak masuk pengaruh Tasauf Persia seperti pengaruh Junaid, Hallaj, Jalaluddin al Rumi, Shams al-Tebrisi. Belum lagi pengaruh Al-Gazali yang demikian popuier di Indonesia. Cerita-cerita Iskandar Zulkarnaen, Kisah Am’r Hamzah, Kisah Yusuf dan Zulaikha, Mu’jizat-mu’jizat para Nabi sangat terkenal dikawasan ini berasal dari literatuur Iran.

Di daerah ini aliran Syi’ah dianut, dan bersama dengan orangorang Persia dan India ulama-ulama dan pemimpin-pemimpin Syi’ah itu pergi ke Nusantara untuk menyiarkan agama Islam menurut pahamnya, sambil melanjutkan perdagangan dengan Timur Jauh, yang sudah terjadi sejak dahulu, Lih. karangan saya “Sejarah Al-Qur’an” (Surabaya-Malang, 1956. eet. ke-IV).

Keturunan dari Sayidina Hasan biasa sehari-hari dinamakan Syarif, dari Sayidina Husain disebut Sayid, keturunan wanita masing-masing dinamakan Syarifah dan Sayidah. Perlu dicatat di sini, bahwa hijrah dari pada keturunan Ahlil Bait ini, banyak ke Mesir, dan dari sana ke daerah-daerah Islam yang lain. Sebagaimana banyak yang hijrah ke Persia dan India, yang kemudian ke daerah Islam yang lain.

Baik juga pembaca memperhatikan sebuah kitab baru yang diterbitkan oleh Al-Majlisul A’la Lisy-Syu’unil Islamiyah di Cairo, yang bernama “Ahlulbait fi Misr” karangan Ustadz Abdul Hafid Faragli (Cairo Desember 1974 M). 

bersambung