28/02/22

ISRA MIKRAJ PANDEMI [by Miftah F. Rakhmat]

Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Ali Sayyidina Muhammad.

Sekeping gambar dari kemacetan Puncak mengejutkan saya. Motor yang berjejal dan antrian kendaraan yang mengular. Libur panjang Isra Mikraj tahun ini. Pemerintah yang meningkatkan level PPKM pada Level 3 seakan harus menelan ludah. Tak banyak dampaknya, tak ada perubahan. Meski angka kasus terus menaik, tak terlihat geliat seperti setahun pertama pandemi. Masyarakat mungkin sudah lelah, atau kondisi ekonomi yang tak lagi dapat berkompromi. Bukan hanya di negeri kita, beberapa negara juga sama. Malaysia tak lagi mengumumkan angka harian. Eropa memperlonggar aturan. Ditambah dengan konflik Ukraina yang menambah kemalangan. 

Apakah kita sudah menyerah melawan pandemi ini? Pertanyaan ini tidak sama bagi setiap orang. Tidak semua kita dapat bertahan di dalam rumah, dengan kondisi tercukupi. Aksi solidaritas setahun atau dua, tak banyak terlihat lagi. Alhamdulillah, terima kasih pada pemerintah, program vaksinasi di Indonesia termasuk yang berjalan cepat. Didukung oleh berbagai elemen masyarakat, vaksin booster pun diberikan tanpa biaya. Tentu banyak anggaran negara yang dialihkan untuk itu. Ini saatnya kita mengencangkan ikat pinggang kita. 

Di sinilah, makna Isra Mikraj hadir membimbing kita. Dalam sejarahnya, peristiwa ini dihadiahkan pada Baginda Nabi Muhammad Saw setelah tahun-tahun terberat dalam hayat penuh kesucian Baginda. Beliau menyebut tahun sebelum peristiwa besar ini sebagai ‘aamul huzni, tahun kesedihan. Tahun dukacita. Baginda Nabi Saw adalah teladan kita semua. Dan kita teramat memerlukan teladan terutama pada saat-saat berat dalam hidup kita. Saat ketika kita dituntut untuk bersabar. Saat musibah, saat duka cita, saat kehilangan. Bila ditanya, kapankah saat terberat dalam hidup Baginda Nabi Saw, kita akan merujuk pada tahun duka cita itu. Tahun yang mengajarkan kesabaran bagi kita untuk menghadapi pandemi ini. Tahun ketika Baginda Nabi Saw dikarantina.

Ya, dalam sejarah Islam, Baginda Nabi Saw pernah dikarantina. Menarik bila kisah-kisah karantina itu tak mengemuka selama dua tahun pandemi ini. Tujuh tahun setelah diangkat menjadi Nabi, kaum Quraisy Makkah sepakat untuk memboikot Bani Hasyim dan pemimpinnya. Mereka yang selama ini melindungi Baginda Nabi Saw dan dakwahnya. Dengan boikot ini, Bani Hasyim dikucilkan ke sebuah tempat bernama Syi’b Abu Thalib. Sang pemimpin, Abu Thalib, tidak rela menyerahkan Baginda Nabi Saw pada orang-orang Quraisy. Dan untuk itu, Bani Hasyim bertahan dikucilkan, diekskomunikasikan, terputus dari dunia luar, bertahan dari barang-barang seadanya. Dengan panah para pemburu yang dialamatkan pada mereka dari tepian gunung Abu Qubays. Begitu rupa, sehingga Abu Thalib mesti memperedarkan peraduan Baginda Nabi Saw. Sekali di tempat tidur Ja’far, atau Ali, atau Aqil. Demi menghindari mereka yang ingin mencelakai Rasulullah Saw. Pada peristiwa inilah, pembatasan kegiatan sosial kita mesti merujuk mengambil pelajaran. 

Kita memasuki tahun ketiga pandemi. Demikian pula lamanya karantina Bani Hasyim dan Baginda Nabi Saw. Semoga dengan merujuk pada kisah-kisah itu, kita dikaruniai bekal ekstra kesabaran untuk kembali bertahan. Menjalani pemboikotan yang berat itu, Sayyidah Khadijah jatuh sakit. Beliaulah istri Baginda Nabi Saw yang menemani masa-masa berat Baginda Nabi Saw. Ketika karantina berakhir, kesehatannya tak berangsur pulih. Ia wafat pada sepuluh bulan suci Ramadhan tahun 10 kenabian. Paman Nabi, Abu Thalib telah wafat dua bulan sebelumnya pada 26 Rajab dalam usia 90 tahun. Dalam riwayat yang lain, Abu Thalib wafat tiga hari sebelum Siti Khadijah, salaamullah ‘alaihima. 

Baginda Nabi Saw teramat berduka. Tahun kesedihan, ujar beliau. Dan, menurut riwayat umum, kemudian Allah Swt karuniakan kesempatan Isra dan Mikraj untuk menghibur Rasulullah Saw, untuk membahagiakan beliau. Apakah Baginda Nabi Saw tidak menerima kehilangan orang-orang terdekatnya, tidak pasrah pada ketentuan Tuhan? Tentu jauhlah Baginda Nabi Saw dari semua itu.  Beliau teramat pasrah dan berserah diri kepada Allah Swt. Meski demikian, banyak keterangan menyebutkan, Isra Mikraj adalah hadiah untuk menghibur duka Rasulullah Saw. Dalam beberapa kisah perjalanan Isra Mikraj ini pun tidak ditemukan perjumpaan Baginda Nabi Saw dengan Siti Khadijah, melainkan dengan para nabi yang berbaris shalat dengan Baginda Nabi Saw sebagai Imam. 

‘Ala kulli haal, apa yang bisa kita petik dari peristiwa ini? Pertama, teladan kesabaran menghadapi pandemi dan karantina dari pengucilan di Lembah Abu Thalib. Gali kembali kisahnya. Tanyakan pada para ustadz rinciannya. Jadikan pelajaran dan penguat bagi kita. Bagaimana Baginda Nabi Saw dan Bani Hasyim patuh pada kesepakatan bersama. Kedua, makna Isra dan Mikraj. Hadiah terbesar dari perjalanan itu adalah shalat lima kali kita. Mikrajnya orang beriman ada pada shalatnya. Seakan-akan, bagaimana pun berat ujian hidup kita, shalatlah. Di tengah pandemi sekarang ini, pelihara dan jagalah shalat-shalat kita. 

Saya melihatnya ada hal yang lain. Hadiah terbesar perjalanan Mikraj adalah cinta Baginda Nabi Saw untuk kita. Beliau sampai di satu titik—maha suci dari apa pun pensifatan—yang Malaikat Jibril as pun tidak sanggup untuk melaluinya. Baginda Saw bukan hanya melihat surga, melainkan sampai pada puncak segala damba. Di Sidratul Muntaha, di derajat yang jauh lebih dekat dari jarak apa pun yang bisa kita kira. Dan Baginda Nabi Saw ‘memilih’ untuk kembali lagi ke tengah-tengah kita. Seakan bahagia tak sempurna, tanpa bersama yang lainnya. Maka hikmah Isra Mikraj adalah: membahagiakan sesama. Itulah amalan terutama. 

Di tengah pandemi ini, amalan itu semestinya menemukan perwujudannya.

5M 3T

Sembilan hari setelah pandemi ditetapkan Pemerintah, Allah yarham ayahanda tercinta, KH. Jalaluddin Rakhmat menggelar kajian Agama Tanpa Ruh. Selama tiga puluh pertemuan, setiap minggunya beliau membahas Maqashid as-Syariah. Bagaimana sebenarnya tujuan syariat itu. Ada lima: menjaga jiwa, agama, akal, keturunan, dan harta. Beliau curahkan perhatian pada membimbing umat untuk menyelamatkan jiwa, terutama sesama. Di tengah pandemi ini, itu kita lakukan dengan protokol kesehatan yang ketat. Saudara mungkin sehat, tapi saudara bisa membawa virus ke rumah dan menularkannya pada yang rentan dan beresiko. Memang sulit meninggalkan kebiasaan, atau memulai beradaptasi dengan kebiasaan baru. Untuk ini, Sayyidina Ali berkata: “Sebaik amal adalah meninggalkan kebiasaan.” 

Tak lama lagi kita akan memasuki bulan suci Ramadhan, dengan tradisi munggahan, tarawihan dan mudik lebaran. Akan sangat sulit setelah tertahan dua tahun lamanya, untuk menahan diri melakukan semua itu. Kita akan berkata, “Sudah dua tahun ini…sudah cukup…” padahal karantina di Lembah Abu Thalib tiga tahun lamanya. Pastilah sulit menahan kerinduan itu. Atau kebiasaan kita beribadah selama ini. Jangan sampai dipertanyakan, apakah kita menyembah Tuhan atau kita menyembah cara kita beribadah pada Tuhan? 

Semua itu ada jalan tengahnya. Penerapan protokol kesehatan yang semestinya. Berbagai data silih berganti, kewaspadaan takkan membuat kita rugi. Dua tahun lamanya juga anak-anak dipisahkan dari kawan-kawan dan suasana kebersamaan sekolah, tanpa terobosan berarti dari Kementerian yang ahli TI. Maka, kiranya kesabaran kita tak belajar dari tahun kesedihan Baginda Nabi Saw, marilah mengamalkan hadiah terbesar Isra Mikraj itu: saling membahagiakan sesama. Bahagiakan mereka yang duduk bosan. Bahagiakan mereka yang dalam perawatan. Bahagiakan mereka yang berusaha bertahan. Keluarkan harta untuk saling meringankan. Jangan bahagia sendiri. Jangan selamat sendiri. Jangan cari untung sendiri. Baginda Nabi Saw ‘turun’ kembali setelah perjalanan mikraj yang suci. Untuk siapa? Untuk kita semua. 

Jadikanlah setiap niat kita ibadah. Ibadah membahagiakan sesama. Maka penerapan 5M dari Pemerintah adalah kesempatan kita untuk beribadah. Setiap kali Saudara mengenakan masker, bismillah, niatkan untuk membahagiakan sesama. Setiap kali mencuci tangan, bismillah, niatkan untuk menjaga keselamatan sesama. Setiap kali menjaga jarak, mengurangi mobilitas dan menghindari kerumunan…bismillah, semuanya untuk kemaslahatan bersama. 

Sungguh, dosa yang paling besar, kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw melanjutkan amanah guru beliau, Baginda Nabi Saw: man istakhaffa bihi shahibuhu. Dosa yang paling besar adalah dosa yang paling dianggap ringan oleh pelakunya.

Bila kita masih menganggap ringan pandemi ini, mengatakan tidak besar dampaknya, tidak seperti sebelumnya…semoga kita terhindar dari musibah dosa paling besar itu. Karena bagi sebagian kita mungkin ringan, tapi bagi yang lain bisa fatal akibatnya.

Pelajaran terbesar setelah duka kehilangan, adalah dengan membahagiakan sesama. Itulah hikmah terbesar Isra dan Mikraj Baginda Nabi Saw. Dua tahun pandemi ini setiap kita didera banyak kehilangan. Maka hiburan bagi kita untuk bangkit dari semua itu adalah dengan membahagiakan sesama kita.

Bahagiakan sesama dengan berusaha mengakhiri pandemi ini. Bahagiakan anak-anak dengan keceriaan kembali bersekolah. Bahagiakan para pelaku usaha dengan geliat perekonomian yang bergairah. Semua itu hanya terwujud, kalau kita dapat mengalahkan pandemi ini dalam sebaik kesabaran dan usaha. Semoga setiap ormas dan elemen masyarakat menjadi garda terdepan dalam mencontohkannya. 

Jadikan 5M 3T kita, amal ibadah kita. *** 

@miftahrakhmat )