07/04/22

Mengapa Tidak Melakukan Shalat Tarawih? Ini Alasannya

Shalat Tarawih adalah shalat sunnah di bulan Ramadhan yang dilakukan secara berjamaah. Muslim Syiah tidak melakukan shalat tarawih berjamaah, tetapi melakukan shalat sunnah di bulan Ramadhan yang dilakukan secara sendiri-sendiri di rumah masing-masing. Mereka menyebutnya qiyamu ramadhan. Mereka meninggalkan shalat tarawih dengan alasan (1) shalat tarawih itu adalah bid’ah yang diciptakan Umar bin Khaththab dan (2) semua shalat sunnah sebaiknya dilakukan di rumah secara munfarid.

Dalam hadis-hadis dapat disimpulkan bahwa tarawih memang bid’ah. Nabi Muhammad saw tidak pernah melakukannya, begitu  pula Abu Bakar dan Umar pada awal khilafahnya. Yahya bin Bakir menceritakan kepadaku, al-Laits menceritakan kepada kami dari Aqil, dari Ibn Syihab: Urwah mengabarkan kepadaku bahwa Aisyah mengabarkan kepadanya bahwa  Rasulullah saw pernah  keluar  pada sepertiga  akhir  malam,  untuk  shalat  di  dalam  masjid  dan orang-orang pun mengikuti  shalat  beliau. Kemudian  pada pagi  harinya orang-orang  membicarakan hal, maka (pada malam harinya) orang-orang berkumpul lebih banyak lagi. Kemudian  beliau  shalat  dan  orang-orang  berkumpul  lebih banyak  lagi.  Kemudian  beliau  shalat  dan  orang-orang  pun mengikuti shalat beliau. Kemudian pada pagi harinya orang-orang membicarakan hal itu, maka pada malam ketiganya masjid dipenuhi oleh orang banyak.  Kemudian  Rasulullah  saw  keluar  (ke masjid)  dan  shalat  (seperti  biasanya),  maka  beliau  keluar untuk shalat subuh. Ketika selesai mengerjakan shalat subuh, beliau menghampiri orang banyak, lalu beliau mengucapkan  kalimat  syahadat dan  bersabda, “Amma ba’du. Ketahuilah,  sesungguhnya aku tidak melecehkan kalian. Akan tetapi, sesungguhnya aku khawatir, bahwa ia (shalat tarawih berjamaah) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak mampu  melaksanakannya.” Kemudian Rasulullah saw wafat, sedangkan perkara itu tetap berjalan seperti  itu. Kemudian perkara tarawih  itu  seperti itu pada khilafah  Abubakar  dan  permulaan  khilafah  Umar  (Shahih Al-Bukhari  bab  “Keutamaan  orang  yang  melaksanakan Qiyamul layl pada bulan Ramadhan”, 3: 58).

Dalam  riwayat  dari  Abu  Hurairah:  Sesungguhnya Rasulullah  saw bersabda:  “Barangsiapa  berdiri  di  malam Ramadhan  karena  iman  dan  ikhlas  diampuni  dosa-dosanya yang terdahulu”. Ibnu Syihab berkata: Kemudian Rasulullah  saw  wafat  dan  manusia  dalam  keadaan demikian.  Kemudian  perkara  itu  berlaku  seperti  itu  pada khilafah Abu Bakar dan awal khilafah Umar” (Shahih Al-Bukhari 2: 249-250). Ibn  Hajar Al-Asqalani menjelaskan  kalimat terakhir dengan mengatakan: “Yakni, orang tidak berjamaah dalam tarawih dan Rasulullah saw tidak melakukan shalat malam (qiyamu Ramadhan) secara berjamaah dengan  orang banyak” (Fath al-Bari 4: 204). Ibn Hajar Al-Asqalani juga menambahkan: Ahmad meriwayatkan dari Ibn Abi Dzi’b dari  Al-Zuhri  dalam  hadis  ini  “Rasulullah  saw tidak pernah mengumpulkan orang untuk shalat sunnah berjamaah (qiyam)” (Fath al-Bari 4: 252).

Al-Qasthulani  mengomentari  hadis  ini:  Sedangkan perkara itu tetap berjalan seperti itu (artinya meninggalkan shalat berjamaah dalam tarawih). Kemudian perkara tarawih itu seperti  itu  pada  khilafah  Abubakar  dan  permulaan khilafah Umar (Irsyad al-Sari 4:656). Yahya  bin  Yahya  menceritakan  kepada  kami,  dia berkata:  ”Aku  telah  membaca  di  hadapan  Malik  dari Ibn  Syihab  dari  Urwah  mengabarkan  kepadaku  bahwa Aisyah  mengabarkan  kepadanya  bahwa  Nabi  saw  shalat pada  suatu  malam,  maka  orang-orang  pun  mengikuti shalat  beliau.  Kemudian  malam  berikutnya,  orang-orang berkumpul  lebih  banyak  lagi.  Kemudian  beliau  shalat  dan orang-orang berkumpul lebih banyak lagi.Kemudian pada malam  ketiganya  dan  keempatnya,  namun  beliau  tidak keluar kepada mereka. Kemudian pada pagi harinya, beliau

bersabda:” Sungguh aku melihat yang kalian lakukan, maka sesungguhnya tidak ada yang  mencegahku  keluar,  hanya saja  aku  khawatir,  bahwa  ia  (shalat  tarawih berjamaah) akan diwajibkan kepada kalian”. Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan (Shahih Muslim bab 6: 41). Al-Nawawi  menjelaskan  hadis  Muslim: “Ucapan (Kemudian  Rasulullah  saw  wafat,  sedangkan  perkara  itu tetap  berjalan  seperti  itu. Kemudian  perkara  tarawih  itu seperti itu pada khilafah Abubakar dan permulaan khilafah Umar) artinya: Perkara  itu  berlangsung dalam  periode itu  di  mana setiap orang menjalankan qiyam Ramadhan sendiri-sendiri  (munfarid),  sampai berakhir  awal khilafah Umar. Umar mengumpulkan orang untuk shalat berjamaah dengan Imam Ubay  bin Ka’ab. Dari situ berlangsunglah terus shalat tarawih berjamaah” (Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim 3: 40).

Abdurrahman bin Abdul  Qari:  aku  pernah keluar bersama Umar bin Khattab di bulan ramadhan ke masjid. Ternyata orang-orang saling berpencar dan berpisah-pisah. Ada orang yang shalat sendirian dan ada pula sekelompok orang  yang  mengikuti  shalatnya  seseorang.  Maka  Umar berkata: “Sesungguhnya  aku berpandangan  sekiranya  saja aku  kumpulkan  mereka  di  belakang  seorang  imam,  maka sungguh itu lebih baik.” Kemudian  Umar  bertekad  melakukan  hal  itu.  Ia mengumpulkan  mereka  di  belakang  seorang  imam, yaitu Ubay  bin  Ka’ab.  Umar  berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah ini (melakukan  shalat  tarawih  berjamaah). Tetapi  orang  yang tidur  sekarang,  lebih  utama  daripada  shalat  tarawih”. Yang dimaksud adalah orang yang mengerjakan shalat tarawih di akhir  malam  lebih  utama  daripada  yang  mengerjakannya di awal malam (Shahih al-Bukhari: 2: 252; Al-Muwatha 73; Kanz al-Ummal 8: 408, hadis 23466).

Hadis  di  atas  dengan  jelas  mengungkapkan  bahwa shalat  tarawih  berjamaah  itu  bid’ah  berdasarkan  ucapan Umar sendiri: Sebaik-baiknya bid’ah ini. Al-‘Ayni menulis, “Umar  menyebutnya  bid’ah  karena  Rasulullah saw tidak pernah mensunnahkannya, juga tidak  terjadi  pada  zaman Abubakar dan Rasulullah saw tidak  menganjurkannya (‘Umdat al-Qari 6:126).  Al-Asqalani menjelaskan: “Umar menyebutnya bid’ah karena tidak disunnahkan untuk melakukannya  dalam  jamaah,  tidak  juga  disunnahkan di zaman Abu Bakar, tidak disunnahkan pada awl malam, pada setiap  malam,  dan  tidak  dalam  bilangan  yang  tersebut dalam  hadis. (Walaupun  begitu)  qiyamu  Ramadhan bukanlah  bid’ah,  karena  Rasulullah  saw  bersabda: Hendaklah  ikuti  teladan  orang-orang  sesudahku: Abu Bakar dan Umar.  Dan  apabila  sahabat-sahabat  sudah  berijmak bersama Umar  padahal  demikian,  hilanglah  nama  bid’ah” (Fath al-Bari 4: 252).

Ibn Al-Atsir  juga  menegaskan bahwa  tarawih  ini bid’ah,  tetapi  karena  bid’ah  ini  dibuat  oleh  sahabat,  ia menjadi sunnah. Sahabat mempunyai hak untuk membuat syariat  baru.  Ibn  Atsir  membela Umar dengan bid’ahnya ketika ia menulis:  “Inilah  (tarawih)  adalah  bid’ah  yang paling  baik.  Karena  ini  perbuatan  baik  yang  pantas dihargai  Umar menyebutnya  bid’ah dan memujinya. Memang  Nabi  Muhammad saw  tidak  pernah  mensunnahkannya.  Ia pernah  melakukannya  beberapa  malam  saja  kemudian meninggalkannya.  Nabi  Muhamamd saw tidak menjalankannya  terus-menerus,  tidak  melakukannya  dalam  jamaah  dengan orang  banyak, tidak pada zaman Abu Bakar. Umar yang  mengumpulkan orang dan  menganjurkannya.  Umar menyebutnya bid’ah, tetapi hakikatnya sunnah; karena Nabi Muhammad saw bersabda: Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafa al-Rasyidin sesudahku. Ia juga  bersabda: Hendaklah ikuti  teladan  orang-orang  sesudahku: Abu  Bakar dan Umar (Al-Nihayah 1: 106, 107).

Apa pun yang dilakukan untuk membenarkan bid’ah tarawih, semua ulama Sunni sepakat bahwa Umar adalah “pencipta” shalat tarawih. Dalam  biografi (tarjamah) Umar, Ibn Sa’ad  menulis:  Umarlah  orang  pertama  yang mensunnahkan  qiyam  ramadhan  dengan tarawih dan dilakukan secara berjamaah. Ia juga mengirimkan surat ke berbagai penjuru negeri untuk  melakukannya  pada bulan Ramadhan tahun 14 Hijriah (Al-Thabaqat al-Kubra 3:281). Ibn  Abd  al-Birr  menulis:  Umar  yang  menyinari bulan  puasa  dengan  shalat  genap  atau tarawih (Al-Isti’ab 3:1145). Al-Ya’qubi  berkata: Pada  tahun  ini (14 H.) Umar mensunnahkan  qiyam  Ramadhan  dan  menulis  surat  ke berbagai negeri. Ia menyuruh Ubayy bin Ka’ab dan Tamim al-dari  sebagai imam. Dikatakan  kepadanya:  Rasulullah saw tidak  pernah  melakukannya. Abu Bakar juga  tidak melakukannya.  Umar  berkata:  Kalau  ini  bid’ah,  inilah bid’ah yang paling baik (betapa baiknya bid’ah ini)! (Tarikh al-Ya’qubi 2: 130).

Jalaluddin  al-Suyuthi  menulis  tentang  “kepertamaan” (awwaliyat) Umar  bin  Khathab:  Dialah  yang  pertama diberi  gelar  Amirul  Mukminin.  Dialah  yang  pertama mensunnahkan tarawih. Dialah yang pertama mengharamkan  mut’ah.  Dialah  yang  pertama  menshalatkan  jenazah dengan empat takbir (karena yang disunnahkan Nabi Muhammad saw lima takbir). (Tarikh al-Khulafa, 136).

Shalat-shalat sunnah harus dilakukan munfarid. Rasulullah  saw  menganjurkan  untuk  melakukan  shalat sunnah di rumah sendirian. Dengan begitu, ia memberikan bagian  keberkahan  shalat  untuk  rumahnya.  Ia  juga menghindarkan “riya” jika ia melakukan shalatnya di masjid, di depan banyak orang. Shalat sunnah juga adalah kesempatan untuk bermunajat–berduaan--dengan Allah Swt. Lebih dari itu,  shalat  sunnah  sebaiknya  dilakukan sendirian karena perintah Rasulullah saw: dari  Ibn  Mas’ud:  Aku  bertanya  kepada  Rasulullah saw:  Mana  yang  lebih  utama-shalat di rumahku atau  di masjid?  Beliau  bersabda:  Tidakkah  kamu  perhatikan rumahku,  betapa  dekatnya  dengan  masjid.  Sekiranya  aku shalat di  rumahku  pasti  aku  lebih  mnyukainya daripada shalat  di  masjid,  kecuali  untuk  shalat  yang  diwajibkan.

Diriwayatkan  oleh  Ahmad, Ibn Majah, Ibn  Khuzaimah dalam  shahihnya (Al-Mundziri,  Al-Targhib wa al-Tarhib, ta’liq Musthafa Muhammad ‘Imarah, 1: 379). Dari Abu Musa:  Serombongan  orang  dari  Irak menemui  Umar,  Ketika  mereka  datang  mereka bertanya tentang  shalat  orang  di  rumahnya.  Umar  berkata:  Aku bertanya  kepada  Rasulullah  saw  dan  ia  bersabda:  Shalat orang  di  rumahnya  adalah  cahaya.  Terangilah  rumah kamu!  Diriwayatkan  Ibn  Khuzaimah  dalam  shahihnya (Al-Mundziri,  Al-Targhib  1:379;  Kanz  al-‘Ummal  8:384, hadis 2336).

Umar  ditanya  tentang  shalat  di  masjid.  Ia  berkata: Rasulullah  saw  bersabda:  yang  fardhu  di  masjid,  yang sunnah di rumah (Kanz al-‘Ummal 8: 384, hadis 23363). Ibn  Qudamah  menulis:  Shalat  sunnah  lebih  utama dilakukan  di  rumah,  karena  sabda  Nabi Muhammad saw,  “Shalatlah  di rumah  kamu,  karena  sebaik-baiknya  shalat  orang  adalah shalat di rumahnya kecuali shalat fardhu” (Hadis Muslim). Dari Zaid bin Tsabit bahwa sesuungguhnya Nabi Muhammad saw  bersabda:  Shalat orang di rumahnya lebih baik dari shalatnya di masjidku ini kecuali shalat wajib. Hadis Abu Dawud (Muwaaiq al-Din bin Qudamah, Al-Mughni 1: 775).

Masih dari Ibn Qudamah: “Malik  dan  Syafii berpendapat:  Qiyam  Ramadhan  di  rumah  bagi yang mampu lebih aku cintai (daripada shalat  sunnah  di  masjid). Zaid bin Tsabit  berkata:  Rasulullah saw membuat  kamar kecil  yang  terbuat  dari  kain tambalan  atau  tikar  (di dalam  masjid). Lalu, Rasulullah saw keluar dan shalat di dalam kamar itu. Kemudian orang mengikuti shalat beliau. Kemudian pada malam hari,mereka datang  ke  masjid, tetapi Rasulullah saw tidak keluar pada mereka. Kemudian mereka  mulai  menaikkan suara mereka  dan melempari pintu rumah Nabi saw dengan batu kerikil. Rasulullah saw keluar menemui mereka dalam keadaan murka. Beliau bersabda: Kalian terus menerus melakukan perbuatan kalian (mengerjakan shalat sunnah berjamaah) sehingga aku menduga ia akan diwajibkan kepada kalian. Shalatlah di rumah kalian, karena sebaik-baiknya shalat ialah shalat  di rumah kecuali shalat fardhu. Diriwayatkan oleh Muslim” (Al-Mughni 1:800; lihat redaksi yang sama pada Shahih al-Bukhari 7:99, Bab “Boleh murka dan bertindak keras demi perintah Allah”, Kanz al-‘Ummal, hadis 21541, 21543, 21545). ***