26/05/22

Rasulullah SAW pun Menyeru Keluarganya


Masih terkait dengan mazhab Syiah, yang perlu diketahui adalah penyebutan 'Ali bin'Abu Thalib as sebagai washi oleh Rasulullah saw telah disebut pada saat seruan (dakwah) untuk masuk agama Islam kepada keluarga terdekatnya.
 

Sejarah mengisahkan ada dua tahapan dakwah Rasulullah saw: diam-diam dan terang-terangan. Selama tiga tahun sejak bi’tsah, Rasulullah saw berdakwah di lingkungan rumah. Khadijah binti Khuwailid adalah wanita pertama yang masuk Islam dan mengimani kenabian suaminya. Lelaki pertama yang memeluk Islam adalah Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya disusul oleh Zaid bin Haritsah, Abu Bakar dan lainnya. 

Periode dakwah awal ini Rasulullah saw tidak mendapatkan rintangan yang berat dari orang-orang Quraisy. Meski Abu Sufyan bin Harb dan Abu Jahal mengetahui kabar adanya penyebar agama baru, tetapi belum memeranginya. Pada masa itu Nabi belum mendapatkan perintah untuk mengajak kaum Quraisy dan tidak melarang orang-orang menyembah berhala. Kaum Quraisy Makkah masih menghormati Rasulullah saw sebagai orang terhormat karena keturunan Bani Hasyim.

Kemudian Nabi menerima wahyu yang memerintahkan dakwah dengan terbuka dan mengajak kerabat terdekatnya.[1] Suatu saat Rasulullah saw meminta Ali bin Abi Thalib (yang saat itu masih muda) untuk menyediakan makanan dan susu. Kemudian mengundang 45 orang tokoh Bani Hasyim untuk datang dan menikmati jamuan. Ketika Nabi Muhammad saw akan menyampaikan seruan agar masuk agama Islam, salah seorang dari mereka membuat keributan sehingga jamuan bubar.

Rasulullah saw kembali mengundang mereka dengan tetap menyediakan jamuan makan dan minum. Ketika mereka menikmati jamuan, Rasulullah saw berdiri menyampaikan risalah Islam, “Sesungguhnya, pemandu suatu kaum tidak pernah berdusta kepada kaumnya. Saya bersumpah, demi Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya bahwa saya diutus oleh Dia sebagai Rasul-Nya, khususnya kepada Anda sekalian dan umumnya kepada seluruh penghuni dunia. Wahai kerabat saya, Anda sekalian akan mati. Sesudah itu, seperti Anda tidur, Anda akan dihidupkan kembali dan menerima pahala menurut amal Anda. Imbalannya adalah surga Allah yang abadi (bagi orang yang lurus) dan neraka-Nya yang kekal (bagi mereka yang jahat). Tidak ada manusia yang membawa kebaikan untuk kaumnya ketimbang apa yang saya bawakan untuk Anda. Saya membawakan pada Anda rahmat dunia dan akhirat. Tuhan saya memerintahkan kepada saya untuk mengajak Anda kepada-Nya. Siapakah di antara Anda sekalian yang akan menjadi pendukung saya sehingga ia akan menjadi saudara, washi (penerima wasiat), dan khalifah (pemimpin) pengganti saya?”

Kerabat Rasulullah saw yang hadir dalam jamuan terdiam. Di tengah kebisuan, tiba-tiba Ali bin Abi Thalib berdiri dan berbicara, “Wahai Nabi Allah, saya siap mendukung Anda.” Rasulullah saw memeluknya dan memintanya untuk duduk. Nabi mengulang kembali sampai tiga kali. Tidak ada yang menyambutnya. Kembali Ali bin Abi Thalib berdiri dan menyatakan dukungannya.

Sambil berdiri di samping Ali, Rasulullah saw berkata, “Pemuda ini adalah saudaraku, washi, dan khalifati (penggantiku) di antara kalian. Dengarlah kata-katanya dan ikuti dia.”

Semua orang hanya melihat dan terdiam. Seorang demi seorang berdiri dan sambil keluar dari jamuan, orang-orang berpaling kepada Abu Thalib sambil berkata, “Muhammad telah menyuruh Anda untuk mengikuti putra Anda dan menerima perintah darinya serta mengakuinya sebagai pemimpin Anda.”[2] 

Dari peristiwa itu bisa dipahami bahwa Nabi Muhammad saw menetapkan dan mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai washi dan khalifah. Penunjukan atau penyebutan secara langsung ini dilakukan juga oleh para Nabi sejak Adam hingga Isa as. Sebelum wafat, para Nabi menyampaikan orang yang akan melanjutkan risalah Ilahi dengan menyebutkan nama, ciri, atau karakter dari orang yang akan menggantikannya. ***



[1] Muhammad bin Ishaq meriwayatkan dari Abdul Ghaffar bin Al-Qasim, dari al-Minhal ibn ’Amr, dari ’Abd Allah bin Naufal bin al-Harits bin ’Abd al-Muthalib, dari ’Abd Allah bin Abbas, dari Ali bin Abi Thalib ra bahwa peristiwa itu terjadi setelah Rasulullah saw menerima wahyu surat Asy-Syua’ara [26] ayat 214.

[2] Lihat Ibnu Jarir Ath-Thabari, Tarikh Ath-Thabari, jilid II, halaman 62-63; Tarikh Al-Kamil, II, halaman 40-41; Ibnu Abi Al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, XIII, halaman 210-221; dan  Musnad Ahmad, I, halaman 111. Lihat Jafar Subhani, Sejarah Nabi Muhammad saw: Ar-Risalah (Jakarta: Lentera, 2006)  halaman 170-176; R.A.A.Wiranata Koesoema, Riwajat Kangjeng Nabi Moehammad s.a.w. (Bandung: Islam Studieclub, 1941) halaman 42-43; dan  H.Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah: Suatu Penafsiran Baru (Bandung: Mizan, 1995)  halaman 138.