25/03/22

Syiah dan Tasyayyu [by Dr Muhammad Babul Ulum]

Kata syiah, menurut bahasa, berarti pengikut atau penolong. Sebutan ini ditujukan baik untuk seseorang maupun golongan, laki-laki ataupun perempuan. Semuanya memakai satu lafadzsyîah. Karena itu, setiap golongan yang sepakat untuk menjadi pengikut setia seseorang disebut dengan Syiah tuannya. Demikian pula, seorang yang menolong orang lain dan setia kepadanya disebut sebagai syiah-nya fulan. Kalimat syî‘ah, menurut seorang ulama Syiah Lebanon, Sayid Hasyim Ma‘ruf al-Hasani, hanya dipakai dalam hal yang berkaitan dengan kesetiaan atau kepatuhan.

Sedangkan kata tasyayyu‘, menurut ulama Lebanon yang lain, Muhammad Jawad Mughniyyah adalah setia dengan penuh keikhlasan kepada tuannya. Kesimpulan ini didasarkan pada firman Allah: Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya.

Berdasarkan ayat tersebut, Jawad Mughniyyah menyimpulkan bahwa tasyayyu hanya dinisbahkan berdasarkan kesetiaan, tidak pada permusuhan. Dalam arti umum, tasyayyu adalah kesetiaan kelompok tertentu kepada seseorang.

Secara spesifik, Syi’ah hanya menunjuk pada arti khusus, yaitu sekelompok yang setia kepada Imam Ali dan menisbahkannya sebagai imam atau pemimpin kelompoknya, mengangkat derajatnya melebihi kedudukan generasi sezamannya, selain Rasulullah Saw.

Dengan demikian, dalam tradisi Islam, tasyayyu‘ telah menjadi semacam trade markbagi siapa saja yang setia kepada Imam Ali beserta anak keturunannya serta mengakui kepemimpinan (imâmah) mereka.

Abu Hasan al-Asy’ari, pencetus aliran Asy’ariah, salah satu sekte Ahlussunah pernah mengajukan pendapatnya tentang arti Syi’ah. Dalam kitabnya yang menjadi bahasan utama para santri tingkat tinggi di hampir seluruh pesantren tradisional Indonesia, ia berkata, “Mereka disebut Syi’ah karena kesetiaan mereka kepada Imam Ali dan lebih mengutamakannya dari sahabat-sahabat yang lain.”

Sementara itu, seorang mutakallim (teolog) Syi’ah, Syekh Al-Mufid, wafat Tahun 413 H, menambahkan syarat baru yang mengikat tasyayyu‘: “Dengan keyakinan bahwa Imam Ali adalah pemimpin seluruh umat Islam berdasarkan wasiat Rasulullah Saw atas kehendak Tuhan.”

Dengan merujuk pendapat ulama yang saya anggap mewakili mayoritas umat Islam, jelaslah bagi kita, apa arti yang terkandung dalam kata syî‘ah dan tasyayyu‘. Definisi Syekh al-Mufid yang ketat itu akan mengeluarkan sebagian sekte Syi’ah Zaidiyah dari Madzhab Syi’ah. Mengapa? Karena, sekte Zaidiyah Sulaimaniyah, pengikut Sulaiman bin Jarir az-Zaidi berpendapat bahwa imâmah bisa dicapai dengan mekanisme musyawarah (syûrâ) meskipun hanya dilakukan oleh dua orang yang berkompeten dari anggota terbaik masyarakat.

Bertolak dari logika seperti itu, Zaidiyah Sulaimaniyah membolehkan imâmah al-mafdhul (kepemimpinan yang bukan utama) meskipun masih ada yang afdhal (yang lebih utama).

Karena itulah, pengikut Zaidiyah berpendapat bahwa para sahabat telah menolak al-ashlah (hal yang lebih utama) dengan tidak membaiat Ali, padahal Ali lebih utama untuk menduduki jabatan Al-Imâmah wa al-Khilâfah daripada sahabat Nabi yang lainnya.

Mûsa al-Mûsawi, yang mengklaim dirinya sebagai Mujtahid Syi’ah kontemporer, menganggap tasyayyu‘ sebagai hubbu Aliy (mencintai Ali) dan lebih mengutamakannya untuk menggantikan kedudukan Rasulullah sebagai khalifah, pemimpin seluruh umat Islam. Namun, Mûsawi tidak melihat adanya nash yang jelas dalam penunjukan seorang khalifah sepeninggal Rasulullah Saw. Sabda Nabi dalam peristiwa Ghadir tidak lebih dari keinginan pribadi Muhammad Saw sebagai kerabat Ali, tidak ada hubungannya dengan “langit.”  

Oleh karena itu, menurut Mûsa al-Mûsawi, Nabi tidak memaksakan seorang khalifah yang beliau restui karena bukan merupakan perintah “langit.” Karena itu, Al-Mûsawi melihat suatu keniscayaan untuk memisahkan keinginan pribadi Rasulullah sebagai manusia biasa sebagaimana umumnya dengan perintah langit.

Berbeda dengan para ulama Syi’ah lainnya, Mûsa al-Mûsawi menjustifikasi ketiga khalifah sebelum Imam Ali, meskipun sebenarnya Ali-lah yang lebih berhak menjadi al-Khalîfah daripada mereka. Munculnya ragam pendapat di atas disebabkan oleh adanya perkembangan akidah Syi’ah secara umum. Namun, satu hal yang tidak diragukan lagi bahwa pokok akidah mereka adalah satu, yaitu mengutamakan Imam Ali dan memberikan hak khilafah kepadanya. Keyakinan inilah yang menghimpun berbagai kelompok Syi’ah. Dalam perkembangan selanjutnya, meskipun berasal dari satu rumpun keyakinan, Syi’ah terpecah menjadi beberapa kelompok sebagaimana yang terjadi juga dalam madzhab yang lainnya.

Selain itu, kelompok Ghulat (ekstrem) juga tidak termasuk ke dalam kategori Syi’ah, karena mereka telah melewati batasal-Imâmah ke dalam wilayah al-Ulûhiyyah. Sekte lainnya yang tidak ada hubungannya dengan Syi’ah yang sebenarnya adalah sekte Sabaiyah, yang konon merupakan pengikut Abdullah bin Saba’, tokoh fiktif yang menuhankan Imam Ali.

Begitu juga sekte Rafizhah tidak dapat dikategorikan sebagai Syi’ah, sebagaimana anggapan mayoritas kaum Muslimin, terlebih kaum Wahabi, yang mengeluarkan Syi’ah dari lingkungan umat Islam.

Untuk itu, haruslah ada pemisahan secara tegas antara al-Mutasyayyi’ al-Haqîqî (yang benar-benar Syi’ah) dan mereka yang berpura-pura tasyayyu‘ dengan tujuan menodai nama baik Syi’ah atau Islam itu sendiri. Fenomena tersebut di atas telah tercium oleh Mushthafa Syak’ah, salah seorang ulama akademisi Mesir.

Beliau pernah memperingatkan adanya sekelompok orang yang dendam terhadap Islam. Mereka hendak menodai kesucian Islam dengan menghembuskan kebohongan-kebohongan di tengah umat Islam, menebar permusuhan, serta menanamkan keraguan di antara sesamanya. Mereka paham benar akan hubungan emosional umat Islam dengan keluarga suci Nabi Muhammad Saw dan penderitaan yang dialaminya, baik karena perbuatan rezim Umayah maupun Abbasiyah.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kata syî‘ah mempunyai dua makan. Pertama, menurut bahasa, syî‘ah berarti sekelompok yang setia kepada suatu ide atau seseorang. Kedua, menurut istilah, syi’ah adalah suatu kelompok yang mempunyai ciri khas tersendiri yang sudah dikenal, baik di kalangan fuqaha maupun ahli sejarah. Kelompok terakhir inilah yang mereka maksudkan bila kata syi’ah disebutkan. ***

Dr Muhammad Babul Ulum adalah Dosen STFI Sadra Jakarta