27/05/22

Belajar Tasawuf seri Malu (Al-Hayaa') [by Dr Kholid Al Walid]

Allah SWT berfirman: "Tidaklah dia tahu bahwa sesungguhnya Allah menyaksikannya" (QS 96:14). Al-Hayaa’, yang diterjemahkan malu, merupakan awal dari tingkatan kalangan khusus terhasilkan dari pengagungan karena terhubung melalui rasa sayang. Manzilah malu ini merupakan tingkatan awal bagi kalangan khusus, karena rasa malu muncul dari kesadaran dirinya yang merasa selalu dalam pengawasan al-Haqq dan al-Haqq hadir selalu bersamanya. Karena keterhubungan dan kemuliaan yang disaksikannya kepada al-Haqq, menumbuhkan rasa sayang kepada al-Haqq, kemudian menyebabkan munculnya rasa malu pada dirinya. Karena itu, manzilah malu ini hanya hadir pada mereka yang sudah mulai menapaki tingkat khusus dan bukan pada pada tingkatan awwam.

Manzilah pertama adalah malu terhasilkan dari ilmu tauhid, karena penyaksian al-Haqq kepadanya. Dengan manzilah malu ini menarik seorang salik untuk menanggung kesungguhan, membenci setiap keburukan, dan melepaskan dirinya dari keluhan. Karena ilmunya bahwa al-Haqq menyaksikan dirinya maka muncul rasa malu, sehingga dirinya menahan beragam kesulitan dan melakukan kesungguhan dalam melakukan ibadah kepada-Nya.

Seperti seorang pekerja yang disaksikan oleh atasannya dalam mengerjakan pekerjaannya. Demikian hamba tersebut merasa malu, sehingga melahirkan kesungguhan karena merasa disaksikan. Karena dirinya sadar disaksikan, maka muncul rasa malu jika melakukan keburukan kemudian ia menghindarinya. Bahkan membenci perbuatan buruk tersebut. Mengapa benci? Karena perbuatan buruk tersebut tidak akan menyenangkan bagi tuannya. Karena berada dalam penyaksian maka tidak ada keluhan atas kesulitan yang ditanggungnya karena rasa malu untuk mengeluh.

Manzilah kedua adalah malu yang menghasilkan melalui pandangan pada ilmu al-qurb, maka menyerunya pada rasa cinta sehingga dirinya diliputi oleh rasa nikmat kemesraan dengan Al-Haqq dan tidak menyukai kesenanangan bersama makhluk. Pada tingkat khusus rasa malunya muncul dari ilmu al-Qurb, yaitu kesadaran bahwa al-Haqq bersamanya tanpa ada jarak di antara dirinya dengan al-Haqq. Menyebabkan dirinya jatuh cinta dengan rasa cinta yang dahsyat itu yang menyerunya pada rasa cinta.

Melalui rasa cinta muncul rasa kedekatan dan kemesraan, sehingga tidak ingin ada gangguan dalam kebersamaannya. Muncul keberanian padanya untuk bermanja bersama-Nya. Seperti perkataan Junaid, “Ilahi sekiranya Engkau siksa daku, maka akan kusebarkan kepada Makhluk-Mu semua kebaikan-Mu kepadaku.” Semua rasa dan ikatan dengan makhluk menjadi pengganggu baginya karena akan mengurangi rasa kemesraannya.

Manzilah ketiga adalah malu yang terhasilkan melalui penyaksian kehadiran (al-hadrah) yang meliputi haybah (wibawa) pada diri hamba. Tidak ada lagi dorongan untuk berpisah dan tidak pula berhenti pada tujuan. Jika sebelumnya malu karena ke-imanan, maka pada tingkat ini malu karena penyaksian terhadap tajalli al-hadrah yang penuh dengan haybah sehingga menimbulkan pesona yang luar biasa yang dirasakan salik dan menimbulkan rasa malu yang bersangatan pada diri salik. Bagaikan Majnun yang terpesona ketika Layla menanggalkan hijabnya dan tiba-tiba memunculkan rasa malu yang bersangat pada diri Majnun. Tidak ada lagi dorongan untuk menjauh karena pesona melahirkan fana' dan kebersatuan dengan hadrah al-Haqq. Ulama tasawuf menamai al-hadrah yang tampil dan membuat diri salik fana' dan menerbitkan rasa malu yang dahsyat sebagai kilatan-kilatan (al-bawariq). Tidak berhenti pada tujuan karena salik telah fana' dan tidak lagi pada dirinya ada harapan maupun tujuan. ***

Kholid Al Walid adalah Doktor lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pengasuh Program Belajar Tasawuf di YouTube Misykat TV