28/02/22

MIRAJ DAN THE LOST ART OF SCRIPTURE [by Asep Salahudin]

Keren Armstrong kembali menerbitkan buku terbarunya (2021), The Lost Art of Scripture: Menikmati Sunyi, Bunyi dan Visi dalam Menghayati Pesan Agama. Saya kira buku ini sangat relevan untuk konteks keindonesiaan dengan agama yang beragam dan multikultural. Armstrong dengan tekun melacak seluruh kitab suci sepanjang sejarah manusia dan mengungkap jeroan agama sampai kemudian tersibak hakikatnya.

Bahwa hakikat agama yang benar mengajarkan umat manusia hidup berdampingan, penuh kasih. Kembali pada agama-agama artinya tiba pada Yang Sakral untuk selanjutnya  giat menata hidup dalam terang ilahiah.

Bahwa kitab suci seharusnya dibaca tidak seja mengandalkan kekuatan otak kiri yang serba harfiah, hitam putih dan skriptural tapi sudah saatnya melibatkan secara intim  otak kanan agar kitab suci kembali berbunyi seperti alunan musik yang menggetarkan jiwa. Sehingga tafsiran kitab suci alih-alih saling diperebutkan tapi dijadikan “api unggun” tempat semua umat beragama berkumpul mencari kehangatan, pencerahan dan saling belajar satu dengan lainnya.

Kekerasan atas nama apa pun bukan hanya tertolak, tapi juga jadi parameter otentisitas agama itu sendiri. Keaslian agama harus diletakkan pada kesungguhan umat beragama menghadirkan hidup yang menjauh dari konflik dan menepis ketegangan. Agama jadi inspirasi abadi bagi kepastian cinta kasih menjadi jalan keutamaan. 

Hologram spiritual

27 Rajab yang bertepatan dengan 28 Februari 2022 bagi umat Islam dipandang penting karena mengingatkan pada peristiwa kenabian Isra Miraj. Peristiwa yang melambangkan tentang langit spiritualisme yang bertaut dengan dunia materialisme. Isra adalah perjalanan malam dari Masjidil Haram yang ada di Mekkah menuju Masjidil Aqsa yang berlokasi di Yarussalem, tempat kelahiran para Nabi yang sekarang menjadi medan sengketa banyak pihak. Sementara miraj penanda kenaikan Sang Nabi menuju Tuhan, menggapai puncak kearifan yang dikenal dengan “Sidratul Muntaha.” Sidrah arinya pohon bidara dan al-muntaha yang paling ujung.

Namun Kanjeng Nabi tidak berhenti di langit, tapi justru turun lagi menyatu dengan hiruk pikuk manusia. Nabi menjadi bagian dari gemuruh sejarah.  Miraj sebagai tempat transit spiritual sebagai modal ruhaniah dalam rangka mengabarkan pesan-pesan kebaikan, menyerukan alternatif hidup yang tidak  terkerangkeng tubuh tapi melampaui tubuh. Hidup dengan cita-cita, harapan dan masa depan yang menjanjikan. Atau dalam kata-kata mistikus Benediktin yang dikutip Armstrong, “Kita adalah jagat kecil, mikrokosmos yang di dalamnya makrokosmos hadir sebagai hologram. Kita dikelilingi oleh realitas transenden atau yang bergerak melampaui pemahaman konseptual kita.”

Miraj menjadi counter culture sekaligus kontra narasi atas faham keagamaan yang dogmatik, tertutup dan hitam putih. Lewat miraj agama dikembalikan lagi pada khittahnya: sebagai realitas tertinggi atau dalam istilah Martin Heidegger Sein (being atau wujud) di mana energi fundamental tentang kebaikan bisa diterapkan. Tuhan, Brahman, Dao, Elohim menjadi “fungsional” karena spiritnya menjadi gelombang  penunjuk arah manusia cepat menemukan hakikat imannya, tiba pada inti keyakinannya yang asasi. 

Atau dalam istilah Frederick Streng, “Agama adalah sarana transformasi tertinggi. Transformasi tertinggi adalah perubahan mendasar dari keadaan terperangkap dalam masalah-masalah eksistensi bersama (dosa, kebodohan) menjadi hidup dalam cara tertentu sehingga seseorang dapat mengatasi masalah-masalah ini pada tingkat paling dalam. Kapasitas untuk hidup seperti itu memungkinan seseorang mengalami realitas yang paling autentik atau terdalam –yang tertinggi”

Jalan dialog

Konon ketika Nabi bermiraj, Nabi dipertemukan dengan nabi-nabi terdahulu, melakukan komunikasi intensif sekaligus menerima masukan mereka tentang kuantitas sembahyang. Bagi saya riwayat purba seperti ini menjadi isyarat tentang agama-agama yang terhubung satu dengan lainnya, dipersatukan oleh kearifan perennial (al-hikmah al-khalidah) dan kebaikan universal.
Miraj mengajarkan tentang rongga dialog yang harus terus dibuka. Dialog yang bukan berhenti sebatas saling memahami, tumbuhnya toleransi dan tertanamnya sikap moderasi tapi harus lebih dari sekadar  itu,  dialog adalah satu jalan untuk merengkuh “ada”. Dialog sebagai jembatan sampai pada pengalaman eksistensial bahwa kehadiran orang lain  sesungguhnya yang membuat kehadiran kita menjadi bermakna dan memiliki arti. Konsep diri kita didefiniskan orang lain.

Dialog menjadi alas setiap kita bisa menyelami keunikan pengalaman keagamaan yang paling subtil  yang diacukan pada upaya terus menerus menemukan jawaban atas problem kemanusiaan yang pelik.  Dialog yang tidak melulu  berporos pada tema ketuhanan yang abstrak-metafisis tapi diarahkan menjadi sebuah percakapan setara  dengan kesadaran yang kritis, transformatif dan konstruktif. Refleksi teologis akhirnya hadir dengan kemampuan  menampilkan warna iman yang toleran dan meneduhkan.  

Sebagaimana disampaikan Hans Kung, bahwa roh  agama dan hakikat religiositas diletakkan pada hamparan kemanusiaan. Agama jauh lebih penting untuk dihayati daripada melulu didiskusikan di ruang seminar atau dibedah di meja akademik  yang serba teoritik. Dan penghayatan itu menjadi benar manakala tersambung dengan cara hidup yang benar dan lurus. 

Dialog yang berangkat dari upaya meletakkan kebenaran iman tidak pada kekuatan teks itu sendiri, tapi sejauhmana teks ini membawa perubahan ke arah hidup lurus. Dialog yang mengandaikan teologia semper reformanda (teologi yang tak henti diperbarui) 

Dialog menjadi jalan lapang menuju Tuhan. Dalam nafas seperti ini al-Quran memperkenalkan istilah sirath, subul, syirah, mansak, atau thariqat. Semua frasa itu merujuk pada  makna agama sebagai jalan menuju Tuhan. Lukulli minkum syiratan wa mihaja. Kata sabil seringkali diperkenalkan  dalam bentuk jamak subul yang artinya jalan yang banyak. “Dan dengan al-Quran itu Allah akan memberikan petunjuk kepada siapa yang ingin mencapai rida-Nya dengan berbagai jalan keselamatan (subulus salam).” Dalam ayat lain lebih terang lagi dinyatakan, “Mereka yang sungguh-sungguh mencari jalan-Ku, pasti akan Kami tunjukkan mereka berbagai jalan-Ku.”   

Miraj sebagai hologram spiritual sekaligus jalan dialog yang memungkinkan hidup lebih berarti. ***

Dr Asep Salahudin, Rektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya

Artikel dimuat HU Kompas, 28 Februari 2022