Menangisi orang yang meninggal dunia (mayyit) adalah fitrah yang sangat manusiawi. Secara psikologis bahwa siapa pun akan menangis kehilangan orang yang dicintainya. Mungkinkah agama Islam, yang diciptakan Tuhan sesuai dengan fitrah manusia akan melarang ekspresi duka cita dalam bentuk tangisan?
Semua hadis, dengan redaksi yang berbeda-beda sedikit tetapi mengandung makna yang sama, yang melarang menangisi mayyit bersumber pada Umar bin Khaththab dan anaknya Abdullah bin ‘Umar (Imam Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim 6: 228, Kitab al-Janaiz): “Sesungguhnya mayyit disiksa karena tangisan keluarganya atasnya.”
Hadis ini
ditolak kaum Muslim Syiah karena ditentang oleh sahabat lainnya karena (1)
berlawanan dengan hadis-hadis yang membolehkan; (2) bahkan menganjurkan untuk
menangisi mayit; (3) berlawanan dengan
sunnah (contoh) Nabi Muhammad saw.
Di antara
sahabat-sahabat yang menentang
kebenaran hadis ini adalah ‘Aisyah, Ibn ‘Abbas, dan Abu Hurairah: dari Ibn
Abi Malikah: Putri
Utsman bin ‘Affan meninggal di
Makkah. Kami datang
melayatnya. Hadir juga Ibn
Umar dan Ibn
Abbas. Aku duduk
di antara keduanya. Abdullah
bin Umar berkata
kepada Amr bin Utsman:
Bukankah kamu dilarang
menangisi? Karena Rasulullah saw
bersabda: “Sesungguhnya mayyit
disiksa karena tangisan keluarganya atasnya.” Kata Ibn
Abbas: “Umar sudah
mengatakan yang demikian.”
Kemudian bercerita: Aku keluar bersama Umar dari Makkah
sampai ke Al-Baida.
Tiba-tiba di bawah pohon terlihat
para penunggang kuda. Umar berkata: Pergi tengok siapa para penunggang
kuda itu. Aku
lihat ada Shuhayb di
situ dan aku meberitahukan itu
kepadanya. Ia berkata: Panggil
dia. Aku kembali ke Shuhayb. Ketika Umar
mendapat musibat (dibunuh
orang), Shuhayb menjenguknya sambil
menangis. Ia berkata:
Duhai saudaraku, duhai sahabatku.
Umar berkata: Ya
Shuhayb, apakah kamu menangisiku.Bukankah Rasulullah
saw bersabda: Sesungguhnya mayyit
disiksa karena tangisan keluarganya atasnya? Ibn Abbas
berkata: Ketika Umar
meninggal, aku menyebutkan hadis
itu di depan
Aisyah. Aisyah berkata:
Semoga Allah menyayangi
Umar. Demi Allah, Rasululllah tidak
pernah berkata: Sesungguhnya
mayyit disiksa karena tangisan
keluarganya atasnya. Tetapi
ia bersabda: Sesungguhnya Allah menambah (siksaan) orang kafir karena
tangisan keluarganya. Aisyah juga berkata: Cukuplah bagi kamu ayat Al-Quran
(53:38). Kata Ibn Abbas
waktu itu: Demi
Allah, aku tertawa dan
menangis. Kata Ibnu
Malikah: Ibn Umar
tidak berkata sepatah kata
pun (Ibn Atsir,
Jami’ul Ushul 11:92; dalam
riwayat lain, Ibn Malikah sendiri yang melaporkan kepada Aisyah dan mendapat
jawaban yang sama (Shahih al-Bukhari 3:127; Shahih Muslim, Kitab al-Janaiz,
hadis 928; Al-Nasai 4:18-19).
Dari Umrah
bin Abdul al-Rahman: Aku mendengar Aisyah berkata, ketika disebut bahwa
Abdullah bin Umar menyampaikan hadis “Sesungguhnya mayyit disiksa karena
tangisan keluarganya atasnya,” kami berkata semoga Allah mengasihi Abu Abd
al-Rahman. Dia tidak berdusta tetapi keliru dan lupa. Pernah Rasulullah saw
melewati kuburan seorang perempuan Yahudi yang sedang ditangisi. Ia bersabda:
“Perempuan itu ditangisi
padahal ia sedang diazab di kuburnya” Diriwayatkan oleh
Al-Jama’ah kecuali Abu Dawud (Jami al-‘Ushul 11: 94).
Dari Abu
Hurairah: Seseorang meninggal dunia dari keluarga Rasulullah saw.
Perempuan-perempuan berkumpul menangisinya. Umar berdiri di tengah-tengah
mereka dan mengusir mereka: Kemudian
Rasulullah saw bersabda: Biarkan
mereka, hai Umar.
Karena mata itu
mengalirkan airmata dan hati
pun ditimpa duka,
sedangkan giliran kita sudah dekat (Sunan Al-Nasai 4: 19; Sunan
Ibn Majah 1: 505; Al-Sunan al-Kubra al-Baihaqi 4: 117). Hadis ini berlawanan dengan
hadis-hadis yang membolehkan dan menganjurkan untuk menangisi mayit. Dari
Abdullah bin ‘Umayr dari Jabr: Ia bersama Nabi Muhammad saw melayat jenazah.
Perempuan-perempuan sedang menangis.
Jabr berkata: Kenapa menangis. Jangan menangis
selama Rasulullah saw duduk di sini. Rasulullah saw bersabda: “Biarkan mereka
menangis selama mayit itu berada di tengah-tengah mereka. Jika sudah
Jika sudah dikuburkan janganlah seorang pun menangisinya” (Al-Muwaththa:223; Abu Dawud 3111, Jami’
al-Ushul 11:100-101; Al-Nasai 4:13-14).
Yang dimaksud oleh
Nabi Muhammad saw dalam hadis ini
ialah jangan menangis dengan suara yang tinggi atau dengan mencakar-cakar muka.
Pernah Nabi saw menangis, Abd al-Rahman menegurnya: Bukankah engkau melarang
kami menangis. Rasulullah saw bersabda: ”Tidak, aku melarang dua suara yang dosa, yakni
menangis keras dalam musibah
sambil mencakar muka dan merobek-robek pakaian, serta lolongan setan” (Al-Jami’
al-Shahih 3: 328, hadis 1055).
Hadis ini berlawanan
dengan sunnah (contoh)
Nabi Muhammad saw.
Dalam hadis-hadis berikut ini, Rasulullah saw bukan saja menangisi orang-orang yang disayanginya, ia juga memerintahkan orang untuk menangisinya. Nabi Muhammad saw menangisi putranya Ibrahim.
Dari Anas bin Malik: kami menemui
Rasulullah saw dan Ibrahim sedang mengembuskan nafas terakhirnya. Kedua mata
Nabi Muhammad saw berlinang-linang.
Abdur Rahman bin
Awf berkata: hai engkau
ya Rasulullah (mengapa
menangis)? Rasulullah saw bersabda:
Hai Ibn ‘Awf,
ini tangisan kasih sayang. Kemudian ia menyusulnya dengan
kalimat lainnya, seraya berkata: Sungguh mata itu berlinang dan hati berduka.
Kami tidak berkata kecuali
yang diridhai Tuhan
kami. Sungguh, kami berdukacita
karena ditingalkanmu, wahai
Ibrahim (Shahih Muslim 4: 1808; Abu Dawud 3: 193; Ibn Majah 1:507; Qasim
al-Syamai al-Rifai’, Al-Bukhari:
Syarh wa Tahqiq 2: 556, hadis
1216).
Nabi
Muhammad saw menangisi
Ibunya. Dari Abu Hurairah:
Nabi Muhammad saw berziarah ke
pusara ibundanya dan
menangis. Menangis jugalah orang-orang
di sekitarnya (Shahih Muslim 2:671, hadis 3234).
Nabi
Muhammad saw menangis Hamzah. Kata Ibn Sa’d: Ketika Rasulullah saw mendengar tangisan orang-orang Anshar untuk
orang-orangyang terbunuh dalam perang
Uhud, air mata Rasulullah saw mengelegak dan ia menangis: Sayang, Hamzah
tidak ada yang menangisinya. Ketika Sa’d mendengar itu, ia kembali kepada perempuan-perempuan Bani Abd
al-Asyhal mengajak mereka untuk menangisi (Hamzah). Sejak itu sampai sekarang
perempuan Anshar tidak menangisi mayit
siapa pun sebelum menangisi Hamzah, setelah itu baru menangisi
mayitnya (Musnad Ahmad 2:129,
hadis 4964: Thabaqat Ibn Sa’d 3: 1; Al-Waqidi,
Al-Maghazi 1: 315-317; Tarikh al-Thabari 2: 211; Sirah Ibn Hisyam 3:
99).
Nabi Muhammad saw menangisi Ja’far bin Abi Thalib. Ketika Ja’far dan sahabat-sahabatnya gugur dalam Perang Mu’tah, Rasululah saw masuk ke rumahnya dan mencari-cari anak-anak Ja’far. Ia menciumi mereka dengan airmata yang berlinang. Asma, istri Ja’far, berkata: demi ayah ibuku, apa yang menyebabkan engkau menangis? Rasulullah saw bersabda: "Tidakkah sampai kepadamu berita dari Ja’far dan sahabat-sahabatnya?" Asma berkata: Benar, mereka gugur hari ini. Asma kemudian berkata: Aku pun berdiri menangis. Aku kumpulkan perempuan. Aku masuk ke rumah Fathimah. Ia sedang menangis merintih: Duhai paman! Rasulullah saw bersabda: Untuk orang seperti Ja’far, hendaklah orang-orang menangisinya (Al-Isti’ab 1:313; Usud al-Ghabah 1:241; Al-Ishabah 2:238; Al-Kamil fi al-Tarikh 2:420).
Nabi Muhammad
saw menangisi Al-Husain, cucunya, yang akan terbunuh di Karbala. Dari Ummul Fadhl
putri Harits. Ia
menemui Rasulullah saw: Ya
Rasul Allah, aku
melihat mimpi yang mengerikan
tadi malam. Apakah itu? Berat sekali.
Apakah itu. Ummul Fadhl berkata: Aku melihat potongan tubuhmu diletakan pada pangkuanku. Rasulullah saw bersabda: Kamu bermimpi baik. Fathimah insya
Allah akan melahirkan anak
laki-laki dan ia
akan diletakan di pangkuanmu.
Fathimah melahirkan Al-Husain dan
ia berada dalam
pangkuanku seperti kata Rasulullah saw. Aku masuk
ke rumah Rasulullah
saw dan meletakan Al-Husain di pangkuannya. Ia menengok padaku sejenak dan
airmatanya mengalir deras: Ya
Nabi Allah, demi ayah
dan ibuku, apa
yang terjadi? Ia
bersabda: Jibrail datang kepadaku.
Umatku akan membunuh anakku ini.
Aku berkata: Anak ini? Ia bersabda: Benar. Ia memberikan kepadaku tanah
dari tanahnya yang
merah.” Kata Al-Hakim, ini hadis shahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim,
walaupun keduanya tidak mengeluarkan hadis ini (Mustadrak al-Shahihayn 3: 76; Tarikh
Ibn Asakir 631; Majma’ al-Zawaid 9: 179; Kanz al-‘Ummal
6: 223). ***