03/04/22

Belajar Tasawuf: Ikhlas (Ketulusan Hati) [by Kholid Al Walid]

“Tidaklah kecuali semata hanya untuk Allah agama yang tulus” (QS 39: 3). Tidaklah agama yang murni dari segala jenis elemen riya', keburukan dari ujub, penghiasan dan sepertinya kecuali semata hanya untuk Allah. Inilah makna ketulusan, yaitu penyucian perbuatan dari segala penghalang. 

Bagian pertama dari ketulusan (ikhlas) adalah menghilangkan perhatian perbuatan dari perbuatan, melepaskan dari tuntutan balasan bagi perbuatan, menurunkan dengan ridha terhadap perbuatan. Menghilangkan perhatian perbuatan, yaitu tidak memandang bahwa perbuatan baik yang dilakukan karena dirinya; tetapi bahwa perbuatan baik yang dilakukan tidak lain karena pemberian Allah kepada dirinya.

Dirinya melepaskan perhatian pada perbuatan baik pada dirinya, tetapi melihat bahwa sumber kebaikan yang muncul pada dirinya tidak lain dari Allah SWT. Karena perbuatan baik itu berasal dari Allah maka dihadapan perbuatan baik tidak layak ada harapan untuk mendapatkan imbalan atau mendapatkan sesuatu sebagai apresiasi atas perbuatan baik tersebut karena perbuatan baik tersebut bukan berasal dari dirinya. Sedangkan turun pada ridha pada perbuatan bahwa dirinya merasa puas dengan perbuatan baik yang dilakukannya, sehingga menghentikannya hanya pada kondisi tersebut dan ini akan menghalangi dirinya memiliki ketulusan kepada Allah karena bagi Allah perbuatan baik tidak memiliki arti tanpa ma'rifah yang benar tentang al-Haqq.

Bagian kedua adalah rasa malu atas perbuatan baik yang dikerjakan, sekali pun hasil dari kesungguhan. Tetap dalam kesungguhan, sekali pun bersandar pada penyaksian ruhaniahnya, memandang perbuatan sebagai cahaya petunjuk dari sumber pancaran. Malu dalam memandang kebaikan yang dilakukan bahwa apa yang dikerjakan semua karunia Allah yang sesungguhnya dirinya tidak layak mendapatkan karunia Allah tersebut. Sekali pun dirinya melakukan kesungguhan itu pun kemuliaan yang Allah berikan untuknya. Imam Ja'far As-Shadiq as menyatakan, "Setiap kebaikan yang keluar dari seorang hamba adalah Rahmat al-Rahim baginya."

Sekali pun pada kedudukan ini salik harus berhukum dengan hukum batin yang dihasilkan melalui penyaksian ruhaniahnya, tetapi dirinya tetap secara zhahir mengikuti aturan zhahir dengan kesungguhannya. Karena zhahir tetap dalam ketetapan zhahirnya. Syaikh Abdullah Anshari berkata, "Haqiqote daryo Syareate qisti dar daryo be ceh nesasti" (Hakikat itu lautan dan Syariat itu kapalnya di lautan kita mau duduk di mana).

Melihat perbuatan baik dalam cahaya petunjuk bahwa pada tingkat ini salik sudah melihat haybah Ilahi yang dengan itu ia menyaksikan tidak ada kebaikan apa pun kecuali semuanya keluar dari-Nya dan dirinya serta penyaksiannya adalah cahaya yang Allah singkapkan atasnya sehingga terbuka mata pancaran-Nya.

Bagian Ketiga adalah pengikhlasan amal melalui pengikhlasan dari amal sehingga mengikuti jalannya ilmu, menjalani jalan penyaksian hukum, keterbebasan dari liputan kebiasaan (al-rusum). Bahwa pengikhlasan amal dari amal, yaitu menghilangkan seluruh kesadaran dan pikiran terhadap seluruh tindakan dan amal yang dilakukan, sehingga tidak ada lagi kesadaran tentang dirinya.

Perlu diketahui bahwa hakikat Tauhid adalah penafian diri. Yang ditempuh berdasarkan jalan ilmu atas penyaksian hakiki yang terbuka dihadapannya, bukan lagi atas dasar ketentuan zhahir yang harus diikutinya. Karena penyaksian hakiki adalah kebenaran hukum baginya, maka hakikat dari hukum zhahir yang pernah diikutinya. Hukum batin baginya adalah hujjah hakikat yang benar. Kebiasaan yang dimaksud adalah efek yang timbul dari perjalanan yang ditempuhnya.

Bagi salik, selain al-Haqq, tidak lagi memiliki makna betapa pun kemudian karamah yang muncul pada dirinya bukanlah sesuatu baginya, bahkan hal tersebut justru menganggu dirinya. Mengapa? Karena dibalik karamah yang muncul terselip kemuliaan di mata manusia yang justru akan merusak hakikat kesadarannya tentang al-Haqq.

Ada syair sufi menyebutkan: "Dalam cahaya-Nya tak ada lagi aku karena Engkaulah yang benderang." Semakin dekat maka semakin dirinya hilang dan tersembunyi. Hanya yang rendah yang menampilkan dirinya. *** (Dr Kholid Al Walid adalah Dosen STFI Sadra Jakarta)

 => Belajar Tasawuf bisa Anda ikuti pada YouTube MISYKAT TV