Sejarah mengisahkan ada dua tahapan dakwah Rasulullah saw: diam-diam dan terang-terangan. Selama tiga tahun sejak bi’tsah, Rasulullah saw berdakwah di lingkungan rumah. Khadijah binti Khuwailid adalah wanita pertama yang masuk Islam dan mengimani kenabian suaminya. Lelaki pertama yang memeluk Islam adalah Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya disusul oleh Zaid bin Haritsah, Abu Bakar dan lainnya.
Periode dakwah awal ini Rasulullah
saw tidak mendapatkan rintangan yang berat dari orang-orang Quraisy. Meski Abu
Sufyan bin Harb dan Abu Jahal mengetahui kabar adanya penyebar agama baru,
tetapi belum memeranginya. Pada masa itu Nabi belum mendapatkan perintah untuk
mengajak kaum Quraisy dan tidak melarang orang-orang menyembah berhala. Kaum Quraisy
Makkah masih menghormati Rasulullah saw sebagai orang terhormat karena
keturunan Bani Hasyim.
Kemudian Nabi menerima wahyu yang
memerintahkan dakwah dengan terbuka dan mengajak kerabat terdekatnya.[1]
Suatu saat Rasulullah saw meminta Ali bin Abi Thalib (yang saat itu masih muda)
untuk menyediakan makanan dan susu. Kemudian mengundang 45 orang tokoh Bani
Hasyim untuk datang dan menikmati jamuan. Ketika Nabi Muhammad saw akan
menyampaikan seruan agar masuk agama Islam, salah seorang dari mereka membuat
keributan sehingga jamuan bubar.
Rasulullah saw kembali mengundang
mereka dengan tetap menyediakan jamuan makan dan minum. Ketika mereka menikmati
jamuan, Rasulullah saw berdiri menyampaikan risalah Islam, “Sesungguhnya,
pemandu suatu kaum tidak pernah berdusta kepada kaumnya. Saya bersumpah, demi
Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya bahwa saya diutus oleh Dia sebagai
Rasul-Nya, khususnya kepada Anda sekalian dan umumnya kepada seluruh penghuni
dunia. Wahai kerabat saya, Anda sekalian akan mati. Sesudah itu, seperti Anda
tidur, Anda akan dihidupkan kembali dan menerima pahala menurut amal Anda.
Imbalannya adalah surga Allah yang abadi (bagi orang yang lurus) dan neraka-Nya
yang kekal (bagi mereka yang jahat). Tidak ada manusia yang membawa kebaikan
untuk kaumnya ketimbang apa yang saya bawakan untuk Anda. Saya membawakan pada
Anda rahmat dunia dan akhirat. Tuhan saya memerintahkan kepada saya untuk
mengajak Anda kepada-Nya. Siapakah di antara Anda sekalian yang akan menjadi
pendukung saya sehingga ia akan menjadi saudara, washi (penerima
wasiat), dan khalifah (pemimpin) pengganti saya?”
Kerabat Rasulullah saw yang hadir
dalam jamuan terdiam. Di tengah kebisuan, tiba-tiba Ali bin Abi Thalib berdiri
dan berbicara, “Wahai Nabi Allah, saya siap mendukung Anda.” Rasulullah saw
memeluknya dan memintanya untuk duduk. Nabi mengulang kembali sampai tiga kali.
Tidak ada yang menyambutnya. Kembali Ali bin Abi Thalib berdiri dan menyatakan
dukungannya.
Sambil berdiri di samping Ali,
Rasulullah saw berkata, “Pemuda ini adalah saudaraku, washi, dan khalifati
(penggantiku) di antara kalian. Dengarlah kata-katanya dan ikuti dia.”
Semua orang hanya melihat dan
terdiam. Seorang demi seorang berdiri dan sambil keluar dari jamuan,
orang-orang berpaling kepada Abu Thalib sambil berkata, “Muhammad telah
menyuruh Anda untuk mengikuti putra Anda dan menerima perintah darinya serta
mengakuinya sebagai pemimpin Anda.”[2]
Dari peristiwa itu bisa dipahami
bahwa Nabi Muhammad saw menetapkan dan mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai washi
dan khalifah. Penunjukan atau penyebutan secara langsung ini
dilakukan juga oleh para Nabi sejak Adam hingga Isa as. Sebelum wafat, para
Nabi menyampaikan orang yang akan melanjutkan risalah Ilahi dengan
menyebutkan nama, ciri, atau karakter dari orang yang akan menggantikannya. ***
[1] Muhammad bin Ishaq meriwayatkan
dari Abdul Ghaffar bin Al-Qasim, dari al-Minhal ibn ’Amr, dari ’Abd Allah bin
Naufal bin al-Harits bin ’Abd al-Muthalib, dari ’Abd Allah bin Abbas, dari Ali
bin Abi Thalib ra bahwa peristiwa itu terjadi setelah Rasulullah saw menerima
wahyu surat Asy-Syua’ara [26] ayat 214.
[2] Lihat Ibnu Jarir Ath-Thabari, Tarikh Ath-Thabari, jilid II, halaman
62-63; Tarikh Al-Kamil, II, halaman
40-41; Ibnu Abi Al-Hadid, Syarh Nahj
al-Balaghah, XIII, halaman 210-221; dan Musnad Ahmad, I, halaman 111. Lihat Jafar
Subhani, Sejarah Nabi Muhammad saw:
Ar-Risalah (Jakarta: Lentera, 2006)
halaman 170-176; R.A.A.Wiranata Koesoema, Riwajat Kangjeng Nabi
Moehammad s.a.w. (Bandung: Islam Studieclub, 1941) halaman 42-43; dan H.Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah:
Suatu Penafsiran Baru (Bandung: Mizan, 1995) halaman 138.