09/05/22

Imam Ali as menurut Roger Garaudy

Suatu ketika filosof beken Perancis Roger Garaudy pernah bercerita: Aku mengajar di Universitas Sorbon (yang terkenal di Prancis).  Pada suatu hari, salah seorang mahasiswiku meminta sedikit waktuku untuk menjawab pertanyaannya. 

Mahasiswi itu bertanya kepadaku: “Anda adalah profesor saya dan saya sangat antusias membaca buku-buku berharga karya Anda dan makalah-makalah Anda, sebagaimana saya bersemangat menghadiri materi kuliah yang Anda ajarkan. Ada yang mengundang penasaranku, Anda selalu menyebut-nyebut seorang pribadi Muslim yang bernama Ali. Siapa sebenarnya orang yang bernama Ali itu; dan mengapa ia begitu istimewa dan mempengaruhimu sedemikian dalam?”

Aku (Garaudy) menjawabnya: Ali adalah anak paman Nabi Islam Muhammad, suami putri tercintanya dan Panglima Perangnya yang gagah perkasa. Ali adalah orang kedua dalam Islam setelah Muhammad, dan Khalifahnya. Ia pemilik kepribadian yang unik luar biasa tiada tara. Aku akan bertanya kepadamu, (bolehkah aku) menjelaskan tentang siapa sejatinya Ali atau paling tidak mengenalkan kepadamu secuil dari keagungannya.

Mahasiswi: Silahkan.

Aku berkata kepadanya: Seandainya kamu sedang menyeberang jalan lalu tiba tiba sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabrakmu, apa kira-kira yang terjadi padamu?

Mahasiswi: Aku pasti mati seketika atau koma.

Aku lanjutkan: Baik. Seandainya kamu terjatuh dari apartemen tingkat empat, apa kira-kira yang bakal kamu alami?

Mahasiswi: Sama. Aku akan mati seketika atau tak sadarkan diri.

Aku berkata: Orang itu (Ali) diserang di saat ia sujud dalam solat dengan pukulan pedang tajam hingga pedang itu menghunjam ke dalam tulang tengkoraknya dan mengenai otaknya. Lalu apa yang kamu prediksi tentang kondisi Ali?

Mahasiswi: Pasti mati seketika. Atau paling tidak ia akan kehilangan kesadaran. 

Aku berkata: Coba bayangkan: orang itu (Ali) ternyata tidak tewas dan tidak juga kehilangan kesadarannya sedikit pun. Pukulan pedang tajam itu telah menembus ke sarang otak. Otak yang menjadi memori kesadaran dan pengetahuan serta hikmah. Tapi ia tdk sedikitpun kehilangan kesadarannya. Atau mengalami apa yg layaknya dialami manusia lain dalam kondisi seperti itu.Sehari setelah pemukulan mematikan itu, dan di atas ranjang kematian sementara pukulan fatal itu mulai merasuk ke inti otaknya; di saat seperti itu, Ali berwasiat kepada putranya Al-Hasan.  Wasiat itu merupakan pesan yang teragung yang pernah dikenal sejarah peradaban umat manusia. Sebuah wasiat yang mengandung hikmah, nasihat dan kasih sayang. Ali tetap dalam kesadarannya yang utuh. Ia menuliskan sebuah wasiat terindah (yang ditulis seorang ayah untuk putranya) di sepanjang sejarah umat manusia.

Mahasiswi itu bertanya sambil terlihat pada wajahnya kekaguman, “Apa yang ada dalam wasiat itu?”

Aku akan ceritakan secuil dari wasiat itu untukmu: Ali berpesan kepada Al-Hasan putra sulungnya (sedangkan ia sedang menjelang maut): Wahai putraku… Berlemah lembutlah kepada tawananmu (maksudnya Abdurrahman bin Muljam, pembunuh beliau). Berbelas kasihlah kepadanya, dan perlakukan ia dengan baik. Beri ia makan dari makanan yang kamu makan, dan beri ia minum dari minumanmu. Jangan kau ikat kedua tangan dan kakinya. 
Jika nanti aku mati, tegakkan hukuman Allah atasnya. Bunuhlah dia dengan sekali pukulan (jangan disiksa). Jangan kamu bakar ia, dan jangan kamu cincang ia, karena aku mendengar kakek kalian (Rasulullah SAW) bersabda: “Jangan kamu mencincang siapa pun, sekali pun ia anjing galak.” Dan jika aku nanti sembuh dan hidup (selamat dari pembunuhan ini), maka akulah yg paling berhak mengurusnya, dengan (cara) memaafkannya, dan aku lebih mengerti apa yang harus aku lakukan. Aku wasiatkan kepada kalian berdua (maksudnya kepada Al-Hasan dan adiknya, Al-Husain) dengan ketaqwaan kepada Allah, dan jangan rakus pada dunia walaupun dunia merayumu. Jangan bersedih atas bagian dari dunia yang tidak kalian dapat. Bertutur-katalah dengan jujur dan berbuatlah untuk pahala. Jadilah kalian ‘lawan si dzalim’ dan ‘pembela yang teraniaya’.”

Roger Garaudy kemudian berkata: “Ketika aku bacakan wasiat itu, aku lihat kedua bola mata mahasiswiku itu berlinangan air mata, sambil ia terus mendengarkan dengan penuh khidmat. Sekarang dia telah mengetahui, mengapa aku terkagum-kagum kepada seorang agung yang bernama Ali…” 

Ya Amirul Mukmin...