04/05/22

Al-Quran sebagai kalam Allah dan Nabi

Dalam satu diskusi, saya pernah mengatakan setuju dgn pandangan Fazlur Rahman bahwa alquran sepenuhnya kalam Allah dan sekaligus sepenuhnya perkataan Nabi Muhammad. Begini kata Rahman, “The Qur’an is the word of God insofar as it is infallible and absolutely free from falsehood, but insofar as it comes to the Prophet’s heart and then his tongue, it was entirely his word.”

Tentu, pandangan Rahman ini bertentangan dgn paham ortodoks yang memposisikan Nabi sebagai penerima wahyu yang pasif. Definisi al-Qur’an yang disepakati ulama-ulama ortodoks ialah “kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi melalui malaikat Jibril." Dalam definisi ini, lafaz-lafaz al-Qur’an itu seperti didektikan oleh Jibril, sehingga Nabi tidak punya peran apa pun.

Saya akan menulis artikel yang secara detail mengajukan argumen kenapa saya setuju dengan pandangan Rahman. Jadi, tidak akan saya tulis sebagai status facebook, karena saya bayangkan akan panjang.

Yang ingin saya katakan sekarang ialah Rahman sama sekali tidak meragukan keilahian asal-muasal al-Qur’an. Dia meyakini sepenuhnya bahwa al-Qur’an merupakan firman Ilahi. Tak ada keraguan tentang itu. Yang dipersoalkan Rahman adalah pemahaman tradisional yang menempatkan al-Qur’an sebagai sesuatu yang sedemikian eksternal dari Nabi sendiri.

Bagi Rahman, definisi ortodoks tentang wahyu sebagai lafaz yang didiktekan terlalu mekanistik, dengan memposisikan Jibril sebagai “tukang pos.” Padahal, demikian argumen Rahman, al-Qur’an menggambarkan proses turunnya ke dalam hati Nabi. Itu artinya Nabilah yang melafazkan wahyu yang diturunkan ke dalam hatinya.

Kita tahu, pandangan Rahman mendapat reaksi keras dari ulama-ulama Pakistan saat itu. Sebagai pledoi, Rahman mengatakan pandangannya itu sebenarnya pengembangan dari pendapat Waliyullah al-Dahlawi dan Muhammad Iqbal.

Insya Allah, saya akan memberikan pendasaran argumentasi lebih kokoh dengan melacak pada diskursus tentang wahyu pada periode awal perkembangan Islam. Sumber-sumber Muslim awal sebenarnya membuka ruang bagi pandangan seperti yang dikembangkan Rahman itu.

Persoalan lain yang ingin saya tulis ialah: Kenapa suatu pandangan tentang al-Qur’an di kemudian hari menjadi paham ortodoksi? Bagaimana proses historis suatu pendapat “memenangkan pertarungan ide” (won the day)? Minimal, ada dua artikel yang bergelanyut di kepala. *** (munim sirry)