Orang-orang yang tidak paham dengan Mazhab Syiah menyebarkan bahwa kaum Muslim Syiah melegalisasikan prostitusi dengan membolehkan nikah mutah. Tentu yang dituduhkan tersebut tidak benar. Nikah Mut’ah atau disebut juga nikah muaqqat adalah nikah bersyarat dengan antara lain syarat waktu. Semua hukum pernikahan berlaku pada nikah mut’ah. Misalnya, tidak boleh menikahi perempuan-perempuan yang diharamkan untuk dinikahi, tidak boleh menikahi perempuan sebelum ‘iddahnya selesai, sama seperti hukum-hukum nikah daim. Yang membedakan nikah mut’ah dengan nikah daim ialah adanya persyaratan yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Dalam nikah
mut’ah tidak dibenarkan menceraikan
istri sebelum waktunya habis. Setiap saat orang yang nikah mut’ah bisa
mengubahnya menjadi nikah daim. Pada nikah daim
suami dapat menceraikan
istrinya kapan saja, hatta beberapa menit
setelah aqad nikah. Dengan perkataan lain, nikah mut’ah
adalah nikah sementara yang setiap saat bisa dilestarikan, sedangkan nikah daim
adalah nikah yang lestari yang setiap saat bisa diputuskan.
Seperti dijelaskan
pada dalil-dalil di bawah
ini, nikah mut’ah disyariatkan dalam al-Quran dan al-Sunnah. Semua ulama, apa
pun mazhabnya, sepakat bahwa
nikah mut’ah pernah dihalalkan
di zaman Nabi
saw. Mereka berikhtilaf tentang
pelarangan nikah mut’ah. Syiah berpegang kepada yang
disepakati dan meninggalkan yang dipertentangkan. Dalam Al-Qur’an, “…dan (diharamkan
juga kamu mengawini)
wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki
(Allah telah menetapkan
hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi
kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina. Maka
isteri-isteri yang telah kamu ni’mati (campuri) di antara mereka,
berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan
tiadalah mengapa bagi
kamu terhadap sesuatu
yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana (QS Al-Nisa: 24).
Menurut Al-Fakhr
al-Razi: “Ayat ini khusus
tentang nikah mut’ah karena alasan berikut: Ubayy
bin Ka’b dan
Abdullah bin Abbas
membaca ayat ini. Tidak ada sahabat
yang menyangkalnya, berarti
umat ijmak tentang kebenaran qiraat keduanya. “Mencari isteri-isteri dengan harta” yang menghalalkan bercampur
tidak terjadi kecuali dalam
nikah mut’ah. Dalam nikah daim,
hanya memberikan harta saja tidak dengan sendirinya menghalalkan. Diperlukan aqad, wali, dan saksi. Ayat ini
menunjukkan bahwa mahar
wajib hanya karena istimta’. Istimta’ berarti menikmati
dan mengguna-kan. Sedangkan dalam
nikah (biasa) mahar
diwajibkan bukan karena istimta’ tetapi karena nikah. Jika ayat
ini dikenakan pada
nikah biasa, terjadi perulangan penetapan
hukum nikah dalam surat
yang sama. Jika dikenakan pada nikah mut’ah, Tuhan menetapkan hukum
yang baru. Dan
ini lebih tepat”
(Tafsir al-Fakhr al-Razi 9:53).
Dari ‘Imran
bin Hushayn: “Telah turun ayat mut’ah dalam Kitab Allah. Kami mengamalkannya bersama
Nabi saw. Maka tidak turun satu ayat pun yang menasakhkannya dan Nabi saw
tidak melarangnya sampai ia meninggal dunia” (Musnad Ahmad 4: 436).
‘Imran bin
Hushayn berkata: “Telah turun ayat mut’ah dalam Kitab Allah Swt. Tidak turun
ayat sesudahnya yang menasakhnya
dan Rasulullah saw
memerintahkan kami untuk melakukannya. Ia meninggal dunia dan tidak
pernah melarangnya. Kemudian
seorang lelaki berkata dengan pendapatnya sekehendak
hatinya” (Al-Fakhr 9:51; lihat juga al-Bukhari 3:151, Kitab al-Tafsir, 7:24).
Al-Hakam ditanya
tentang al-Nisa ayat 24, apakah sudah
mansukh? Ia berkata tidak. Lalu ia mengutip ucapan Ali: Sekiranya Umar tidak
melarang mut’ah, tidak
akan ada yang berzinah
kecuali orang yang
jahat (celaka). (Tafsir
al-Thabari 5:13; al-Fakhr 9:51; al-Durr al-Mantsur 2:486; Tafsir al-Nisaburi
5:16).
Dari Jabir
bin Abdillah: “Sesungguhnya Ibn Zubayr melarang mut’ah dan Ibn Abbas memerintahkannya: Kami melakukan mut’ah
bersama Rasulullah saw dan bersama Abu Bakar.
Ketika Umar memerintah, ia
bekhotbah: ”Sesungguhnya Rasulullah saw adalah Rasul ini,
dan sungguh Al-Qur’an adalah Al-Qur’an
ini. Sesungguhnya ada dua mut’ah yang
ada pada Zaman Rasulullah saw yang sekarang
aku larang dan
aku hukum pelakunya. Yang
pertama mut’ah perempuan. Kalau aku menemukan seorang lelaki
kawin sampai waktu tertentu, aku akan binasakan dia dengan batu. Yang kedua, Mut’ah
haji. (Sunan al Baihaqi 7:206, Muslim dalam bab Nikah Mut’ah
dibolehkan kemudian dinasakh,
kemudian dibolehkan kemudian dinasakh, kemudian dibolehkan kemudian
dinasakh; kemudian dibolehkan, kemudian dinasakh”; Al-Durr al-Mantsur 3:487;
Al-Fakhr 9:54, Al-Qasimi 5:1192).
Larangan
Umar ini menunjukkan bahwa Umarlah yang pertama melarangnya. Dari Jabir bin Abdillah: “Sesungguhnya Ibn
Zubayr melarang mut’ah dan
Ibn Abbas memerintahkannya …Kami melakukan
mut’ah bersama Rasulullah
saw dan bersama Abu
Bakar. Ketika Umar
memerintah, ia berkhotbah: Sesungguhnya
Rasulullah saw adalah Rasul
ini, dan sungguh
Al-Quran adalah Al-Quran ini.
Sesungguhnya ada dua mut’ah yang ada pada zaman Rasulullah saw,
yang sekarang aku larang dan aku hukum pelakunya. Yang
pertama, mut’ah perempuan.
Kalau aku menemukan seorang
lelaki kawin sampai
waktu tertentu aku akan binasakan
dia dengan batu. Yang kedua, mut’ah haji. (Sunan al-Baihaqi 7:206;
Muslim dalam bab “nikah mut’ah dibolehkan
kemudian dinasakh, kemudian dibolehkan kemudian
dinasakh, kemudian dibolehkan kemudian dinasakh”;
Al-Durr 3:487; al-Fakhr
9:54; Al-Qasimi 5:1192).
Larangan Umar
ini sekaligus menunjukkan bahwa pada zaman
Rasulullah saw tidak
pernah terjadi pengharaman mut’ah.
Umarlah yang pertama melarangnya. Rasulullah saw harus
lebih diikuti dari
Khulafa al-Rasyidun. Dari Ayyub:
‘Urwah berkata kepada
Ibn Abbas, Apakah kamu tidak
takut kepada Allah
sampai kamu membolehkan nikah mut’ah? Kata Ibn Abbas: Tanya ibumu, hai
‘Ariyyah. Kata ‘Urwah: Tetapi Abu Bakar dan Umar tidak pernah melakukannya.
Kata Ibn Abbas: Demi Allah, tampaknya kalian tidak akan berhenti sampai Allah
menurunkan azab-Nya kepada
kalian. Kami sampaikan dari Nabi
saw dan kalian menyampaikan kepada kami dari Abu Bakar dan Umar (Zâd al-Ma’âd
1: 219).
Ibn Umar
ditanya tentang tamattu’. Ia berkata: hasan jamīl. Bagus sekali! “Sungguh,
ayahmu telah melarangnya”, kata
orang. Ia berkata:
“Apakah aku harus
mengambil pendapat bapakku atau
mengikuti perintah Rasulullah
saw?” (Al-Qurthubi 2:365; dalam riwayat al-Darimi 2: 35: Ibn Umar berkata: ‘Umar lebih
baik dariku. Nabi
saw melakukannya. Nabi saw lebih baik dari ‘Umar).
Pelarangan
yang dinisbahkan kepada Rasulullah saw sangat meragukan. Marilah kita perhatikan
hadis-hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah saw: dari Ali
bin Abi Thalib: “Rasulullah saw melarang mut’ah perempuan
pada hari Khaybar,
dan memakan daging keledai
kampung” (Al-Bukhari, Muslim, Malik, al-Arbaun Syubhat Hawla Al-Syiah Turmudzi,
Ibn Majah, al-Nasai). Dalam riwayat itu Rasulullah saw mengizinkannya; setelah itu
mengharamkannya.
Dari
Saburah bin Ma’bad al-Juhani: Dia berperang bersama Rasulullah saw pada penaklukan kota Makkah. Lalu beliau
mengizinkan mut’ah kepada mereka, kemudian
melarangnya…” (Prof Dr Ali Ahmad as-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syiah, 419-434).
Rasulullah
saw diriwayatkan melarangnya juga pada: Fath Makkah (Nayl al-Awthar 6:147); Al-Awthas (Nayl al-Awthar 6:147); Haji Wada’ (Nayl al-Awthar 6:147); Perang
Tabuk; Umrat al-Qadha; dan Perang
Hunayn.
Menurut Ensiklopedi Sunnah-Syiah, semua hadis yang mengharamkan nikah mut’ah dha’if kecuali pengharaman di Khaybar dan Fath Makkah. Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah, pengharaman mut’ah pada perang Khaybar tidak shahih karena: “Di Khaybar tidak ada muslimat; yang ada hanya Yahudiat. Waktu itu belum turun ayat yang mengizinkan Muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab. Pengharaman mut’ah yang benar terjadi pada tahun penaklukan (Fath). Bila perang Khaybar itu benar berarti telah terjadi nasakh dua kali, “ini adalah seuatu yang tidak ada tandingannya dalam syariat, dan tidak pernah ada hukum seperti itu.”
Sofyan bin
Uyainah menyebutkan bahwa yang diharamkan di Khaybar hanyalah keledai
kampung dan bukan nikah mut’ah. “Kebanyakan manusia
mengikuti pendapat ini” (Zad al-Ma’ad, 2: 204). Hadis pengharaman mut’ah di Fath Makkah juga tidak
shahih. Hadis Saburah bin
Ma’bad tentang haramnya
nikah mut’ah diriwayatkan
melalui Abd al-Malik bin al-Rabi’ bin Saburah dari bapaknya,
dari kakeknya. Menurut Ibn Ma’in,
dia dha’if. “Al-Bukhari saja
tidak mau mengeluarkan hadisnya, walau pun ia sangat memerlukannya” (Zâd
al-Ma’âd, 2: 206).
Contoh sahabat dan tabi’in yang mempraktekkan nikah mut’ah, yaitu ‘Imran bin al-Hushayn, Jabir bin Abdillah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin ‘Umar, Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, Abu Sa’id al-Khudri, Salmah bin Umayyah bin Khalaf, Ma’bad bin ‘Umayyah, Zubayr bin ‘Awwam, Khalid bin Muhajir al-Makhzumi, ‘Amr bin Harits, Ubayy bin Ka’b, Rabi’ah bin Umayyah, Samurah bin Jundab, Sa’id bin Jubayr, Thawus al-Yamani, ‘Atha bin Muhammad, Al-Suddy, Mujahid, dan Zufar.
Sekadar tambahan informasi. Meski secara akademik nikah mutah dibenarkan, tetapi situasi sosial masyarakat Indonesia belum mendukung terlaksananya praktek mut’ah dan melihat dampak negatif dari praktek dari segi sosial maupun psikologi dan lainnya, maka IJABI sebagai ormas agama Islam yang menghimpun pecinta Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya melarang pengurus dan anggotanya (Ijabiyyun) melakukan atau mempraktekkan nikah mutah. Menurut Ketua Dewan Syura IJABI (periode 2000-2021) KH Jalaluddin Rakhmat bahwa nikah biasa (daim) yang dijalankan di negeri Indonesia termasuk dalam nikah mut'ah karena ada ketentuan yang disepakati antara suami dan istri yang dibacakan setelah ucapan akad nikah. Mungkin karena sama dengan mut'ah sehingga anggota IJABI tidak perlu melakukan mut'ah, tetapi cukup dengan nikah daim yang legal di Indonesia. Larangan praktek nikah mutah untuk Ijabiyyun ini patut diapresiasi karena sekarang ini mut'ah sudah diselewengkan oleh kaum penjual birahi, sehingga nilai-nilai agama dalam nikah mut'ah menjadi tidak jelas. Secara akademik (ilmiah) dalil tentang nikah mut’ah tidak terbantahkan. Kaum Muslim Syiah percaya dalil nikah mut'ah adalah Al-Quran surah Annisa ayat 24. Namun, dalam kondisi masyarakat yang dicemari isu-isu buruk tentang Syiah, maka praktek yang memiliki peluang untuk dicibir selayaknya dihindari. Syariat Islam bukan hanya sekadar mengurus berahi. Masih banyak syariat lainnya yang lebih penting dilaksanakan di negeri ini. ***