09/04/22

Shalat di Qashar saat Safar (Bepergian)

Musim Syiah selalu mengqashar shalat fardhu ketika ia menjadi musafir (bepergian). Padahal yang lebih utama, menurut Ahlussunnah, adalah menyempurnakan shalat, bukan memendekkannya. 

“Ada perselisihan pendapat tentang, apakah qashar shalat dalam perjalanan itu suatu ‘azimah  (keharusan mutlak) yang tidak boleh ditinggalkan, atau hanya merupakan rukhshah  (keringanan) yang menjadi pilihan antara mengqashar dan menyempurnakan? Dalam hal ini Hanafi dan Imamiyah berkata: Ia merupakan ‘azimah (sesuatu yang diharuskan). Jadi qashar adalah ketentuan. Sedangkan mazhab lainnya mengatakan: ia hanya rukhshah. Jika mau dikerjakan  qashar, dan  kalau  tidak,  boleh menyempurnakan shalat.”[1]

Menurut mazhab Syiah Imamiyah, dalam perjalanan shalat fardhu wajib di qashar berdasarkan keterangan-keterangan di bawah ini.

Dari Ibn Abbas: Allah mewajibkan shalat melalui lidah Nabi Muhammad saw untuk musafir dua raka’at dan untuk muqim (yang tidak  bepergian)  empat  raka’at  (Shahih Muslim 1: 258; Musnad Ahmad 1: 355;  Sunan Ibn Majah  3: 119; Sunan al-Baihaqi  3: 135;  Al-Jashash,  Ahkam  al-Quran, 2:307;  Ibn  Hazm,  Al-Muhalla,  4:271).

Kata Ibn  Hazm: Kami  meriwayatkan  hadis  ini  juga  dari  Hudzaifah,  Jabir, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, Ibn Umar semuanya dari Rasulullah saw dengan sanad yang sangat  shahih (Tafsir al-Qurthubi 5: 352; Ibn al-Qayyim, Zadul Ma’ad, Hamisy Syarh al-Zarqani 2:221).

Dari  ‘Aisyah,  ia  berkata:  (Pada  mulanya) shalat diwajibkan dua rakaat dua rakaat  baik  waktu  berada  di tempat  atau  sedang  bepergian. Lalu  seterusnya  begitu untuk shalat  dalam  safar  dan  ditambah  untuk  orang  yang tidak bepergian. Dalam kalimat Ibn Hazm melalui  Al-Bukhari: Shalat diwajibkan dua raka’at. Kemudian Nabi Muhammad saw berhijrah dan shalat diwajibkan dengan empat rakaat. Yang dua rakaat ditetapkan untuk shalat dalam perjalanan (Shahih al-Bukhari  1: 109,  2: 105,  5: 172;  Shahih Muslim 1: 257; Muwaththa Malik 1: 124; Sunan Abu Dawud 1: 187; Kitab al-Umm  Al-Syafi’i  1: 159;  Al-Jashash,  Ahkam  al-Quran 2: 310; Tafsir al-Qurthubi 5: 352, 358; Al-Muhalla 4: 265).

Dari Abu Hanzhalah: Aku bertanya kepada Ibn Umar tentang shalat dalam safar, ia menjawab: Dua rakaat, sunnah Nabi Muhammad saw. Dalam kalimat Al-Baihaqi: Shalat harus diqashar sesuai  dengan  sunnah  Nabi  Muhammad saw  (Musnad  Ahmad  2: 57; Sunan  al-Baihaqi  3:136).  Diriwayatkan  juga  Ibn  Umar berkata: Shalat dalam safar itu dua rakaat. Man khalafa al-sunnah  faqad  kafar.  Barangsiapa  yang  menyalahi  sunnah ia sudah kafir (Sunan al-Baihaqi 3:140; al-Muhalla 4:270; Ahkam al-Qur’an 2:310).

Dari  ‘Imran  bin  Hushayn:  Setiap  kali  aku  bepergian bersama Rasulullah saw kapan saja, aku selalu menemukan Rasulullah saw shalat dua rakaat sampai ia kembali. Ketika aku  berhaji  bersama  Nabi  Muhammad saw, ia juga  shalat dua rakaat sampai kembali  ke Madinah.  Ia  tinggal  di Makkah 18 hari. Ia selalu shalat dua rakaat. Ia berkata kepada penduduk Makkah:  Shalatlah  kalian  empat  rakaat,  karena  kami  ini semua  kaum  musafir (Sunan al-Baihaqi  3:135;  Ahkam al-Quran 2:310).

Dari  Umar  bin  Khaththab,  dari  Nabi  Muhammad saw.  Ia  bersabda: Shalat  musafir dua rakaat sampai ia kembali kepada keluarganya  atau  meninggal  dunia  (Ahkam  al-Quran 2:310).

Dari  Hafash  bin  Umar.  Ia  berkata:  Anas  bin  Malik berangkat bersama kami menuju Syam untuk menghadap Abdul Malik.  Kami  semua  40  orang  dari  Anshar.  Ketika kami  kembali dan kami sampai ke Celah Unta (Fajj al-Naqah) kami shalat Zhuhur dua  rakaat. Tetapi  orang-orang  menambah  lagi  dua  rakaat  lainnya  setelah  yang dua  rakaat  itu.  Anas  bin  Malik  berkata:  Semoga  Allah memburukkan  muka-muka  mereka.  Demi  Allah,  mereka tidak mau menjalankan sunnah dan tidak mau menerima rukhshah. Saksikan aku  sungguh  mendengar  Rasulullah saw bersabda: Ada orang-orang  yang  mendalam-dalami (memberat-berati) agama sampai mereka keluar dari agama seperi melesatnya anak panah dari  busurnya (Musnad Ahmad 3: 159; Al-Haitsami dalam al-Mujma’ 2: 155). Jika shalat qashar itu hanyalah  keringanan saja, yang boleh kita pilih, mengapa Rasulullah saw tidak pernah mencontohkan sekali saja  menyempurnakan shalat dalam perjalanan. Selamanya, sekali lagi selamanya, Rasulullah saw mengqashar shalat ketika ia bepergian.   ***



[1] Muhammad Jawad  Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Jakarta: Lentera, 2001)  Bab 27, halaman 141.