Kata syiah, menurut bahasa, berarti pengikut atau penolong. Sebutan ini ditujukan baik untuk seseorang maupun golongan, laki-laki ataupun perempuan. Semuanya memakai satu lafadz: syîah. Karena itu, setiap golongan yang sepakat untuk menjadi pengikut setia seseorang disebut dengan Syiah tuannya. Demikian pula, seorang yang menolong orang lain dan setia kepadanya disebut sebagai syiah-nya fulan. Kalimat syî‘ah, menurut seorang ulama Syiah Lebanon, Sayid Hasyim Ma‘ruf al-Hasani, hanya dipakai dalam hal yang berkaitan dengan kesetiaan atau kepatuhan.
Sedangkan kata tasyayyu‘, menurut ulama Lebanon yang lain, Muhammad Jawad
Mughniyyah adalah setia dengan penuh keikhlasan kepada
tuannya. Kesimpulan ini didasarkan pada firman Allah: Maka orang yang
dari golongannya meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan orang yang
dari musuhnya.
Berdasarkan ayat
tersebut, Jawad Mughniyyah menyimpulkan bahwa tasyayyu hanya
dinisbahkan berdasarkan kesetiaan, tidak pada permusuhan. Dalam arti
umum, tasyayyu adalah kesetiaan kelompok tertentu kepada
seseorang.
Secara spesifik,
Syi’ah hanya menunjuk pada arti khusus, yaitu sekelompok yang setia kepada Imam
Ali dan menisbahkannya sebagai imam atau pemimpin kelompoknya, mengangkat derajatnya
melebihi kedudukan generasi sezamannya, selain Rasulullah Saw.
Dengan demikian, dalam
tradisi Islam, tasyayyu‘ telah menjadi semacam trade
markbagi siapa saja yang setia kepada Imam Ali beserta anak keturunannya
serta mengakui kepemimpinan (imâmah) mereka.
Abu Hasan al-Asy’ari,
pencetus aliran Asy’ariah, salah satu sekte Ahlussunah pernah mengajukan
pendapatnya tentang arti Syi’ah. Dalam kitabnya yang menjadi bahasan utama para
santri tingkat tinggi di hampir seluruh pesantren tradisional Indonesia, ia
berkata, “Mereka disebut Syi’ah karena kesetiaan mereka kepada Imam Ali dan
lebih mengutamakannya dari sahabat-sahabat yang lain.”
Sementara itu, seorang
mutakallim (teolog) Syi’ah, Syekh Al-Mufid, wafat Tahun 413 H, menambahkan
syarat baru yang mengikat tasyayyu‘: “Dengan keyakinan bahwa Imam
Ali adalah pemimpin seluruh umat Islam berdasarkan wasiat Rasulullah Saw atas
kehendak Tuhan.”
Dengan merujuk
pendapat ulama yang saya anggap mewakili mayoritas umat Islam, jelaslah bagi
kita, apa arti yang terkandung dalam kata syî‘ah dan tasyayyu‘.
Definisi Syekh al-Mufid yang ketat itu akan mengeluarkan sebagian sekte Syi’ah
Zaidiyah dari Madzhab Syi’ah. Mengapa? Karena, sekte Zaidiyah Sulaimaniyah,
pengikut Sulaiman bin Jarir az-Zaidi berpendapat bahwa imâmah bisa
dicapai dengan mekanisme musyawarah (syûrâ) meskipun hanya dilakukan
oleh dua orang yang berkompeten dari anggota terbaik masyarakat.
Bertolak dari logika
seperti itu, Zaidiyah Sulaimaniyah membolehkan imâmah al-mafdhul (kepemimpinan
yang bukan utama) meskipun masih ada yang afdhal (yang lebih
utama).
Karena itulah,
pengikut Zaidiyah berpendapat bahwa para sahabat telah menolak al-ashlah (hal
yang lebih utama) dengan tidak membaiat Ali, padahal Ali lebih utama untuk
menduduki jabatan Al-Imâmah wa al-Khilâfah daripada sahabat
Nabi yang lainnya.
Mûsa al-Mûsawi, yang
mengklaim dirinya sebagai Mujtahid Syi’ah kontemporer, menganggap tasyayyu‘ sebagai hubbu
Aliy (mencintai Ali) dan lebih mengutamakannya untuk menggantikan
kedudukan Rasulullah sebagai khalifah, pemimpin seluruh umat Islam. Namun,
Mûsawi tidak melihat adanya nash yang jelas dalam penunjukan
seorang khalifah sepeninggal Rasulullah Saw. Sabda Nabi dalam peristiwa Ghadir
tidak lebih dari keinginan pribadi Muhammad Saw sebagai kerabat Ali, tidak ada
hubungannya dengan “langit.”
Oleh karena itu,
menurut Mûsa al-Mûsawi, Nabi tidak memaksakan seorang khalifah yang beliau
restui karena bukan merupakan perintah “langit.” Karena itu, Al-Mûsawi melihat
suatu keniscayaan untuk memisahkan keinginan pribadi Rasulullah sebagai manusia
biasa sebagaimana umumnya dengan perintah langit.
Berbeda dengan para
ulama Syi’ah lainnya, Mûsa al-Mûsawi menjustifikasi ketiga khalifah sebelum
Imam Ali, meskipun sebenarnya Ali-lah yang lebih berhak menjadi al-Khalîfah daripada
mereka. Munculnya ragam pendapat di atas disebabkan oleh adanya perkembangan
akidah Syi’ah secara umum. Namun, satu hal yang tidak diragukan lagi bahwa
pokok akidah mereka adalah satu, yaitu mengutamakan Imam Ali dan memberikan hak
khilafah kepadanya. Keyakinan inilah yang menghimpun berbagai kelompok Syi’ah.
Dalam perkembangan selanjutnya, meskipun berasal dari satu rumpun keyakinan,
Syi’ah terpecah menjadi beberapa kelompok sebagaimana yang terjadi juga dalam
madzhab yang lainnya.
Selain itu, kelompok
Ghulat (ekstrem) juga tidak termasuk ke dalam kategori Syi’ah, karena mereka
telah melewati batasal-Imâmah ke dalam wilayah al-Ulûhiyyah. Sekte
lainnya yang tidak ada hubungannya dengan Syi’ah yang sebenarnya adalah sekte
Sabaiyah, yang konon merupakan pengikut Abdullah bin Saba’, tokoh fiktif yang
menuhankan Imam Ali.
Begitu juga sekte
Rafizhah tidak dapat dikategorikan sebagai Syi’ah, sebagaimana anggapan
mayoritas kaum Muslimin, terlebih kaum Wahabi, yang mengeluarkan Syi’ah dari
lingkungan umat Islam.
Untuk itu, haruslah
ada pemisahan secara tegas antara al-Mutasyayyi’ al-Haqîqî (yang
benar-benar Syi’ah) dan mereka yang berpura-pura tasyayyu‘ dengan
tujuan menodai nama baik Syi’ah atau Islam itu sendiri. Fenomena tersebut di
atas telah tercium oleh Mushthafa Syak’ah, salah seorang ulama akademisi Mesir.
Beliau pernah
memperingatkan adanya sekelompok orang yang dendam terhadap Islam. Mereka
hendak menodai kesucian Islam dengan menghembuskan kebohongan-kebohongan di
tengah umat Islam, menebar permusuhan, serta menanamkan keraguan di antara
sesamanya. Mereka paham benar akan hubungan emosional umat Islam dengan
keluarga suci Nabi Muhammad Saw dan penderitaan yang dialaminya, baik karena
perbuatan rezim Umayah maupun Abbasiyah.
Berdasarkan penjelasan
di atas, dapat disimpulkan bahwa kata syî‘ah mempunyai dua makan. Pertama, menurut bahasa, syî‘ah berarti sekelompok
yang setia kepada suatu ide atau seseorang. Kedua, menurut istilah,
syi’ah adalah suatu kelompok yang mempunyai ciri khas tersendiri yang sudah
dikenal, baik di kalangan fuqaha maupun ahli sejarah. Kelompok terakhir inilah
yang mereka maksudkan bila kata syi’ah disebutkan. ***
Dr Muhammad Babul Ulum adalah Dosen STFI Sadra Jakarta