Allah SWT berfirman: Kembalilah pada Tuhanmu dengan penuh ridha dan keridhaan (QS 89: 28). Ini perintah Allah untuk kembali dengan dasar ridha. Karenanya kembali dengan syarat ridha. Bahwa ketiadaan syarat menjadi ketertolakan. Seakan bisa dinyatakan bahwa tidak ada jalan kembali kecuali melalui ridha.
Ridha adalah nama yang disitu berhentinya orang yang benar. Sebagaimana dihentikannya seorang hamba dari mendahului atau mengakhirkan, tidak ada upaya untuk menambah, tidak mengubah keadaan. Ini adalah awal dari perjalanan mereka yang khusus dan sangat berat bagi mereka yang awam.
Berhentinya orang yang benar bahwa berada dalam keadaan yang
diinginkan Allah SWT tanpa tercampur dengan dorongan dirinya. Sebagaimana
ada pertanyaan kepada Abu Yazid al-Busthami: "Apa yang kau inginkan?"
Abu Yazid menjawab: "Aku menginginkan tidak memiliki keinginan.”
Allah yang menghentikan hamba tersebut pada keadaan yang
dirinya puas dengan keadaannya, sehingga tidak ada keinginan untuk lebih cepat
berada dalam keadaan tersebut, atau menunggu nanti tidak pula ada keinginan
untuk keadaan yang lebih dari keadaan yang dirinya berada.
Seluruhnya diterima dengan kesenangan hatinya dan
meninggalkan seluruh ikhtiar dirinya. Ini merupakan manzilah dasar bagi
kalangan khusus karena merupakan jalan menuju fana dalam tauhid. Ridha adalah fana-nya
ikhtiar dan keinginan hamba dalam keinginan Allah. Manzilah ini adalah paling
sulit bagi awam karena menghilangkan semua dorongan diri.
Manzilah pertama, yang umum tentang ridha, bahwa
Allah sebagai Tuhannnya tidak menyukai ibadah kepada selain-Nya. In merupakan quthb
dari ruh Islam dan membersihkan diri dari syirik yang besar. Bahwa pada tingkat
umum (awam), ridha yang paling dasar adalah ridha terhadap Allah dengan
mendasarkan seluruh pandangan kehidupannya kepada Allah.
Menyadari hakikat tauhid dalam seluruh af'al, menetapkan
pada diri tiada Tuhan selain Allah dan ridha atas kenabian Nabi Muhammad Saw.
Menjauhkan hati dari segala jenis kemusyrikan termasuk ketergantungan hati kepada
selain Allah. Berusaha memandang semua proses yang terjadi dalam kehidupan
dalam cara pandangan tauhid.
Manzilah kedua adalah ridha dari Allah SWT. Dengan
ridha ini berbicara tanda-tanda yang diturunkan (ayat al-tanzil). Ridha
terhadap-Nya pada setiap ketetapan. Ini adalah perjalanan awal bagi ahli khusus
dan dilalui melalui tiga syarat: (1) dengan keseimbangan keadaan pada diri
hamba, (2) hilangnya kebencian pada makhluk, dan (3) terlepas dari seluruh
pengharapan dan pengaduan. Bahwa ridha pada tingkat ini adalah ridhanya Allah
pada hamba karena keridhaan hamba tersebut kepada Allah: "Dan Allah
meridhai mereka dan mereka ridha kepada-Nya" (QS 58: 22). Ini
merupakan awal dari perjalanan ahli khusus karena mereka yang ridha pada Allah
dan segala ketentuan Allah atasnya telah lepas dari perhatian dan dorongan
dirinya. Ini merupakan awal fana dorongan dan keinginannya pada dorongan dan
keinginan Allah. Dia mulai berada pada fana fillah.
Tiga syarat pada tingkat ini. Pertama adalah berada dalam
keseimbangan dan keselarasan dalam setiap keadaan yang terjadi, baik susah
maupun senang, derita ataupun bahagia, miskin atau pun kaya. Tidak lagi ada
beda baginya dan dihatinya. Kedua adalah tidak lagi ada rasa amarah, iri dan
keinginan untuk memiliki apa yang dimiliki makhluk lainnya, karena dirinya
melihat bahwa semua merupakan ketetapan dan keadaan yang berasal dari tindakan
Allah. Sehingga hilang rasa bencinya kepada makhluk lainnya. Ketiga adalah
karena telah ridha dengan apa yang ada pada dirinya tidak ada lagi keinginan
pada selainnya, sehingga yang ada padanya hanya apa yang diinginkan Allah kepadanya.
Manzilah ketiga adalah ridha dengan keridhaan Allah.
Hamba tidak lagi merasakan kebencian dan keridhaan, sehingga tidak ada lagi
penghukuman, pilihan dan perbedaan (sekali pun dimasukkan dalam neraka). Ridha
dengan keridhaan Allah, yaitu tersifati sifat hamba oleh sifat al-Haqq sehingga
apa pun yang muncul pada diri hamba pada tingkat ini adalah berasal dari
al-Haqq. Sebagaimana dinyatakan: "Tidaklah yang engkau inginkan
kecuali sesungguhnya apa yang diinginkan Allah" (QS 76: 30). Seorang
hamba pada tingkat ini sudah berada pada Qurb al-Nawafil, yaitu pandangannya
adalah pandangan Allah, pendengarannya adalah pendengaran Allah. Keridhaannya
semata keridhaan Allah, sehingga tidak akan keluar darinya penetapan hukum pada
apa pun yang terjadi dan pada siapa pun di antara makhluk-Nya kecuali hukum
yang Allah tetapkan. Tidak pula berbeda keadaan apa pun yang menimpa dirinya.
Semua baginya sama, sekali pun Allah memasukannya dalam neraka-Nya, dia ridha
dengan pilihan yang telah Allah pilihkan untuknya. ***
Kholid Al Walid adalah Doktor lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pengasuh Program Belajar Tasawuf di YouTube Misykat TV