Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma shalli ‘ala Sayyidina
Muhammad wa Ali Sayyidina Muhammad
Hari Jumat lalu, SMA Plus Muthahhari Bandung menerima kunjungan mahasiswa dan dosen Institute Agama Islam Bakti Negara, Tegal. Sejak berdiri, sekolah menengah ini rajin menerima studi banding, hingga jadi bahan untuk skripsi, tesis, disertasi hingga berbagai penelitian. Sekiranya dilaporkan, bisa jadi tercatat sebagai sekolah yang termasuk tertinggi dalam menerima berbagai kunjungan ilmiah di negeri ini.
Suasana berlangsung
hangat, cair, penuh keakraban. Sesekali joke politik menyertai kebersamaan.
Tiba-tiba, di tengah acara, hadir tamu istimewa. Prof. Dr. Asmal May, dosen dan
peneliti dari UIN Sunan Syarif Kasim, Riau. Beliau datang setelah menghadiri
acara internasional di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Acara selesai, dan beliau menambah waktunya
di Bandung dua hari. Katanya, “Khusus agar bisa silaturahim ke Muthahhari.”
Jadilah kami berfoto bersama, dan kami persilakan beliau untuk bicara.
Guru-guru berfoto bersama para guru besar. Bersama Ustadz Jalal dan para dosen
pembimbing itu.
Banyak sekali yang
disampaikan. Mulai dari perbincangan tentang sistem zonasi, hingga mengapa guru
Biologi (secara statistik) kebanyakan perempuan, setidaknya demikian data
alumni menurut para dosen itu. Yang ingin saya bagikan justru, kehadiran Prof.
Asmal yang—entah keberapa kali ini, untuk berkunjung dan silaturahmi pada
Ustadz Jalal.
Prof. Asmal datang
dengan cerita proposal penelitian yang kedua (tentang kami). Sebelumnya, beliau
meneliti simpang siur berita tentang kami, tentang mazhab yang katanya ada pada
kami, tentang jamaah dan orang-orang di sekitarnya. Kesimpulan penelitian
beliau—yang resmi disponsori dan diserahkan Kementerian Agama—menunjukkan tidak
ada perbedaan berarti. Dalam bahasa beliau, “Semuanya sama saja. Semuanya rukun
bermasyarakat. Shalat berjamaah bersama. Ibadah bersama-sama. Hanya ada
perbedaan secara historis, tentang apa yang dimaksud dengan wasiat Nabi Saw.
Itu saja.” Demikian sebagaimana disampaikan oleh beliau.
Kali ini, beliau datang
dengan judul penelitian yang baru: Tasawuf di tengah Pengikut Ahlul Bait as.
Untuk itulah, Jumat malam yang lalu kami bertemu. Beliau membuka dengan
runtunan pertanyaan: “Bagaimana kajian, ajaran dan amalan tasawuf di antara
pengikut Ahlul Bait as? Adakah amalan harian? Adakah pembaiatan? Apakah ada
tarekat secara khusus, di mana pusatnya?” Memang, naluri sebagai peneliti
berbeda. Terasah oleh waktu. Pertanyaannya ringkas tetapi mencakup semua aspek.
Menjawabnya tidak cukup dengan sekali atau dua bertemu.
Saya ditemani oleh
beberapa kawan yang menurut saya lebih mendalami Tasawuf itu. Bersama mereka,
demikian jawaban yang disampaikan.
Pertama, tasawuf di
kalangan pengikut Ahlul Bait as lebih dikenal dengan ‘Irfan. Pembahasan
teoritisnya sangat panjang, sangat kaya. Saya sampaikan rujukan beberapa
narasumber yang lebih kompeten. Mereka yang mengkaji teoritis Irfan ini hingga
puluhan tahun lamanya. Dan bahkan mungkin masih banyak yang belum dikaji. Tapi,
untuk pengamalannya, merujuk saja pada sebuah kitab Mafatih al-Jinan. Tertulis
lengkap di dalamnya amalan harian dan malam hingga setahun penuh. Shalat-shalat
khusus, shalawat dan ziarah, doa dan munajat. Semuanya. Saya kira, sulit bagi
seorang pengikut Ahlul Bait as untuk dapat mengamalkan semuanya. Setidaknya,
bagi saya. Belum lagi doa-doa semisal Shahifah Sajjadiyyah dan khazanah warisan
munajat suci lainnya.
Lalu, di mana pusatnya,
adakah pembaiatan? Sependek pengetahuan saya, tarekat sebagaimana tarekat yang
dimaksud dalam Thariqah Mu’tabarah, dengan silsilah sanad yang terhubung pada
Baginda Nabi Saw, ada sedikit perbedaan. Mari mulai dengan, tidak ada tarekat
terstruktur seperti itu. Dengan mursyid dan wali universal untuk semuanya.
Mengapa? Saya jelaskan belakangan. Setidaknya, demikian di negara-negara dengan
mayoritas pengikut Ahlul Bait as seperti Iran, Iraq, Libanon, Azerbaijan dan
sekitarnya. Memang ada tarekat-tarekat yang terstruktur, seperti Ni’matullahi,
Maryamiyyah, tapi semua rata-rata berkembang di Eropa dan Amerika, dengan lebih
sebagai organisasi jam’iyyah (mirip ormas) ketimbang tarekat ruhaniah. Yang
jelas—lagi-lagi sependek pengetahuan saya: tidak ada pembaiatan. Lalu, kepada
siapa mereka merujuk? Dan di manakah pusatnya?
Nah, di sinilah
kekhasannya. Para pengikut Ahlul Bait as percaya bahwa wali zaman itu masih hidup.
Mursyid agung itu masih hadir. Dalam istilah tasawuf, para wali kutub, mereka
yang keberadaannya menjadi wasilah keberlangsungan nikmat. Pasca Hindu,
Indonesia dipengaruhi oleh ajaran Islam. Simak bagaimana gelar raja Jogja
mengisyaratkan wali kutub itu: Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun
Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalogo Ngabdurrahman Sayyidin
Panotogomo Khalifatullah. Hamengku Buwono, Panotogomo, Khalifatullah…adalah
gelaran-gelaran paku bumi itu.
Bagi para pengikut Ahlul
Bait as, mereka merujuk pada ulama, dan mereka percaya bahwa wali zaman itu
memberikan keberkahannya pada para ulama itu. Inilah silsilah
‘tarekat’nya.
Lalu, pusatnya? Di mana
pusat tarekat dengan berbagai cerita karamah yang menyertainya? Jawaban saya:
di tempat di mana hati sebagian manusia diikat dengan penuh cinta, yaitu pusara
al-Ma’shumin as. Inilah pusat tasawuf para pengikut mazhab Ahlulbait as. Di
antaranya adalah Pusara Imam Ali bin Musa ar-Ridha as. ***
@miftahrakhmat