22/02/22

Belajar Paradigma Fikih Inklusif kepada Kang Jalal [by Beta Firmansyah]

Sudah genap setahun Kang Jalal (Sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat) meninggalkan kita. Tetapi cendikiawan karismatik itu akan selalu dikenang terutama oleh mereka yang merasa telah dibantu dalam membuka horizon pengetahuan keagamaan mereka. Yah, cendikiawan itu meninggalkan banyak khazanah yang sangat berharga bagi generasi selanjutnya. Salah satunya adalah paradigma fikih.

Permasalahan umat beragama -terkhusus Islam- menganggap bahwa orang dikategorikan beragama jika dia melakukan ritual ibadah semisal salat, puasa dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, ibadahnya pun dibatasi dengan cara mazhab tertentu, seperti Syafi’i misalnya. Sehingga orang yang tidak melakukan ritual ibadah dengan mazhab Syafi’i tidak bernilai ibadah. Lebih jauh lagi, dianggap tidak beragama. Sesempit ini agama yang dipahami oleh (mungkin) kebanyakan kaum Muslim.

Model Fikih yang Eksklusif

Ada hal yang menarik dari Kang Jalal. Biasanya kita belajar fikih itu berkaitan dengan tata cara wudhu, salat, puasa, hukum bersentuhan laki-laki dan perempuan. Atau hal yang membatalkan salat, dan masih banyak lagi masalah-masalah fikih yang menjadi topik di buku-buku fikih. Ini menyebabkan fikih terlihat rigid dan membosankan. Bahkan mungkin orang cenderung “meninggalkannya.” Terlebih fikihlah yang menjadi sumber “kericuhan” dan pertengkaran umat. Sehingga ini menambah alasan kuat untuk orang meninggalkannya.

Hal itu pulalah yang dihadapi oleh Kang Jalal ketika beliau berada di kampung halamannya. Dengan background fikih yang sangat ekslusif karena konsekuensi awal afiliasi pemahaman keagamaanya. Afiliasi itu pulalah yang menyebabkan Kang Jalal menganggap semua selain fikihnya adalah kekeliruan besar. Bahkan tak segan-segan Kang Jalal berani mengekspresikan perbedaan fikihnya dengan mayoritas masyarakat waktu itu. Dia berpegang pada ungkapan yang dianggap merupakan ungkapan Nabi saw bahwa ada masa di mana orang berpegang pada agama seolah ia memegang bara api. Hal ini saking sangat jarang ditemukan lagi fikih “model” Rasulullah saw.

Menuju Fikih Inklusif

Dengan pengembaraannya, Kang Jalal berhasil memformulasikan paradigma fikih baru. Fikih yang inklusif, terbuka dan menerima perbedaan. Paradigma ini sebagai antitesa dari paradigma fikih Kang Jalal sebelumnya. Paradigma itu disebut “dahulukan akhlak di atas fikih.” Kang Jalal ingin menampilkan agama ini tidak hanya fikih. Agama ini banyak aspeknya, sungguh sangat sempit jika diukur hanya dengan fikih saja. Bahkan ada yang lebih fundamental dari fikih, yaitu akhlak.

Kang Jalal ingin mengeluarkan kita dari kungkungan paradigma fikih. Paradigma fikih yang dimaksud adalah kebenaran tunggal, asas mazhab tunggal dan kesalehan diukur dengan ketaatan pada mazhab fikih. Orang yang berparadigma fikih biasanya berpandangan bahwa cara beribadah dialah yang benar dan yang lain salah serta bid’ah. Pendapat dia yang paling sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Dia tidak percaya pada kebenaran jamak (multiple reality), hanya dialah yang benar.

Disadari ataukah tidak, pandangannya seperti ini malah menjerumuskannya pada tandingan pada Tuhan dan Nabi-Nya. Dia menanggap bahwa fikih dia adalah fikih yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Padahal siapa yang bisa menjamin itu? Fikih sifatnya tidaklah ilahi, akan tetapi manusiawi. Maksudnya, fikih adalah hasil olahan para mujtahid pada masanya. Mujtahid adalah manusia sehingga hasilnya tidak akan pernah menjadi ilahi, tetap manusiawi. Jika manusiawi, maka akan terikat pada dua kemungkinan, benar dan salah. Ini yang luput dari pandangan banyak orang. Menyetarakan fikih yang manusiawi dan Al-Qur’an serta Sunnah yang ilahi adalah sebuah bentuk tandingan terhadap Allah.

Solusi Konteks Keindonesiaan

Di Indonesia sendiri sangat sering terjadi kasus orang tidak mau bermakmum pada imam yang berbeda mazhab. Dia anggap jika di belakang imam yang berbeda, maka ibadahnya tidak akan diterima oleh Allah karena tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah (baca: fikihnya). Sebagian orang pun lebih memilih pergi ke masjid yang jauh hanya karena masjid di samping rumahnya tidak satu mazhab atau satu golongan dengannya. Mereka menganggap mazhabnyalah yang benar, mazhabnya yang paling sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya.

Bahkan lebih jauh lagi yang mereka inginkan Indonesia itu satu mazhab, yaitu mazhab yang menurut mereka sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Padahal upaya itu bukan tanpa history, Imam Malik pernah melarang khalifah al-Mansyur untuk tidak menyeragamkan mazhab fikih. Khalifah Umar bin Abdul Aziz pun begitu. Hal ini karena sudah berlaku praktek keagamaan yang dibawa oleh para sahabat ke wilayah-wilayah. Dan sahabat nabi kadang berikhtilaf dalam beberapa hal. Tapi hal itu biasa tidak menyebabkan mereka harus menjustifikasi yang lain salah dan bid’ah.

Kang Jalal ingin merubah cara pandang kita terkait paradigma fikih. Fikih yang mengakui kebenaran jamak. Serta mengakui mazhab jamak dan fikih bukan menjadi standar kebenaran. Yah, kita pahami bahwa kebenaran fikih didasarkan pada khabar yang ahad dan belum dipastikan kebenarannya. Bahkan sangat sedikit sekali riwayat terkait praktik fikih (keagamaan) yang berstatus mutawatir kecuali hal-hal yang prinsipil dalam agama (al-daruri fi al-din).

Dahulukan Akhlak di Atas Fikih

Karena tidak ada jaminan itu, maka membuka kemungkinan benar bagi fikih lain adalah sebuah kebijaksanaan, dan menutup kemungkinan itu adalah sebuah keangkuhan. Dan standar kesalehan bukanlah ketaatan pada fikihnya, tapi pada akhlak yang sifatnya universal. Kalaukah pada fikih, maka Imam Syafi’i yang tidak berqunut karena menghormati Imam Abu Hanifah tidak dikategorikan sebagai saleh. Padahal kita sepakat Imam Syafi’i orang yang saleh.

Terakhir, warisan Kang Jalal terkait “dahulukan akhlak di atas fikih” ini perlu kita bumikan di Nusantara. Di saat orang ingin menyeragamkan tata cara ibadah. Bahkan di saat orang mengganggap salah dan bid’ah pada yang lain, di saat orang menganggap agama hanya fikih belaka, paradigma dahulukan akhlak di atas fikih menjadi jawaban yang tepat bagi kondisi Nusantara kita.

Dengan paradigma ini maka kita akan lihat bagaimana harmonisnya orang bermakmum di belakang imam yang berbeda mazhab, orang bersantap ria saat berbuka puasa dan banyak lagi. Boleh saja anda mengklaim bahwa mazhab Anda benar, tapi jangan menutup kemungkinan bahwa mazhab Anda pun bisa salah. Dan boleh saja anda menganggap mazhab yang lain salah, tapi jangan menutup kemungkinan mazhab yang lain benar. Dengan seperti ini toleransi dan saling menghargai akan terwujud. Inilah paradigma mendahulukan akhlak di atas fikih. Inilah fikih yang inklusif. Fikih yang menerima keniscayaan keberagaman. ***

Sumber https://tanwir.id/belajar-paradigma-fikih-inklusif-kepada-kang-jalal/