Manzilah pertama adalah
malu terhasilkan dari ilmu tauhid, karena penyaksian al-Haqq
kepadanya. Dengan manzilah malu ini menarik seorang salik untuk menanggung
kesungguhan, membenci setiap keburukan, dan melepaskan dirinya dari keluhan.
Karena ilmunya bahwa al-Haqq menyaksikan dirinya maka muncul rasa malu,
sehingga dirinya menahan beragam kesulitan dan melakukan kesungguhan dalam
melakukan ibadah kepada-Nya.
Seperti seorang pekerja
yang disaksikan oleh atasannya dalam mengerjakan pekerjaannya. Demikian hamba
tersebut merasa malu, sehingga melahirkan kesungguhan karena merasa disaksikan.
Karena dirinya sadar disaksikan, maka muncul rasa malu jika melakukan keburukan
kemudian ia menghindarinya. Bahkan membenci perbuatan buruk tersebut. Mengapa
benci? Karena perbuatan buruk tersebut tidak akan menyenangkan bagi tuannya.
Karena berada dalam penyaksian maka tidak ada keluhan atas kesulitan yang
ditanggungnya karena rasa malu untuk mengeluh.
Manzilah kedua adalah malu
yang menghasilkan melalui pandangan pada ilmu al-qurb, maka menyerunya pada
rasa cinta sehingga dirinya diliputi oleh rasa nikmat kemesraan dengan Al-Haqq
dan tidak menyukai kesenanangan bersama makhluk. Pada tingkat khusus rasa
malunya muncul dari ilmu al-Qurb, yaitu kesadaran bahwa al-Haqq bersamanya
tanpa ada jarak di antara dirinya dengan al-Haqq. Menyebabkan dirinya jatuh
cinta dengan rasa cinta yang dahsyat itu yang menyerunya pada rasa cinta.
Melalui rasa cinta
muncul rasa kedekatan dan kemesraan, sehingga tidak ingin ada gangguan dalam
kebersamaannya. Muncul keberanian padanya untuk bermanja bersama-Nya. Seperti
perkataan Junaid, “Ilahi sekiranya Engkau siksa daku, maka akan kusebarkan
kepada Makhluk-Mu semua kebaikan-Mu kepadaku.” Semua rasa dan ikatan dengan
makhluk menjadi pengganggu baginya karena akan mengurangi rasa kemesraannya.
Manzilah ketiga adalah malu
yang terhasilkan melalui penyaksian kehadiran (al-hadrah) yang meliputi haybah (wibawa)
pada diri hamba. Tidak ada lagi dorongan untuk berpisah dan tidak pula berhenti
pada tujuan. Jika sebelumnya malu karena ke-imanan, maka pada tingkat ini malu
karena penyaksian terhadap tajalli al-hadrah yang penuh dengan haybah
sehingga menimbulkan pesona yang luar biasa yang dirasakan salik dan
menimbulkan rasa malu yang bersangatan pada diri salik. Bagaikan Majnun
yang terpesona ketika Layla menanggalkan hijabnya dan tiba-tiba memunculkan
rasa malu yang bersangat pada diri Majnun. Tidak ada lagi dorongan untuk
menjauh karena pesona melahirkan fana' dan kebersatuan dengan hadrah
al-Haqq. Ulama tasawuf menamai al-hadrah yang tampil dan
membuat diri salik fana' dan menerbitkan rasa malu yang dahsyat sebagai
kilatan-kilatan (al-bawariq). Tidak berhenti pada tujuan karena
salik telah fana' dan tidak lagi pada dirinya ada harapan maupun tujuan. ***
Kholid Al Walid adalah Doktor lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pengasuh Program Belajar Tasawuf di YouTube Misykat TV