14/05/22

Belajar Tasawuf seri Ridha [by Dr Kholid Al Walid]

Allah SWT berfirman: Kembalilah pada Tuhanmu dengan penuh ridha dan keridhaan (QS 89: 28). Ini perintah Allah untuk kembali dengan dasar ridha. Karenanya kembali dengan syarat ridha. Bahwa ketiadaan syarat menjadi ketertolakan. Seakan bisa dinyatakan bahwa tidak ada jalan kembali kecuali melalui ridha.

Ridha adalah nama yang disitu berhentinya orang yang benar. Sebagaimana dihentikannya seorang hamba dari mendahului atau mengakhirkan, tidak ada upaya untuk menambah, tidak mengubah keadaan. Ini adalah awal dari perjalanan mereka yang khusus dan sangat berat bagi mereka yang awam.

Berhentinya orang yang benar bahwa berada dalam keadaan yang diinginkan Allah SWT tanpa tercampur dengan dorongan dirinya. Sebagaimana ada pertanyaan kepada Abu Yazid al-Busthami: "Apa yang kau inginkan?" Abu Yazid menjawab: "Aku menginginkan tidak memiliki keinginan.”

Allah yang menghentikan hamba tersebut pada keadaan yang dirinya puas dengan keadaannya, sehingga tidak ada keinginan untuk lebih cepat berada dalam keadaan tersebut, atau menunggu nanti tidak pula ada keinginan untuk keadaan yang lebih dari keadaan yang dirinya berada.

Seluruhnya diterima dengan kesenangan hatinya dan meninggalkan seluruh ikhtiar dirinya. Ini merupakan manzilah dasar bagi kalangan khusus karena merupakan jalan menuju fana dalam tauhid. Ridha adalah fana-nya ikhtiar dan keinginan hamba dalam keinginan Allah. Manzilah ini adalah paling sulit bagi awam karena menghilangkan semua dorongan diri.

Manzilah pertama, yang umum tentang ridha, bahwa Allah sebagai Tuhannnya tidak menyukai ibadah kepada selain-Nya. In merupakan quthb dari ruh Islam dan membersihkan diri dari syirik yang besar. Bahwa pada tingkat umum (awam), ridha yang paling dasar adalah ridha terhadap Allah dengan mendasarkan seluruh pandangan kehidupannya kepada Allah.

Menyadari hakikat tauhid dalam seluruh af'al, menetapkan pada diri tiada Tuhan selain Allah dan ridha atas kenabian Nabi Muhammad Saw. Menjauhkan hati dari segala jenis kemusyrikan termasuk ketergantungan hati kepada selain Allah. Berusaha memandang semua proses yang terjadi dalam kehidupan dalam cara pandangan tauhid.

Manzilah kedua adalah ridha dari Allah SWT. Dengan ridha ini berbicara tanda-tanda yang diturunkan (ayat al-tanzil). Ridha terhadap-Nya pada setiap ketetapan. Ini adalah perjalanan awal bagi ahli khusus dan dilalui melalui tiga syarat: (1) dengan keseimbangan keadaan pada diri hamba, (2) hilangnya kebencian pada makhluk, dan (3) terlepas dari seluruh pengharapan dan pengaduan. Bahwa ridha pada tingkat ini adalah ridhanya Allah pada hamba karena keridhaan hamba tersebut kepada Allah: "Dan Allah meridhai mereka dan mereka ridha kepada-Nya" (QS 58: 22). Ini merupakan awal dari perjalanan ahli khusus karena mereka yang ridha pada Allah dan segala ketentuan Allah atasnya telah lepas dari perhatian dan dorongan dirinya. Ini merupakan awal fana dorongan dan keinginannya pada dorongan dan keinginan Allah. Dia mulai berada pada fana fillah.

Tiga syarat pada tingkat ini. Pertama adalah berada dalam keseimbangan dan keselarasan dalam setiap keadaan yang terjadi, baik susah maupun senang, derita ataupun bahagia, miskin atau pun kaya. Tidak lagi ada beda baginya dan dihatinya. Kedua adalah tidak lagi ada rasa amarah, iri dan keinginan untuk memiliki apa yang dimiliki makhluk lainnya, karena dirinya melihat bahwa semua merupakan ketetapan dan keadaan yang berasal dari tindakan Allah. Sehingga hilang rasa bencinya kepada makhluk lainnya. Ketiga adalah karena telah ridha dengan apa yang ada pada dirinya tidak ada lagi keinginan pada selainnya, sehingga yang ada padanya hanya apa yang diinginkan Allah kepadanya.

Manzilah ketiga adalah ridha dengan keridhaan Allah. Hamba tidak lagi merasakan kebencian dan keridhaan, sehingga tidak ada lagi penghukuman, pilihan dan perbedaan (sekali pun dimasukkan dalam neraka). Ridha dengan keridhaan Allah, yaitu tersifati sifat hamba oleh sifat al-Haqq sehingga apa pun yang muncul pada diri hamba pada tingkat ini adalah berasal dari al-Haqq. Sebagaimana dinyatakan: "Tidaklah yang engkau inginkan kecuali sesungguhnya apa yang diinginkan Allah" (QS 76: 30). Seorang hamba pada tingkat ini sudah berada pada Qurb al-Nawafil, yaitu pandangannya adalah pandangan Allah, pendengarannya adalah pendengaran Allah. Keridhaannya semata keridhaan Allah, sehingga tidak akan keluar darinya penetapan hukum pada apa pun yang terjadi dan pada siapa pun di antara makhluk-Nya kecuali hukum yang Allah tetapkan. Tidak pula berbeda keadaan apa pun yang menimpa dirinya. Semua baginya sama, sekali pun Allah memasukannya dalam neraka-Nya, dia ridha dengan pilihan yang telah Allah pilihkan untuknya. ***

Kholid Al Walid adalah Doktor lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pengasuh Program Belajar Tasawuf di YouTube Misykat TV