28/05/22

Sekilas Ghadir Khum

Selesai melaksanakan haji wada, Rasulullah saw meninggalkan Makkah menuju Madinah. Pada 18 Zulhijjah, di tempat bernama Khum, di sebuamata air (Ghadir), iringan kafilah Nabi Muhammad saw terhenti. Rasulullah saw memerintahkan para sahabat untuk beristirahat.

Panas padang pasir menyengat kepala para jamaah haji yang baru menyelesaikan ritus suci. Nabi memandang ke padang yang luas. Beliau meminta para jemaah yang lebih dahulu pergi untuk kembali. Beliau menunggu para peziarah yang belum tiba. Ghadir Khum memang sebuah persimpangan. Dari titik itulah kemudian, para jemaah haji pulang ke kampung halaman.

Begitulah riwayat yang diceritakan dalam Tafsir Al-Fakhr al-Razi. Ketika menjelaskan Surah Al-Maidah ayat 67, penafsir besar Ahlulsunnah itu bercerita bahwa ayat ini turun berkenaan dengan keutamaan Ali bin Abi Thalib. Ketika turun ayat ini, Nabi menggenggam tangan Ali dan mengangkatnya seraya berkata, “Man kuntu mawlahu, fa Aliyyun mawlahu. Allahumma wali man walahu wa ’adi man ’adahu (Barangsiapa menjadikan aku sebagai mawlaku (pemimpinnya), hendaknya dia menjadikan Ali sebagai pemimpinnya juga. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya. Musuhilah orang yang memusuhinya).”

Setelah pengangkatan itu, Umar bin Khaththab berkata pada Ali bin Abu Thalib, “Hani’an laka ya ibna Abi Thalib. Ashbahta mawlaya wa maula kulli mu’minin wa mu’mininatin (Selamat bagimu, wahai putra Abu Thalib. Engkau telah menjadi mawlaku, dan mawla setiap mukmin dan mukminat).

Menurut Imam al-Fakhr al-Razi, hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Al-Barra bin ’Aazib, dan Muhammad bin Ali (Tafsir Al-Kabir, juz 12 halaman 53), yang merupakan sebuah peristiwa agung yang kini banyak dilupakan kaum Mukminin. Rasulullah Saw diperintahkan Allah untuk menyampaikan pesan terakhir ini. Sekiranya, sebagaimana redaksi Al-Maidah ayat 67, perintah ini tidak disampaikan maka Nabi dianggap tidak menyampaikan risalah sama sekali (fa ma ballaghta risalatah).

Mengapa pesan Nabi ini begitu penting? Karena kelanjutan risalah Nabi berada pada Ali bin Abi Thalib. Beliau adalah pintu kota ilmu Nabi. Pada perisitwa yang penting itu, Nabi mengingatkan kaum Mukminin untuk mengambil teladan, mengangkat pemimpin, dan mempelajari Islam dari kader beliau yang paling cerdas, bijak, pemberani, dan setia, yaitu Ali bin Abi Thalib. Bukankah Ali adalah bagian dari Ahlulbait yang diwasiatkan Nabi untuk dijaga sebagai dua pusaka yang agung? Tanpa seorang penafsir seperti Aliyang belajar langsung dari Rasulullah saw, Al-Quran akan mengundang banyak penafsiran dan sunah Nabi akan terjatuh dalam berbagai pertikaian. Inilah yang terjadi pada wajah umat dewasa ini.

Menerima Ali sebagai mawla adalah syarat untuk menerima kesempurnaan agama Islam. Menurut riwayat lain, barulah setelah pengangkatan Ali itu, turun ayat, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu dan aku sempurnakan nikmat Ku, dan telah Ku ridhai Islam sebagai agamamu” (QS Al-Maidah ayat 3). Memang agama telah sempurna disampaikan, tetapi kesempurnaan Islam akan terpelihara dengan adanya penerima wasiat Nabi, yaitu Imam Ali bin Abu Thalib as. ***